Salah sekali memang naik taksi di hari kerja, Yogyakarta memang sulit dijadikan teman. Para pendatang, banyak sekali yang memadati jalanan kota Jogja. Untuk manusia yang sibuk dengan pekerjaannya, Salma lebih memilih untuk dirumah. Karena baginya, rumah adalah kota mati yang tidak memaksanya patuh akan peraturan.
"Ah pake macet segala lagi!"
"Macet itu juga takdir Tuhan, Sal. Mungkin Tuhan ingin kita berlama-lama di mobil, supaya aku mempunyai lebih banyak waktu dengan mu."
"Berarti Tuhan tidak adil."
"Dia Maha Adil, Salma."
"Kalau memang takdir-Nya adalah macet, berarti yang bahagia cuma kamu."
Aku tertawa, "Sebentar lagi kamu akan bahagia juga."
"Kalau disebelahku masih ada kamu, tidak ada yang namanya bahagia."
"Hmm... kalau berada disebelahmu sudah tidak ada kesempatan lagi, berarti di hidupmu boleh ya, Sal?""Hidup mu kurang seru sampai harus menggangguku?"
"Sebenarnya hidupku sudah seru, tapi belum indah."
"Ga, kamu makan apa sih?"
"Makan apa maksudnya, Sal?"
"Kamu jadi aneh."
"Loh bukannya katamu aku memang aneh?"
"Ya iya sih, tapi sekarang makin aneh."
"Mangkanya jangan terlalu diperhatiin, Sal. Nanti kalau kamu tiba-tiba jadi makin nyaman denganku, kan kamu sendiri juga yang tidak mau.."Salma akhirnya diam. Ia memilih tidak lagi meneruskan percakapan yang selalu berujung dengan membuatnya jengkel. Entah darimana aku belajar bicara seperti itu. Kalau perempuan itu bukan Salma, pasti dengan mudah akan jatuh cinta kepadaku hehehe. Ya walaupun tampang ku ini memang pas-pasan dengan rambut gondrong yang selalu diikat. Senja pun tidak berhasil mencuri hatinya, apalagi aku.
"Sal, kamu sukanya apa sih?"
Salma masih pada keputusannya untuk membisu. Ia sungguh-sungguh tidak tertarik untuk mendengar gombalan ku yang semakin membuat perasaan nya merasa ada yang keliru.
"Sal? Saal? Salmaa?" Aku terus memanggil Salma seperti anak kecil yang memanggil temannya untuk bermain dari luar pagar."Payah, Salma tidak mencerminkan anak komunikasi yang baik."
"Biarin."
"Ayo jawab dong Sal,"
"Aku sekarang gak suka apa-apa, Ga."
"Nggak mungkin."
"Ya sudah kalau nggak percaya."
"Jangan terlalu menutup diri dari dunia, Sal."
"Dunia yang terlalu sibuk untuk aku ajak bicara baik-baik."
"Maksudnya, Sal?"
"Kamu nggak perlu ngerti, di sini aku yang anak komunikasi.""Sudah sampai, Mas, Mba."
Salma keluar dari taksi lebih dulu. Hatinya itu memang sensitif. Kalau ada orang yang berusaha memberinya nasihat pasti berakhir dengan pendapatnya yang harus selalu benar. Itu salah. Salma pun tahu kalau itu salah. Tapi dia sudah terlanjur tidak peduli.
"Halloween masih lama, Ga."
"Bukan untuk halloween, tapi untuk mu."
"Untukku?"
"Air mineral mu sudah habis kan? Kalau kamu haus, aku yang repot." jawabku sambil memasuki area toko."Siang, Mas, ada yang bisa dibantu?"
"Saya cari kostum yang mirip-mirip princess di disney gitu, Mba, ada?"
"Oh ada-ada. Mari ikut saya, Mas."
Salma memanggil ku, "Mau apa sih, Ga?"Aku sama sekali tidak menghiraukanya. Aku lantas mengikuti Mba penjaga toko tadi.
"Maunya princess apa, Mas?"
"Ha?" Aku kebingungan sendiri.
Salma yang dari tadi cuma berdiri dan memperhatikanku ribet seperti ini, tidak kuasa menahan tawa, "Hahaha... princess itu ada banyak, Ga."
"Oh... iya... ya?"
"Makanya besok lagi riset dulu,"
"Jadi besok mau pergi denganku lagi?"
"Gak.""Memangnya ada princess apa aja, Mba?"
"Ada Aurora, Cinderella, Snow white dan Belle."
Aku berbisik pada Salma dengan wajah sedikit ragu, "Sal, Belle itu yang pangerannya dikutuk jadi monster? Yang wajahnya jelek itu."
"Iya bener."
"Aha! Ya sudah, Mba, yang Belle saja. Tolong dicarikan ukuran yang seperti ini ya." jawab ku sambil menunjuk Salma.Mata Salma langsung membelalak saking kagetnya, "Aku?! Kok aku?!!"
"Udah deh..." jawabku santai walau sebenarnya aku takut sekali dipukul Salma.

KAMU SEDANG MEMBACA
Derap Langkah #1 (SELESAI)
Fiksi RemajaMari berbagi rasa Dari relung hati Yang terdalam ... Ketika seorang Rangga Ilyas berjuang untuk mendapatkan hati seorang Salma Yumna Arisa, tapi memperjuangkan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan