19. Aku Terlahir Sebagai Pertanda Buruk

1.5K 96 8
                                    

Saat ibu melahirkanku dan mengetahui jenis kelaminku adalah laki-laki, dia terisak. Ayah menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menjerit, "Haruskah kubunuh dia agar keluarga kita selamat, lepas dari penderitaan?! Kita dikutuk! Kita dikutuk!" Kakak tertuaku menceritakan pada lima saudaraku yang lain akan seperti apa nasibku kelak. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi Strigoi Mort.

Di Rumania, ada sebuah kepercayaan (sebuah takhayul) bahwa anak ketujuh yang berjenis kelamin sama dengan saudara lainnya, merupakan sosok terkutuk. Hidupnya akan berjalan normal, namun dia akan mati dalam umur yang sangat muda. Setelahnya, dia akan bangkit dari kematian dan kembali pada keluarganya. Dia akan melanjutkan hidup seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Namun, selama dia meneruskan hidup, tanpa disadari, dia akan menghisap sari kehidupan dari seluruh anggota keluarganya. Mereka akan semakin melemah, hingga kemudian kematian datang menjemput. Seperti itulah sosok Strigoi Mort ini.

Iosif, begitulah orangtuaku menamaiku, namun saat mereka tidak memperhatikan, para saudaraku akan memanggilku dengan sebutan 'Dracul Blastemat' - Si Iblis Terkutuk. Secara fisik, mereka tak pernah menyakiti, atau mengejekku secara terang-terangan. Namun mereka selalu menjaga jarak dan sangat jarang untuk berbicara langsung dengaku. Kedua orangtuaku sangat baik, namun mereka selalu tegang dan gugup saat berhadapan denganku; bukan takut, namun mereka terlihat sangat tidak nyaman. Mereka bertanya mengenai sekolah, memastikan rambutku rapi, dan mereka selalu merawat dengan sabar dan telaten kapanpun aku jatuh sakit. Aku ingat saat pada suatu malam, aku dan salah satu saudaraku sakit, muntah nyaris tanpa henti. Ibu, dengan telapak tangannya yang lembut, membelai rambutku.

"Tubuhnya luar biasa panas," katanya pada ayah, "bersiaplah. Hanya untuk berjaga-jaga."

Sepanjang malam, ayah duduk di sampingku membacakan cerita yang ia selingi dengan memeriksa demam atau denyut nadiku. Aku ingat sosoknya yang jangkung, wajahnya yang dihiasi dengan kumis tebal, dan betapa redupnya cahaya lilin tak pernah menerangi kantong hitam yang menggelayut di bawah kedua matanya. Aku ingat tangannya yang kasar dan berbulu, serta aroma tembakau yang menguar saat dia membungkuk untuk menyentuh keningku. Aku juga ingat betul mengenai palu, paku dan pasak, serta kotak kayu mungil yang tergeletak di sampingnya malam itu. Saudaraku, Sorin, meninggal, sementara perhatian ayah, tak pernah lepas dariku.

Seiring berjalan waktu, aku menjadi anak yang suka menyibukkan diri dengan sekolah. Aku ingin menjadi dokter. Sebab, di kota kecil yang kutinggali ini, keberadaannya masih sangat jarang. Aku bersumpah: jika memang aku dikutuk untuk menjadi sosok yang menyakiti orang lain sampai mereka meninggal, maka aku akan membantu mereka sekuat tenaga saat aku masih hidup. Saat kuutarakan niat ini, orangtuaku sangat bangga. Mereka membicarakan hal ini pada kakak tertuaku yang telah bekerja di pabrik setempat. Kakakku sepakat bahwa mereka harus menabung demi pendidikanku. Mereka mengacak rambutku dengan simpatik dan menjabat erat tanganku, mengatakan bahwa aku telah memilih jalan hidup yang tepat dengan kutukan yang melekat. Tak sekalipun mereka menatap mataku saat mengatakan hal itu. Pada minggu yang sama, kakakku yang lain, Nandru, terbunuh saat melerai sebuah perkelahian di sebuah bar.

Guruku melihat kerja kerasku di sekolah dan berkunjung ke rumah untuk berbicara pada kedua orangtuaku. "Iosif merupakan anak yang hebat," kata mereka, "dia sangat berdedikasi dengan cita-citanya. Saat di sekolah, dia kerap melontarkan pertanyaan yang bahkan kami, tak tahu jawabannya. Kelak, jika dia lulus, kami ingin merekomendasikan agar dia melanjutkan belajar di Inggris. Kepala sekolah punya keluarga yang akan dengan senang menampungnya."

Sungguh, aku sangat gembira mendengarnya. Namun, orangtuaku menolak dengan halus. Sambil menghisap pipanya, ayah memintaku pergi ke dapur untuk mengupas kentang untuk makan malam, sementara itu kedua orangtuaku berbincang dengan para guru. Tempat sampah kian penuh berisikan kulit kentang, sedangkan nada riang para guru kian berubah menjadi gumaman serius. Saat pulang, wali kelasku berhenti dan berbicara denganku. "Iosif, cita-citamu sungguh mulia. Akan kami pastikan kau mendapat pelajaran dari dokter setempat. Kau merupakan anak yang sangat cerdas, dan kau akan membawa kebahagiaan pada kota kecil kita ini."

Creepy PastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang