Bagian 7

19 7 0
                                    

Salma beranjak. "Laper," katanya singkat. Lalu ia berjalan pergi. Sempat bingung sebentar, namun aku akhirnya ikut berjalan dibelakangnya seakan mengerti bahwa maksud perkataan Salma barusan adalah "Temenin makan yuk."

"Salma mau makan apa?"
"Air putih."
"Tadi katanya laper?"
"Katamu air putih bagus untuk tubuhku?"
"Iya, ya sudah."

Akhirnya Salma duduk, sedangkan aku membeli air putih seperti permintaan Salma barusan. Sekembalinya, Salma langsung memulai sebuah cerita, "Dari saat itu, aku tidak pernah bisa dekat sama banyak orang, Ga."
"Kenapa gitu? Dulu kan kamu orangnya mudah bergaul dengan banyak orang."
"Ya setelah lulus SMA, dan aku jauh dari kamu. Semangat yang dulu aku punya seketika menghilang. Maka dari itu aku menutup diri, sampai sampai kamu pun baru tahu kalau kita satu kampus."
Salma berhenti sejenak, lalu melanjutkan nya, "Teman ku hanya satu, aku kenal dengan nya ketika baru masuk kuliah. Namanya Liana Anggraini."
"Aku, Sal? Apa aku belum bisa jadi sahabat atau temanmu lagi?"
"Belum," jawab Salma jujur.
"Ada syaratnya ya, Sal? Apa ada seleksinya?"
"Seleksi? Jangankan sahabat, jadi teman saja yang minat hanya kamu."
"Aku mau, Sal, mau sekali jadi teman, bahkan jadi sahabat mu lagi."
"Nggak usah jadi temanku."

"Aku kira karena udah kenal dan sering ngobrol sama kamu bisa membuatku jadi sahabat mu lagi."
"Sama tukang nasi goreng juga aku sering ngobrol."
"Dipikir-pikir dulu juga gapapa, Sal. Siapa tau besok kamu mau jadi temanku lagi. Siapa tau lusa kamu mau jadi pacarku."

Aku nyengir, "Tapi kalau mau beneran gapapa lho, Sal."
"Mau apa?"
"Jadi pacarku."
"Balik yuk."
"Eh iya-iya,"
"Emang gak ada kelas?"
"Ada, tapi udah sering. Kalau nemenin Salma di kantin kan jarang-jarang."

Salma cuma bisa geleng-geleng kepala. Di satu sisi ia ingin sekali tersenyum, karena memang menyenangkan mendengarkan lelucon ku. Tapi di sisi yang lain, Salma tidak mau aku merasa dekat dengannya. Salma mau aku tetap berjaga jarak dengan ku, atau bisa dibilang, aku tidak boleh bergabung dengan dunianya lagi.

"Sal?"
"Hmm?"
"Sejak lulus SMA, pernah pacaran?"
Dengan percaya diri Salma menjawab, "Ya enggaklah!"
"Ah masa? Dekat dengan seseorang?"
"Nggak pernah, Ga."
"Tapi kan di kampus ini banyak sekali cowok-cowok ganteng, contohnya temanku Yudha."
"Nggak, Rangga."
"Masa sih?"
"Nanti deh, kalau kamu jadi sahabat ku lagi, kamu akan ngerti."

Pertanyaan ku membawa Salma kembali pada hari itu, beberapa bulan lalu. Kembali pada sosok itu yang hanya dengan mengingatnya, menjadi kebahagiaan Salma paling sederhana dan paling mudah untuk dilakukan.

"Memangnya, suka itu apa, Ga?"
"Suka itu... ya... kalau kamu merasa senang dengan orang itu."
"Berarti pernah."
Aku agak terkejut, ada bagian dalam perasaan ku yang terasa sedikit ngilu, "Oh iya?"
"Johan. Namanya Johan, Ga."
"Johan, Sal?"
"Iya, Ga."
"Masih suka nggak, Sal?"
"Aku suka sama dia sekali-sekali doang. Nggak setiap waktu. Nggak sering. Jarang. Soalnya, dia orang yang rumit dan nggak pernah menetap di satu titik. Dia terlalu ngebingungin. Menurut aku, suka sama orang sejenis dia, cuma buat capek sendiri."
"Kalau sekarang? Lagi suka sama dia nggak?"
"Nggak."

Aku langsung tersenyum lebar, "Aku pesen mie bakso dulu ya, Sal!!"

***

"Kamu beneran nggak masuk kelas?"
"Udah telat setengah jam, Sal."
"Siapa tau masih boleh masuk,"
"Percuma kalau dikelas pikiranku di kantin. Kasihan ada princess sendirian."
"Ga..."
"Loh? Benar, kan?"
Salma menggelengkan kepalanya, "Sampai kapanpun aku tidak akan jadi princess."
"Ikut aku, yuk."
"Kemana?"
"Udah ayo!" seruku sambil beranjak pergi.
"Nggak mau!"

Dari kejauhan aku memperlihatkan tas ransel Salma, Salma memeriksa tas yang tadi ada persis di sebelahnya, kini berpindah ke tangan ku. Ia membalasnya dengan cemberut. Dalam hati ia menyampaikan kebingungannya, "Kapan dia ambil tasku ya?"
"Salma? Salmaaa?"
"Hhhh, iya iya sebentar."

Derap Langkah #1 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang