Bagian 12

12 4 0
                                    

"Ini kamu semua yang buat?"
"Sebenernya ini rahasia, Sal. Yang boleh baca tulisan di kertas-kertas ini cuma kamu. Tapi kalau ada orang lain yang baca gapapa juga sih, biar semua tau aku menyayangimu."
"Berarti lebih baik aku aja yang baca."
Aku tersenyum. "Setelah ini kamu tau, kan, apa yang terjadi?"
"Aku harus bersedia diganggu kamu dan nggak boleh protes."
"Serius, Sal?"
"Loh, kan, tadi memang gitu persyaratannya."
"Aku bercanda, Sal, aku nggak maksa."
"Ga?"

Nada bicara Salma berubah serius. "Kenapa, Sal?"
"Kamu tahu cinta pertama seorang perempuan itu adalah dari ayahnya? Dan cinta pertama itu sudah mematahkan hatiku. Ayahku sendiri yang membuatku berhenti percaya dengan cinta. Dia sudah tidak peduli lagi denganku, Rinto, dan Mama. Dia sudah sibuk dengan pekerjaannya, dia bahkan jarang untuk pulang ke rumah, selalu saja di kantor. Dia juga tidak pernah peduli terhadap keadaan Mama, Ga. Aku takut, aku takut kalau semua laki-laki itu sama, aku takut percaya lagi sama yang namanya cinta, aku takut kalau..."

Aku terhenyak sesaat. Aku mengunyah pelan sisa makanan yang ada di mulutku. Salma membuka hari ini dengan cerita kelam baru lagi. Aku agak lama merespons. Aku hanya ingin memberi waktu untuk Salma bicara lebih banyak lagi tentang dirinya yang tak aku ketahui. "Sal, tapi aku Rangga, aku bukan ayahmu," sambungku berusaha menenangkan Salma sambil memegang kedua tangannya.
"Ya, mungkin sekarang aku bisa percaya kamu adalah Rangga, tapi bagaimana kalau–"
"Jatuh cinta itu jangan terlalu banyak bagaimana, Salma. Lagi pula untuk apa aku menyakitimu? Alasan apa yang bisa aku buat untuk pergi darimu?"
"Tapi aku butuh waktu, Ga."

Aku tersenyum lagi. "Kamu mau apa saja akan kuberikan, Sal. Waktu, cinta hati, bahkan kamu mau menolakku pun tidak apa-apa. Karena aku cuma menyayangimu, itu saja."
"Tapi kamu bisa menyayangi perempuan lain yang lebih layak untuk kamu sayangi, Ga. Contohnya Thalia."
"Thalia hanya temanku, Sal, tidak lebih. Aku tahu, Sal, aku juga maunya begitu, tapi hatiku sudah menetapkan cintanya kepadamu."
Gantian Salma yang tersenyum, ia tak mampu menyembunyikan keteduhan hatinya.
"Mungkin Tuhan menciptakan senyummu dengan begitu hati-hati, Sal. Karena hasil karyanya begitu sempurna. Dan tidak ada yang boleh menghancurkan itu, bahkan dirimu sendiri," kataku sambil terus memperhatikan wajah Salma ketika sedang tersenyum. Aku tidak ingin menarik Salma, tidak juga ingin berjaga jarak supaya tidak bertabrakan. Aku cuma ingin berjalan pelan-pelan di sebelahnya, dengan waktu selama mungkin yang Salma butuhkan. Karena bagiku, yang terpenting adalah Salma.

***

"Sal, aku pengen es tebu."
Seselesainya aku menghabiskan nasi Padang, aku langsung mencari ide supaya bisa terus bersama Salma. Ida supaya Salma tidak pulang sekarang. Dan es tebu, menjadi ide terbaik saat ini.
"Es tebu?"
"Iya, es tebu. Tapi yang kusuka adanya di mal, Sal."
"Aduh, Ga, kenapa yang kamu mau ribet-ribet? Di minimarket aja nggak ada emangnya?
"Nggak adalah, Sal. Aku mau es tebu murni yang fresh."
"Ya udah, sana beli sendiri aja, deh."
"Ah, temanin, Sal."
"Nggak mau, ah. Males tau masuk mal segala."
"Sal.... bentar....aja. Lima belas menit, janji!"
"Lima belas menitmu itu lima jam, Rangga..."
Aku tersenyum lebar. "Gapapa, kan?"
"Hhhh! Ya udah, ayo cepetan!"

Salma bilang 'ya udah' bukan karena memang dia mau menemaniku ke mal untuk beli es tebu. Salma bilang 'ya udah' karena ia tidak suka berlama-lama beradu argumen denganku. Seperti waktu itu, ia tidak mau kelihatan seperti orang pacaran yang sedang bertengkar, ucapku dalam hati sambil melihat Salma berjalan keluar. Motorku masih ada di kampus. Salma tidak mau balik lagi ke dalam cuma untuk menemaniku ambil motor, karena terlalu mengulur waktu. Itu sebabnya kita memutuskan untuk naik bus umum saja.

Dengan tangan yang masih memegang kotak kesabara yang diberiku, Salma melangkah lebih dulu ke dalam bus disusul denganku yang di belakangnya. Bus sedang penuh sekali, berdiri saja desak-desakan. Tadinya aku sudah menyarankan untuk menunggu bus berikutnya saja, tapi nampaknya, menunggu bukanlah sesuatu yang akan dipilih Salma.
"Masih bisa bernapas, nggak?" sindirku usil.
"Belum mati buktinya."
"Kan, udah kubilang tunggu bus berikutnya aja, paling juga beda lima menit."
"Lima menit juga menunggu."
"Untung kamu bukan aku, Sal. Menunggu kamu yang nggak ada kabar selama dua tahun aja aku lakuin."
"Ya, lagian mau aja nungguin aku, terus sudah kusuruh menyerah tapi nggak mau."
"Aku berjiwa pahlawan, Sal. Aku mau berjuang sampai titik darah penghabisan."

Derap Langkah #1 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang