❤ 31

17.8K 2.3K 373
                                    

"Ya?" aku menatap Changbin lekat-lekat, berharap mendapat sebuah jawaban dari sorot matanya. Namun nihil, aku tidak bisa membaca arti dari tatapan matanya saat itu. "Kenapa?"

Changbin terdiam, sebelum akhirnya membuka kembali bibirnya untuk berbicara. "Kamu nggak cocok sama dia."

Jawabannya barusan membuat dahiku berkerut dengan alis tertaut. Jawabannya tidak salah, tapi kenapa terdengar konyol dan tidak spesifik. Nada bicaranya terdengar serius, tapi aku belum menangkap maksud apa yang ingin disampaikannya padaku.

Melarangku karena dia cemburu atau karena merasa tersaingi?

"Terus, aku cocoknya sama siapa kalau bukan sama dia?" tanyaku.

"Sama aku," dia tidak melucu, tapi aku tertawa mendengarnya. Cukup keras, sampai membuatnya menatapku terheran-heran.

"Apa yang lucu?" tanya Changbin menyudahi tawaku. Perlahan aku mengangkat tanganku untuk diletakkan ke dahinya.

"Kamu demam nggak sih? Apa masih mabuk?" tanyaku meledeknya.

Changbin dengan cepat melepas tangannya dari tubuhku, ekspresinya berubah drastis seketika. Dia seperti tidak terima kalau aku masih menganggapnya mabuk.

"Mau kemana?" tanganku menahan lengannya ketika dia hendak pergi dari hadapanku.

Dia... ngambek.

"Mau ketemu bidadari aja. Males sama kamu," balasnya ketus sambil menepis pelan lenganku.

Bukannya mengejar, aku malah kembali tertawa mendengar jawabannya. Ternyata bahagiaku cukup sederhana, melihat Changbin ngambek.

"Changbiiiinnn~" meski masih sibuk mentertawakan Changbin, aku mulai menyusul langkahnya, gemas.

00

Hampir dua jam Changbin menolak bicara denganku di rumah ini. Karena merasa menyesal telah mentertawakannya diwaktu yang tidak tepat, aku akhirnya menghampiri Changbin yang sedang duduk disofa. Laki-laki itu sibuk mengerjakan pekerjaannya dengan laptop.

"Hmm," sahut Changbin tak acuh setelah aku memanggil namanya dan ikut duduk disana.

"Udahan dong marahannya. Udah dua jam nih," kataku, memasang ekspresi wajah melas supaya Changbin kasihan dan memaafkanku.

"Baru dua jam, belum seminggu," balas Changbin, tatapannya masih tak beralih dari layar laptop.

"Aku kan cuma nanya tadi. Kenapa memangnya kalau aku punya hubungan sama Senior Eunho nantinya? Aku nggak tau kalau jawaban kamu bakal selucu itu," aku menegang ketika Changbin dengan cepat menoleh kearahku.

"Kamu anggap omonganku tadi itu candaan?" nada suaranya tak terdengar seramah sebelumnya.

Aku menegapkan tubuhku lalu duduk menghadapnya. "Memangnya kamu serius dengan permintaan kamu itu?"

"Apa aku terlihat sedang melucu ketika meminta hal itu sama kamu?" Changbin berhasil membuatku terdiam. Aku menatap Changbin, tak sedetikpun bola matanya berpindah, yang menandakan kalau Changbin serius dengan kata-katanya.

Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba dering ponselku berbunyi disaat yang tidak tepat. Dengan cepat aku mengambil ponsel dari saku celana yang aku kenakan. Pada layar, tertulis nama seseorang yang sosoknya sedang kami perdebatkan saat ini.

Aku melirik Changbin, ternyata dia juga melihat nama Senior Eunho disana. Kemudian mata kami kembali bertemu. Andai Senior Eunho tau, panggilannya saat ini membuat keadaan semakin memburuk.

"Kalau aku bilang jangan angkat panggilannya, kamu akan tetap mengangkatnya atau enggak?" tanya Changbin tepat sebelum aku menggeser tombol hijau pada layar.

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang