Bagian 17

8 2 0
                                    

Sekarang saatnya Salma yang melanjutkan ceritanya. Jadi mulai bab ini sampai ending memakai sudut pandang Salma. Selamat membaca, dan maaf jika ceritanya kurang bagus selama ini ehehehe..

Salam

***

Kalau semua cerita berakhir bahagia seperti di negeri dongeng, gak adil rasanya. Gak adil buat penulis maupun pembacanya, juga buat tokoh-tokoh yang sudah diciptakannya. Sekarang, cerita ini berfokus pada seorang perempuan yang sangat membenci dunia dan menutup dirinya dari dunia. Sampai akhirnya, seorang laki-laki yang dulu pernah ia jauhi dua tahun lalu datang kembali di hidupnya. Apakah perempuan itu masih menyayanginya seperti dulu? Atau tanpa sengaja rasa sayang itu ia titipkan pada seorang laki-laki yang bermimpi menjadi pelaut, yang datang di hidupnya setahun lalu dan sekarang meninggalkan ia sendirian?

Dulu mama pernah bilang, perempuan itu harus berani. Berani bicara, berani melakukan apa saja yang diimpikan. Tapi kalau berani, berarti harus siap menghadapi risiko. Berani jatuh cinta, risikonya patah hati. Berani merindu, risikonya berpilu. Berani bicara, risikonya kecewa.

Manusia akan selalu dihadapkan oleh dua pilihan. Mau pergi atau tidak kemana-mana. Mau berhasil atau gagal. Dan mau jujur atau berbohong. Apakah aku bisa memilih rumah mana yang akan ditinggali? Apa aku bisa memilih hati mana untuk kucintai?

Jadi tak semua perkara bisa terjadi di antara dua pilihan. Cinta, memaksa kita untuk dipilih.

***


"Ada masa ketika kita tidak mampu punya daya apa-apa, Sal."

Kita berdua merebahkan tubuh di pinggir pantai sambil menunggu matahari terbenam. Johan bilang, tempat ini adalah tempat terbaik untuk berduaan dengan senja.

"Tapi gue harus punya daya. Gue nggak bisa cuma diem dan menunggu keajaiban. Itu buang-buang waktu, Han, lo tau kan?"
"Lo masih inget nggak? Kenapa gue anggap lo itu sama indahnya sama senja?"
"Han, itu sudah setahun yang lalu."

"Karena lo sama indahnya sama senja. Banyak yang suka, banyak yang kagum. Tapi itu senja yang ada di langit. Sedangkan lo, lo itu senja gue satu-satunya, yang muncul cuma sekali dalam hidup gue dan mampu ngasih inspirasi buat gue."
"Dan ada lo... Johan. Johan yang selalu membawa ketenangan, walaupun lo itu bandel dan tatoan. Lo mampu menghangatkan situasi seburuk apapun."

Seperti senja yang singgah sebentar di birunya langit, itulah aku sekarang. Tidak tahu sampai kapan semesta mengutuk kebahagiaanku, tidak tahu sampai berapa lama awan mendung mencuri senyuman yang harusnya terlukis di wajahku, aku hanya sudah terlalu bersahabat dengan kesedihan yang sudah abadi di dalam hidupku.

"Salma?"
"Apa?"
"Coba merem."
Aku menoleh, "Ngapain?!"
"Udah merem aja."

"Gimana?" tanya Johan.
"Gimana apanya?" tanyaku yang masih memejamkan mata.
"Pemandangan langit sore ini."
"Ya mana kelihatan kalau mata gue merem!"
"Nah, itu dia maksud gue."
"Hah? Maksud lo?" tanyaku lagi yang masih saja memejamkan mata.
"Kadang, dunia nggak perlu dilihat dengan jelas. Dengan begitu, kesedihan yang lo lihat setiap hari juga nggak bakal kelihatan. Mata lo butuh istirahat, mereka yang paling capek nemenin lo ngadepin semua ini."

Aku membuka mata, "Berarti gak nyata dong, Han?"

Johan beranjak, menarik tanganku untuk duduk, menatapku serius, "Salma, ngomongnya pake 'aku' 'kamu' aja yuk?"
"Kenapa emangnya?"
"Kalau didengar orang pake 'lo' 'gue' nanti dikiranya kita nggak saling kenal."
"Ah, lebay."
"Ayolah, Sal, supaya lebih teduh tiap kali didengar."

Derap Langkah #1 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang