❤ 23

17.7K 2.3K 528
                                    

Aku masih kembali ke apartemenku sendiri setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Changbin juga tidak mencariku melalui Seungmin atau Hansol. Jadi aku pikir dia masih sibuk mengurus pekerjaannya. Bisa jadi masih kesal denganku.

Aku akan pulang setelah memastikan semuanya normal lagi. Dengan malas, aku melangkah keluar dari lift. Namun baru beberapa meter, langkahku kembali terhenti ketika melihat sosok tak asing tengah bersandar sambil memainkan ponselnya tepat di depan pintu unit apartemen.

Alisku tertaut heran, sedang apa dia kesini?

Meski masih terbayang wajah Changbin saat dia memarahiku, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja ketika mulai berjalan menghampirinya. Changbin pun langsung menegakkan tubuh dengan kedua mata menatap kearahku.

"Ngapain disini?" tanyaku sambil membuka pintu yang terkunci, tanpa melihat laki-laki itu. Dibelakang sana, Changbin malah tak menjawab.

"Nggak masuk?" Aku menatap Changbin yang masih mematung ditempatnya.

"Aku boleh masuk?" Changbin balik menatapku ragu.

"Kalo nggak boleh pasti langsung kututup pintunya," balasku. Baru setelah itu Changbin tersenyum sambil melangkahkan kaki memasuki hunian sederhanaku ini.

Setelah menutup pintu, aku memandangi Changbin yang mulai bergerak menuju ruang tamu. Dia tampak lesu, tak bersemangat.

"Ada apa datang kesini?" tanyaku setelah kami duduk berhadapan. Suasana diantara kami masih canggung.

Ekspresinya memang tak menyeramkan seperti saat di ruang aula, tapi caranya menatapku tetap terlihat tajam seperti waktu itu.

"Kenapa nggak pulang?" tanya Changbin, nadanya terdengar seperti siap mengintrogasi diriku.

"Aku rasa kamu tau jawabannya."

"Jadi karena itu kamu bisa pergi dari rumah seenaknya?" kata Changbin yang langsung membuatku menautkan alis.

Aku rasa penggunaan kata 'seenaknya' pada kalimat Changbin itu kurang tepat. Aku bersikap seperti ini bukan tanpa alasan atau semata-mata hanya ingin mendapat perhatian dari Changbin.

"Kamu seharusnya mengabariku, paling tidak mengirimi aku pesan singkat," lanjutnya.

Aku tersenyum sinis, "Kenapa harus? Aku pergi pun kamu nggak peduli kan?"

"Aku ini suami kamu, Yena. Kegiatan kamu, kemana kamu pergi, aku berhak tau semua yang kamu lakukan," balasnya yang lantas mengundang tawaku.

"Suami yang terikat kontrak maksud kamu?" Changbin terdiam setelah mendengar perkataanku. Wajahnya menunjukan ekspresi terkejut.

"Yena..." Kini giliran aku yang terdiam. Aku sadar, membicarakan soal kontrak disaat hubungan kami sedang merenggang seperti ini justru memperburuk keadaan.

Ada yang salah dariku. Tidak seharusnya aku berkata sesuatu yang membuat Changbin tersinggung. Hanya karena aku marah, bukan berarti aku berhak melontarkan kalimat-kalimat tak pantas seperti tadi.

Aku menggigit bibir bawah, mendadak menyesali perkataanku sendiri. Sementara Changbin, masih menatapku dalam diam. Kini garis wajahnya tidak setegas sebelumnya karena terkejut dengan perkataanku yang mungkin dianggapnya keterlaluan itu. Aku malu, rasanya sikapku ini terlalu kekanak-kanakan.

"Aku ambil minum dulu," alihku, lalu bergegas bangkit menuju dapur.

Namun langkahku terhenti ketika sebuah tangan kekar tiba-tiba melingkar pada pinggangku. Changbin menghapus jarak antara kami dengan memeluk dari belakang yang lantas membuatku terkejut bukan main.

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang