Setelah hari itu, tak aku dengar lagi lelucon menyebalkan yang keluar dari mulut Rangga. Tak aku saksikan lagi langkah-langkah yang sedari dulu sulit sekali untuk disuruh pulang. Tak aku lihat lagi tukang yang membersihkan kolam ikan. Sejak hari itu, Rangga memutuskan semuanya, persis seperti kemauanku. Karena ia tak pernah bisa menolak permintaan perempuan yang ia sayangi ini, sekalipun permintaan yang membuat hatinya terluka.
Dan ternyata, kehadiran Johan tak banyak membantu. Aku kira, dengan hadirnya pelukan Johan, akan menyembuhkan perasaanku, akan mengembalikan duniaku seperti dulu. Aku kira aku akan merasa lengkap kembali. Nyatanya tidak. Semakin buruk. Semakin parah. Semakin sepi. Semakin sendiri.
"Salma, bisa temani aku jalan sebentar?"
"Mau ke mana?"
"Apakah harus dijawab?"Johan menggandeng tanganku. Berjalan kaki keliling perumahan. Namun, pikiranku tak bersamanya. Dan Johan mungkin tahu itu. Pandangannya kosong. Tangannya dingin.
Langkah Johan berhenti, diikuti olehku. Kita berdiri di depan sebuah rumah kosong. Di halamannya terlihat banyak daun-daun gugur yang berserakan. Seperti lama sudah tak dihuni.
"Mau ke sini?" tanyaku.
Ternyata Johan mengajak ke rumah masa kecilnya, tempat ia tumbuh. Saksi bisu yang mengenal betul betapa indahnya dunianya Johan pada masa itu.
"Kamu benar, Sal, rumah tak akan berubah."
"Tidak selalu benar, Johan. Ada rumah yang runtuh. Ada rumah yang diubah. Ada rumah yang tak lagi berbentuk rumah. Rumah bisa berubah, yang hidup di dalamnya pun bisa berubah, tapi cerita di dalamnya tidak akan bisa berubah."
"Salma, mengapa rasanya kini begitu asing?"
"Asing? Apa yang asing? Rumah ini?"
"Bukan. Kamu. Kamu terasa asing. Rasanya kini ada bagian dari duniamu yang tertutup dan tidak bisa aku masuki. Ada apa, Sal? Apa yang aku tidak tau?""Tidak ada. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang asing. Aku masih Salma yang kamu kenal dan selamanya akan terus begitu."
"Ada banyak cara menyembunyikan sesuatu. Kadang, yang terdengar belum tentu benar, dan yang terlihat belum tentu tepat."
"Lalu apa yang selalu benar?"
"Kata hatimu, Sal, itu yang selalu benar. Tapi kamu tidak mau mengutarakan itu sama aku. Kamu tidak mengizinkan aku untuk mengetahuinya."
"Karena memang tidak ada apa-apa, Johan. Kosong, tidak ada yang perlu kamu tau. Lagian, sejak kapan aku bisa menyembunyikan sesuatu dari kamu?"Johan melepas genggamannya. "Sejak kamu bukan lagi Salma yang kukenal!" ketusnya lalu pergi.
Aku terdiam. Yang seperti ini juga pernah terjadi. Aku menunggu Johan sampai ia bisa mengendalikan emosinya. Dan benar, belum sampai jauh, Johan berhenti dan berjalan kembali ke tempatku.
"Maaf," kata Johan sambil menunduk.
"Sekarang kamu jadi suka minta maaf, Johan. Jangan lagi, ya? Jangan pernah minta maaf lagi. Sesuatu yang dimaafkan tujuannya untuk diulangi lagi."
"Aku cuma takut kehilanganmu."Aku tersenyum. "Kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Johan. Tidak akan."
Johan ikut tersenyum untuk membalas senyumanku. Hatinya mungkin cukup lega. Ia menggandeng tanganku lagi, mengajakku untuk duduk di pinggir jalan, tepat di atas rumput yang begitu hijau."Kamu menyelamatkan hidupku lagi untuk kedua kalinya, Sal. Itu sebabnya aku ada disini sekarang."
"Menyelamatkan hidupmu? Kedua kalinya? Aku nggak ngerti."
"Waktu di Rinjani, dan beberapa hari yang lalu. Aku tenggelam dan untungnya seorang nelayan berhasil menyelamatkanku. Tapi Mas Anwar bilang aku hampir mati, bila saja kamu tidak ada."
"Kamu tenggelam? Kamu tenggelam dan kamu baru cerita ini sekarang?"
"Salma, bukan itu yang ingin kusampaikan."
"Bila aku tidak ada? Maksudnya apa Johan? Jelas saja aku tidak ada, aku kan di Yogyakarta."
"Kamu muncul di mimpiku ketika aku pingsan."
"Aku?"
"Iya. Kamu, Salma. Kamu adalah alasan mengapa aku ingin terus membuka mata, untuk melihat matahari terbit dan tenggelam. Kamu adalah alasan aku ada di bumi yang mengerikan ini. Salma, kamu adalah pelayaran terakhirku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Derap Langkah #1 (SELESAI)
Teen FictionMari berbagi rasa Dari relung hati Yang terdalam ... Ketika seorang Rangga Ilyas berjuang untuk mendapatkan hati seorang Salma Yumna Arisa, tapi memperjuangkan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan