Bagian 5

13 4 0
                                        

Semesta, apa memang yang aku katakan kemarin itu salah? Kalau memang salah, aku ingin bertemu dengan Salma lagi. Meminta maaf karena sudah mengingatkan nya pada luka masa lalu.

***

Pagi ini hujan, memang sih Jogja sering di terpa hujan pekan ini. Sudah siap berangkat ke kampus. Mengambil payung, lalu berangkat ke kampus. Harus nya aku tidak menanyakan hal itu tadi malam, jadi nya gini deh, dampaknya mungkin pesan ku tidak akan dibalas oleh nya. Useless banget sih Rangga, harusnya nunggu momen yang pas buat nanya itu ke dia, aduh Rangga Rangga..

***

"Lu ketemu sama Salma lagi, Ga?"
"Iya kemarin, di kafenya Mas Yon,"
"Terus terus? Kan dia udah lama ngejauhin lu, sikap dia ke lu gimana?"
"Biasa aja sih, malah dia ngasih nomer hp ke gue dan hebatnya kita sempat ngobrol via WhatsApp. Dan lebih kaget nya, dia satu kampus sama kita selama ini, cuma kita nya aja yang nggak tau karena dia selalu menutup diri dari semua orang."

Aku sampai di kampus pukul delapan pagi, kelas dimulai pukul setengah sembilan. Datang lebih awal ternyata gak enak ya, harus nunggu setengah jam, aku gak suka nunggu, itu membosankan dan capek. Capek tenaga. Dan bisa juga membuat capek hati, karena menunggu kabar dari pujaan hati mu yang bahkan kamu sendiri tidak tau dia ada di mana, bagaimana keadaan nya, selama kurang lebih dua tahun.

Setelah mengobrol dengan Jaka, aku masuk ke kelas. Dosen datang setelah sepuluh menit dari jadwal. Pikirkan ku tak fokus pada dosen ku yang sedang menerangkan di depan. Aku memikirkan kejadian semalam dan berharap bisa bertemu Salma lagi. Apa coba aku telepon saja dia? Tapi apa mungkin diangkat? Aku terlalu takut padahal belum mencoba, ayo Rangga, beranikan dirimu. Telepon dia. Ajak dia ketemu di kafe mas Yon, lalu minta maaf.

***

Selepas kuliah, aku berjalan ke kafe mas Yon. Membuka handphone, lalu mencoba untuk menelepon Salma.

Tut.. tut.. tut...

Tidak diangkat, aku mencoba menelepon nya lagi. Dan masih sama tidak diangkat lagi.

Tapi setelah aku mencoba untuk ke empat kalinya, dia mengangkat telepon nya. Tapi dia tak mengatakan sepatah atau dua patah kata pun.

"Halo, ini kamu kan? Aku tau kamu disitu. Meski bibir kamu gak mau jawab, aku yakin, kuping kamu masih mau denger. Maaf soal kemarin malam, harusnya aku gak nanyain itu, maaf kalau aku membuat luka lama mu terbuka lagi setelah dua tahun terobati. Aku tahu kamu marah sekarang, tapi, aku cuma pengen tahu alasan kamu menjauh dari aku dua tahun lalu. Apa karena aku mengantar pulang Thalia? Aku tidak tahu, semua jawaban itu ada di kamu."

Aku berhenti sejenak dan menghela nafas. Lalu aku melanjutkan lagi, tapi Salma masih tidak mau berbicara.

"Bisa kita ketemu di kafe mas Yon? Nanti malam. Sekitar pukul delapan, jika tidak mau, ya jangan datang, gapapa, tapi kalau kamu mau datang, aku tunggu kamu. Di meja pojok dekat jendela."

Lalu ada jawaban dari nya

Jawabnya dengan nada lembut "Iya, Ga. Aku akan datang nanti malam."

"Bagus lah, janji akan datang?"

"Iya, aku janji."

***

Aku sudah di kafe mas Yon, jam menunjukkan jarum panjang ke angka delapan, sambil menunggu Salma datang, aku mendengarkan musik di ipod menggunakan earphone.

Pukul setengah delapan, Salma datang. Pertama aku kira dia tak akan datang, tapi kalau dia tidak datang, berarti dia ingkar. Salma bukan tipe orang yang suka ingkar janji, aku hafal betul, jika dia sudah berjanji, maka dia tepati.

"Maaf udah bikin nunggu setengah jam, masih mampir ke toko buku soalnya,"
"Iya gapapa, cuma setengah jam kok, itu sebentar,"

Salma duduk di depan ku, jadi posisi kita saling berhadapan.

"Udah pesen? Apa aku yang pesenin,"
"Gausah repot repot, aku udah pesen kok tadi," kata Salma sambil meletakkan tas selempang nya di atas meja.

"Jadi sekarang, aku akan kasih jawaban dari pertanyaan mu yang kemarin," momen yang sangat ketika Salma bilang begitu, diluar turun hujan.

Sambil menundukkan kepala, dan Salma terlihat sangat gugup. Terlihat jelas dari tangan nya yang sedikit gemetar.

"Jadi, alasanku menjauh dari kamu itu hanya satu,"
Sambil menghela nafas, dia melanjutkan kalimatnya.
"Aku cemburu, Ga. Aku cemburu karena dulu kamu dekat dengan Thalia,"

Jadi tebakan ku tadi pagi benar.

"Apa yang membuat kamu cemburu, Sal? Aku sama Thalia cuma temen, dan kebetulan saat itu aku hanya mengantar nya pulang, itu aja kok,"

"Tapi, aku takut, waktu itu aku mikir kalau kamu bakal jadian sama Thalia,"

"Nggak, Sal. Itu gak bakal terjadi, karena aku sama Thalia sahabatan, kayak aku sama kamu. Gak mungkin lah,"

"Tapi kan mungkin aja.." sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku menggapai wajahnya yang cantik itu.

"Nggak, Sal. Aku sama Thalia cuma sahabat biasa, jadi sekarang kamu gausah cemburu lagi ya, berhenti cemburunya dan balik kayak dulu lagi, ya,"

Mata nya terlihat berkaca kaca, dan perlahan air mata jatuh di pipinya. Aku mengusap airnya, aku tahu apa yang sedang dia rasakan sekarang, campur aduk , antara senang dan sedih, semua menjadi satu.

"Loh.. kok menangis?"
"Dulu, aku ngerasa akan kehilangan kamu karena hal sepele itu, maaf ya, Ga. Karena aku sudah curiga, dan karena aku berpikir kalau aku akan kehilangan kamu selamanya " katanya lirih.

Kuraih tangan nya dan ku letakkan di atas meja, "Dengerin ya, Sal. Kamu gak akan kehilangan aku, sekarang kita dipertemukan disini, di sebuah kafe, di kota Yogyakarta. Semesta hanya memisahkan kita dua tahun, itu tidak lama bagiku. Padahal aku sangat benci yang namanya menunggu, tapi, itu semua aku lakukan demi kamu. Aku sangat menunggu momen ini, bisa berbicara dengan mu saja sudah cukup bagiku."

Timbul senyuman kecil di wajahnya, keliatan kalau itu sudah menggambarkan apa yang dia rasakan sekarang.

"Sal, senyum kamu itu bagus, dan itu adalah salah satu alasan ku untuk tetap menunggu mu sampai sekarang."

***

Setelah aku bertemu dengan Salma di kafe mas Yon, Salma pulang dengan dijemput Papa nya. Dari dalam mobil, Salma melambaikan tangan sambil melempar senyumannya, senyuman yang paling indah, yang hanya dimiliki oleh salah satu dari triliunan ciptaan tuhan, yang bernama Salma Yumna Arisa..

Derap Langkah #1 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang