❤ 01

44.4K 3.3K 498
                                    

Pagi ini matahari tampak bersembunyi diantara gerombolan awan yang memberi warna gelap pada langit, dihari pertamaku bekerja pada sebuah perusahaan besar sebagai pegawai tetap setelah sebelumnya telah melalui masa training selama satu bulan.

Aku banyak menerima informasi tentang perusahaan tersebut selama bekerja disana. Yang paling menarik perhatianku adalah berita tentang CEO perusahaan yang sedang menjabat saat ini. Usut punya usut, kalau CEO saat ini masih sangat muda. Rekan kerjaku bilang dia bahkan lebih muda beberapa tahun dari kami. Cukup mengejutkan, mengingat kami semua belum pernah bertemu secara langsung.

Setelah turun di halte terdekat, aku melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Masih ada waktu tiga puluh menit, sedangkan jarak dari halte bus menuju kantor hanya membutuhkan waktu lima menit. Itu artinya, aku masih memiliki sisa waktu cukup banyak.

Aku membelokkan langkahku dan berhenti disalah satu swalayan yang berada disebrang halte untuk membeli roti.

Aku lapar.

"Berapa?" tanyaku pada kasir swalayan setelah mengambil satu bungkus roti dan susu strawberry.

"Dua belas ribu." Aku berterima kasih setelah memberi beberapa lembar uang pas pada sang kasir, lalu mulai melangkah keluar.

Ternyata pilihanku untuk mampir membeli sarapan kemari merupakan keputusan yang kurang tepat. Kini butiran air hujan dengan ramainya datang membasahi kota. Naasnya, meski sudah sadar kalau cuaca kurang bersahabat, aku lupa membawa payung.

"Tau gitu langsung aja ke kantor. Sarapan disana." Aku mendesah, menyesali keputusanku untuk datang kesini.

Hujannya cukup deras, mustahil kalau aku memaksakan diri menerobos hujan dengan seragam kantorku yang sudah serba rapih. Akhirnya, aku membuka roti yang tadi aku beli sembari menunggu hujan reda.

"Astaga!" roti yang baru saja aku keluarkan dari bungkusnya terjatuh ke jalanan yang kupijak ketika seseorang membuka pintu swalayan hingga membuatku yang berdiri tepat di depannya, jadi terdorong.

Aku melongo, memandangi roti yang mulai melebur bersama air hujan itu dengan perasaan sedih dan... kecewa.

"Tuhan... Maaf aku nggak sengaja," ucap seseorang disebelahku, setelah beberapa saat kami hanya terdiam. Mungkin dia sama terkejutnya denganku.

Dengan susah payah aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum, lalu perlahan menoleh pada pemilik suara berat disana. Laki-laki berperawakan tinggi dan putih itu menatapku takut-takut.

"Nggak apa-apa kok. Belum rejeki ternyata," kataku diiringi tawa datar.

"Tunggu sini, aku beliin lagi ya?" pria itu hendak kembali masuk ke dalam toko kalau saja aku tidak menahannya.

"Nggak apa-apa kok. Lagi pula aku masih punya susu. Nih," kataku sambil memperlihatkan susu kotak ditangan. Laki-laki itu terdiam, entah apa yang dia pikirkan.

Sialnya, cacing diperutku benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Mereka mengeluarkan suara memalukan disaat seperti ini. Bahkan suara hujan di depan kami, terkalahkan oleh suara gerombolan cacing kelaparan dalam perutku. Oh astaga, memalukan sekali!

"Kayaknya nggak cukup kalau cuma susu ya?" Pria itu tertawa mendengar suara perutku yang mengerang meminta makanan, "aku beliin dulu, sebagai gantinya. Tunggu sebentar."

Meski sangat malu mengakuinya, perut tidak bisa berbohong kalau saat ini aku benar-benar kelaparan. Hingga berselang beberapa menit kemudian, laki-laki itu kembali dengan sebungkus roti baru dengan merk serta rasa yang sama dengan milikku sebelumnya. Aku pun menerima roti yang dibelikan pria asing itu dengan malu-malu.

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang