Bagian 11

12 3 0
                                    

"Mau cari ke mana, Ga? Kan sudah kubilang, hilang."
"Bahkan yang mati tidak pernah musnah dari bumi, Salma."
"Iya, aku tahu, tapi ini beda."
"Berarti perasaanmu masih hidup."
"Sudah tidak ada, Ga, kamu mau cari ke mana?"
"Ke mana saja asal sama kamu."
"Kamu memaksa, Rangga."
"Karena usulmu tidak mungkin aku terima."
"Usulku demi kebaikanmu."
"Untuk tidak mencintaimu? Ayolah, Sal, bahkan malaikat di samping kita tak mungkin setuju."
"Justru malaikat tau, aku cuma bisa menyakitimu."
"Salma, aku nggak suka lho, bertengkar sama kamu."
"Bertengkar? Emang kita ini lagi bertengkar?"
"Gapapa juga sih sebenernya, biar makin kayak orang pacaran."

Saling balas-balasan argumen seperti ini memang sering aku lakukan dengan Salma ketika sekolah dulu. Sebenarnya, kalimat yang aku keluarkan tadi adalah cara membuat Salma diam dan setuju dengan pilihanku, bahwa aku akan tetap mencintainya, walau aku tahu Salma tidak akan pernah membalasnya, tapi itu tidak apa-apa.

Salma memegang gagang cangkir, kopinya sudah dingin. Percakapan yang kita lakukan tadi, tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa bahkan kelihatannya, membuat Salma kehilangan selera untuk menikmati kopi nya.
"Kopi yang dingin juga masih bisa diminum kok, Sal, asal jangan lebih dari 24 jam aja, soalnya sudah basi."
"Nggak usah bercanda."
"Loh, aku nggak bercanda. Aku serius."
"Itu kelihatan nggak serius, Rangga."
"Lalu, kamu maunya aku serius tentang apa? Serius tentang perasaanku? Kamu juga nggak percaya. Terus yang mau kamu percaya tentang apa?"

Salma berdiri dari bangkunya, "Pulang aja deh, yuk!"

***

Perjalanan pulang memang lebih cepat. Seperti turun dari perosotan hingga sampai di depan rumah. Selama di dalam metromini tadi, kita saling diam. Arus balik tidak macet. Hari sudah gelap. Bahkan, Salma sudah tidak berniat menengok jam tangannya. Obrolannya denganku benar-benar menyita pikirannya.
Aku membukakan pagar untuk Salma setelah turun dari metromini dan berjalan sedikit.
"Istirahat ya, Sal. Jangan pusingkan ucapanku, pada dasarnya, itu semua cuma kata-kata."
"Kamu tau nggak, Ga? Satu masalah besar sering berawal dari satu kata."
"Untung tadi aku ngucapinnya nggak cuma satu kata."
"Kamu jangan bikin aku kesel, aku lagi nggak punya kekuatan buat ngeladenin kamu."
"Besok aku bawain deh."
"Bawain apa?"
"Kotak kekuatan."
"Ah, ngomong doang! Waktu itu kamu bilang mau ngasih aku kota kesabaran, mana buktinya?"
"Oh iya, lupa. Besok ya, kamu ke kelasku."
"Ke gedung seni rupa?"
"Iya, mau kotak kesabarannya, kan?"
"Nggak jadi deh."
"Ayolah, Sal."
"Takut!"
"Apa yang harus ditakutin? Aku kan cuma minta kamu ke kelasku bukan masuk ke kandang singa."
"Sama aja."
"Salma, kalau kamu lagi sama aku, aku memang nggak bisa janji kamu bakal baik-baik aja, atau kamu bakal aman, atau kamu nggak akan kenapa-kenapa. Tapi, yang bisa aku janjikan adalah aku akan selalu jaga kamu. Ini serius, terserah kamu mau percaya atau nggak. Sana masuk, aku nggak mau kamu kesiangan besok."

***

Drrtt... Drrtt...

Bunyi alarm terdengar, jam di handphone ku menunjukkan pukul empat pagi. Dengan setengah sadar, tangan ku mencoba menggapai handphone ku yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidur.

Hari ini aku cuma ada satu mata kuliah. Setelah mandi dan sudah siap, aku bergegas menuju ke kampus. Kelas dimulai jam delapan. Jam di handphone ku menunjukkan pukul tujuh, masih ada waktu satu jam lagi kelas dimulai, aku langsung pergi ke warteg favorit ku yang ada di dekat kampus.
"Pagi, Mas Rangga," sapa Mbak Suti, pemilik warteg itu.
"Pagi Mbak, seperti biasa ya," ucap ku pada Mbak Suti yang langsung menyiapkan pesananku.
"Siap Mas."

Sambil menunggu pesanan, aku mengambil sebungkus rokok yang ada di saku celana dan mulai merokok. Tak lama kemudian Liana datang untuk makan di sini juga.
"Wihh kesambet apaan jam segini udah dateng?"
"Nggak kesambet apa-apa, emang gue sering datang jam segini kok. Lo nya aja yang baru dateng kesini jam segini."
Liana kelihatannya heran melihatku merokok.
"Jadi selama ini lo ngerokok, Ga?!" tanya Liana agak sedikit melotot padaku.
"Iya, emang kenapa? Nggak boleh? Suka-suka gue dong," jawabku sambil menghisap rokok dan membuang asapnya kesebelah kiri agar tidak terkena Liana.

Liana cuma geleng-geleng kepala. Beberapa saat kemudian pesananku datang.
"Gue makan duluan ya, Na,"
"Yaudah makan aja."
Sambil melahap makananku, aku ingat bahwa harus memberikan kotak kesabaran pada Salma. "Oh iya, Na, Salma kira-kira masuk nggak hari ini?"
"Kayaknya sih masuk, emang kenapa?"
"Nggak, cuma mau ngasih sesuatu ke dia."
"Ngasih apaan tuh?" ejek Liana.
"Jangan kepo deh, cuma Salma aja yang boleh tau."
"Yasudah deh kalau gak boleh kepo, Good luck, ya."

Setelah makanan ku habis, aku pamit ke Liana untuk langsung ke kampus. Tas ku lumayan berat, ya karena aku membawa kotak kesabaran untuk Salma. Kotaknya terbuat dari kaca, berisi 730 gulungan kertas putih yang bertuliskan semua alasan ku kenapa Salma harus bersabar denganku, dan ketika Salma sudah membaca satu kertas pertama, maka ia harus setuju dengan semua alasan yang aku buat itu. Dengan kata lain, dia harus sabar denganku.

***

Dikelas, aku menaruh tas ku diatas meja dengan hati-hati, supaya kotak kaca itu tidak pecah. Sebelum kelas dimulai, aku buru-buru ke toilet karena sudah kebelet.

Sekembalinya dari toilet, aku melihat Salma yang ingin ke kelasku tapi dihadang oleh segerombolan mahasiswa junior yang sok senior.
"Maaf permisi," kata Salma pada anak-anak itu.
"Adoooh! Ni, ikan mau ke mana, sih?"
"Maaf, Kak, mau ketemu teman."
"Lah, kita ini kan teman," sahut salah satu anak lagi.
"Kak, maaf, permisi."

Agak sedikit geram melihatnya, aku lalu menarik tangan Salma dari belakang, "Lo semua denger nggak dia bilang permisi?"
Sontak Salma kaget, segerombolan mahasiswa itu apalagi. Dan terlihat  wajah Salma agak pucat.
"Maaf, Bang. Maaf, Bang."
Setelah itu, segerombolan mahasiswa sok senior tadi akhirnya bubar. Salma cuma bisa diam dengan raut wajah yang semakin pucat.
"Sal, gapapa, Sal?" aku bertanya lembut.
"Gapapa," jawabnya cepat
"Tadi Salma diapain?"
"Nggak diapa-apain."
"Ya udah, yuk ke kelas?"
"Ga, bisa nggak kalau ngasih kotak kesabarannya jangan disini."
"Tapi kotak kesabarannya ada di kelas, tadi aku abis dari toilet, tasnya juga ada di kelas."
"Tapi, Ga...."
"Ya udah, Salma tunggu sini, aku ambil tas dulu."
"Eh, Ga!"
"Apa?"
"Ikut...."

Aku tersenyum dan menggandeng tangan Salma. "Harus banget gandeng tanganku?" tanya Salma bingung.
"Biar aman, biar semuanya tau kamu punyaku."
Kalimat barusan membuat Salma diam dan menurut. Dengan tangan yang aku genggam erat-erat, Salma berjalan di sampingku menuju kelas. Kita resmi jadi tontonan mahasiswa lain. Seorang perempuan yang berwajah ramah, tiba-tiba keluar dari kelasku sambil bertanya. "Siapa, nih?"
"Pacar, Bil." jawabku yang dibalas Salma dengan menyubit lenganku.
Billa, temanku tadi justru balas menyindir, " Ah, lebih dari teman juga gapapa, nggak ada yang marah juga." Ternyata tidak semua anak seni menyebalkan, mungkin itu yang dikatakan Salma didalam hatinya. Setelah itu, Salma menunggu di depan pintu, sedangkan aku masuk ke kelas untuk mengambil tas beserta kotak kesabaran yang hendak aku berikan kepada Salma.

Tidak lama aku keluar. "Yuk?"
Aku membawa Salma ke warung nasi Padang dekat kampus. Walaupun tadi aku sudah makan, demi menemani Salma aku tidak apa-apa makan lagi hehehe..
"Ayo cepetan, buka kotak kesabarannya!!"
"Iya, iya, sabar."
Aku mengeluarkan sebuah kotak kaca dengan banyak kertas kecil di dalamnya.
"Jadi, aku menamakan kotak ini kotak kesabaran karena isinya adalah alasan mengapa kamu harus sabar denganku."
"Maksudnya?"
"Nih, coba kamu ambil satu kertas di dalamnya."
Salma memasukkan tangannya ke kotak itu, dan mengeluarkannya lagi dengan sebuah kertas kecil yang ia genggam. "Eits, tunggu jangan dibuka dulu."
"Apalagi?"
"Kalau kamu sudah membaca satu kertas, itu tandanya kamu setuju dengan semua alasan yang aku buat. Dengan kata lain, kamu harus sabar denganku."
"Deal!" ucap Salma semangat.
"Oke, jadi... alasan pertama Salma harus sabar menghadapi Rangga adalah...."
Salma membuka kertas itu kemudian membacanya. "Karena Rangga cuma ingin buat Salma bahagia lagi."

Derap Langkah #1 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang