26. Too Literally

1K 53 4
                                    

Jangan terlalu serius.

***

Aku menganggap semua hal terlalu serius. Seumur hidupku, aku selalu serius. Orang kadang mengatakan suatu hal sebagai guyonan atau semacam istilah untuk mengarahkan laju pembicaraan mereka, namun aku akan menanggapinya secara serius.

Aku tinggal di sebuah kota kecil di Inggris, kau tahu. Kota kecil dimana semua orang sudah saling mengenal dan kejahatan terheboh pada tahun itu hanyalah tentang pencurian tanaman bunga pettunia milik Ny. Lancaster. Meski kota tempat tinggalku kecil, semua orang disana memanggilku dengan julukan yang sama; Penny Potbelly (Penny si perut gentong). Julukan yang bodoh, tapi begitulah mereka memandangku, dan aku tak menyalahkan mereka. Karena aku memang seorang gadis ber-perut buncit, ber-pinggang lebar, dan berwajah tembem yang mana selalu dibilang manis oleh ibuku, yah terserah deh. Intinya adalah aku kegemukan. Aku tak suka dengan keaadan ini, tapi aku terlalu malas untuk berubah. Selayaknya remaja gemuk lainnya, aku juga mengalami kejatuhan mental setiap kali kulihat diriku di cermin, namun aku kira semua gadis pun melalui proses yang sama dalam rangka menuju tingkat kedewasaan.

Aku memiliki seorang sahabat, dan ia sungguh berbanding terbalik denganku; dia kurus, cantik serta anggun. Setiap cowok bahkan semua orang di kota terpesona olehnya. Mereka sungguh penasaran, bagaimana ia bisa berteman baik denganku, jujur aku sendiri juga tak tahu, mungkin karena kami sudah bersama sejak masih memakai popok, dan aku senang karena kami tak terpisahkan. Sahabatku ini bernama May.

May dan aku tengah makan siang bersama di sebuah cafe kecil, yang mana sudah menjadi kebiasaan rutin kami. Seorang pelayan cowok bernama Steve datang menghampiri meja kami, dulu saat aku masih berusia 9 tahun, aku sering memperhatikannya di sekolah.

"Mau pesan apa Nona-nona?" tanya Steve, tanpa melihatku, tapi menatap lapar pada May seolah May adalah sepotong daging.

"Aku pesan cheesecake blueberry dengan sedikit kudapan kentang goreng saja, terimakasih," jawab May, sembari menoleh padaku, dan mengisyaratkanku untuk gantian memesan.

Begini, meskipun aku sangat gemuk dan akan melakukan apapun untuk merubahnya, aku tak pernah bisa mengontrol kebiasaan makanku. Jika ingin makan, maka demi Tuhan aku akan makan.

"Double patty beef burger, kentang goreng ukuran besar, satu porsi steak, red velvet cupcake, dan segelas besar cola, terimakasih," pesanku, malu-malu, sadar sesadar-sadarnya bahwa si pelayan pasti tengah memcemoohku dalam hatinya.

"Apa semua menu ini untuk dibagi berdua?"

"Ah, iya," jawab May kikuk, tahu bahwa aku akan malu jika ia menjawab sebaliknya.

"Kau ingin steak-mu di masak matang atau setengah matang?" Tanya Steve, memandang ke arahku.

"Matang, terimakasih."

"Baiklah, pesanan kalian akan segera tiba," kata Steve sembari melenggang pergi.

Setelah si pelayan pergi, May menatapku dengan raut kecewa di wajahnya.

"Kenapa?" Celotehku, sambil menunduk ke bawah, bersiap mendengar sesuatu yang sudah tak asing lagi di telinga.

"Penny, kau tahu kan kalau kau itu cantik bagiku, tapi kau harus berusaha mengontrol kebiasaan makanmu! Terlalu banyak makan itu tidak sehat."

"Aku tidak takut gemuk kok," jawabku berbohong, sembari May memandangku penuh simpati.

"Benarkah? Terus kenapa dua minggu yang lalu kau tiba-tiba mendobrak pintu rumahku saat aku tengah ganti baju?"

Aku masih membisu ketika pelayan datang membawa pesanan kami. Ia meletakkan makanan-makanan itu diatas meja, dan aku langsung menyambar burgerku, lalu mulai menyantapnya dengan lahap, tak sabar untuk segera mengisi perutku yang keroncongan. May hanya mendesah sambil menggelengkan kepala.

"Dirimu adalah apa yang kau makan," celetuk May, sambil menggigit sepotong kentang goreng.

Itu adalah percakapan terakhirku dengan May untuk beberapa waktu sesudahnya. Setelah hari itu, aku jarang berbicara dengan May dan kami bahkan tak lagi bertegur sapa, seolah ada aura ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami. Dia pikir dia itu siapa? Menghina makananku, padahal dia sendiri juga memakan makanan yang sama buruknya! Menurutku itu aneh.

Namun aku segera merasa sangat bersalah ketika mengetahui bahwa May menghilang dua minggu kemudian.

Aku termenung, merasakan penyesalan karena tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Hilangnya May menjadi buah bibir masyarakat kota selama berbulan-bulan, namun setelah sekian lama dilakukan pencarian dan karena kurangnya tenaga polisi yang memadai di kota kami, akhirnya kasus May di tutup dengan kesimpulan bahwa May telah kabur dari rumah atas dasar kenakalan remaja.

Para polisi sudah berulang kali mendatangi rumahku untuk mengajukan beberapa pertanyaan, semacam, 'Kapan terakhir kali kau bertemu May? Apakah May pernah berniat untuk kabur? Apakah May sedang berhubungan dengan seseorang?' Aku rasa aku telah mengecewakan mereka ketika aku berkata bahwa aku sudah tak pernah melihat May lagi sejak beberapa minggu sebelum ia menghilang.

Dengan hilangnya gadis tercantik di kota, akhirnya aku memutuskan bahwa inilah saatnya untukku ambil peran. Aku akan menjadi 'Gadis Idaman' baru.

Aku mulai melakukan hal-hal gila untuk mendapatkan bentuk tubuh yang langsing, namun tampaknya sia-sia. Setelah berminggu-minggu mencoba dan masih tak ada perbedaan, aku memutuskan untuk menyerah jika percobaan terakhirku gagal, dan menerima julukanku yang tak terelakkan sebagai potbelly Penny dalam masyarakat.

Aku masuk ke dalam apartemenku lalu membuka pintu kulkas, mengeluarkan kotak Tupperware plastik terakhir. Kotak plastik yang bertuliskan, "siku".

May selalu tampak sangat cantik. Ia selalu terlihat anggun.

Tapi dia salah.

Dirimu bukanlah apa yang kau makan.

Creepy PastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang