55. Angkot

826 60 2
                                    

"Sampai rumah langsung tidur sepertinya enak," pikirku saat baru pulang kantor jam 10 malam, melelahkan.

Biasanya aku memang tidak pulang jam segini, namun jam 5 sore seperti kantoran lainnya, namun sekali dua kali dalam sebulan, memang pulang larut, apalagi kalau ada deadline akhir bulan.

Lahir, besar, sekolah, dan kuliah di Jakarta tentu tahu betapa sibuknya kota ini. Ada yang bilang Jakarta hidup 24 jam, aku membenarkan sebagian, karena memang di bagian pusat kota seperti itu adanya. Namun di pinggiran? Belum tentu.

Inilah yang membuat aku merasa agak malas untuk pulang semalam ini, apalagi kalau bukan macet di beberapa titik Jakarta atau kemungkinan jarang dapat kendaraan setelahnya.

Akhirnya aku mengarahkan kaki keluar kantor, dan bertegur sapa dengan satpam.

"Pak, saya pulang dulu ya!"

"Oh iya mas, hati-hati, tinggal pak Fredi dan mbak Novi ya?"

"Iya mereka saja berdua pak."

Setelah pamit, aku berjalan ke luar dan menunggu bis ke arah Blok M. Dari sana aku harus naik angkot beberapa kali lagi sebelum sampai rumah. Saat ini sudah pasti tidak ada angkutan ke dalam komplek dan hanya ada ojek untuk ke dalam komplek.

Setelah lama menunggu, Kopaja yang ditunggu datang juga dan sepi. Sesampainya di Blok M, aku bergegas untuk langsung naik bis APTB.

Selama perjalanan, aku hanya bermain ponsel, menemani kantuk yang muncul tapi entah kenapa aku tidak bisa memejamkan mata, makanya aku memilih bermain ponsel.

Setelah turun dari APTB, aku harus naik angkot lagi sekali untuk sampai depan komplek sebelum naik ojek ke dalam komplek. Setelah penuh, angkot baru berangkat. Selama perjalanan, aku hanya mendengarkan musik saja dari ponsel.

Satu persatu penumpang pun turun seiring perjalanan angkot ini, dan sudah setengah perjalanan, hanya tinggal aku dan sopir angkot saja.

Tiba-tiba aku terpikir melakukan sesuatu pada sopir angkot, hanya iseng dan hiburan kecil saja, dan tak lama aku pun sampai tujuan.

"Kiri bang!" Aku berteriak setelah sampai tujuanku, sambil bersiap turun.

Setelah aku turun, aku menyiapkan uang dan berkata:

"Sekalian untuk ongkos perempuan yang di belakang ya bang."

"Oh iya makasih mas, dia sudah biasa memang menumpang saya jam segini."

Aku melongo, supir angkotnya pun melaju sambil menengok ke bagian penumpang dengan senyum tipis, tanpa ku tahu maksud di balik senyumnya itu.

Tidak ada perempuan di kursi belakang.

Creepy PastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang