❤ 28

16.2K 2.2K 276
                                    

"Changbin tunggu," ucapku untuk menahan langkahnya. Tapi laki-laki itu tak mengindahkan kata-kataku. Dia tetap membawaku ke mobilnya yang terparkir di halaman.

Aku tak sempat berpamitan dengan Mama dan Seungmin karena saat itu juga Changbin mulai melajukan mobilnya.

Meski dalam keadaan emosi yang tidak stabil, Changbin tetap mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Dia masih terdiam dengan berbagai pikiran yang memenuhi otaknya sampai-sampai membuatku tak berani bersuara. Khawatir malah mengacaukan suasana hati dan membuatnya tak berkonsentrasi untuk berkendara.

Jadi selama perjalanan sampai kami terduduk disofa seperti ini, tak ada satupun kata yang keluar dari bibir Changbin. Pasti dia marah karena aku bertemu dengan Papa tanpa memberitaunya.

Aku menghela napas, rasanya aku ingin bilang sama Changbin kalau dia boleh marah padaku. Jangan memendamnya dan memilih diam seperti ini.

"Seungmin jemput aku pas pulang kantor. Aku juga nggak tau kalau ternyata ada Papa disana," aku mulai buka suara untuk menjelaskan. Kalau diantara kami hanya terdiam, masalah tidak akan selesai. Kesalahpahaman akan terus terjadi dan semakin banyak yang tak terselesaikan.

"Kenapa kamu mau?" tanyanya ketus. Dengan susah payah aku menahan tawaku, karena saat ini Changbin terlihat menggemaskan dengan wajah cemberutnya itu.

"Ya aku 'diculik'nya ke tempat enak, masa aku nolak," jawabku diselingi canda. Aku mengangkat kedua kaki ke atas sofa, mengubah posisi dudukku menghadap Changbin. "Marahannya udahan ya?"

"Kita kan nggak lagi marahan."

"Bukan kita, tapi kamu sama Papa," sanggahku cepat.

Changbin menggeleng, "Itu urusanku."

Ketika hendak bangkit, aku meraih lengan Changbin sampai membuatnya kembali terduduk di sofa. Tanganku bergerak untuk mengeluarkan sebuah cincin yang sedari tadi aku simpan di saku jaket dan memberikannya pada Changbin.

Ekspresi laki-laki itu langsung berubah total hanya dalam hitungan detik. Dia terkejut lalu menatapku tak percaya. "Dari mana kamu dapet ini?"

"Ya dari Papa kamu. Siapa lagi memangnya?" jawabku santai.

Changbin tak bersuara. Kekuatan cincin itu rupanya berhasil mengubah emosi Changbin saat ini. Rasa kesal yang sedari dari mengerubungi perasaanya kini berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dia deskripsikan.

Dipandanginya lekat cincin itu untuk beberapa saat. Begitu banyak kenangan yang ia miliki bersama si pemilik cincin hingga mengguncang emosi Changbin karena kembali teringat pada momen itu. Hanya dari cincin ini, Changbin bisa merasakan kedekatan dengan Mamanya.

"Papa minta maaf soal masa lalu kamu, dia nggak ada niat sama sekali untuk Papa melukai kamu. Sama seperti kamu, Papa juga merasa kehilangan. Tapi aku rasa, cukup Mama yang pergi. Kamu jangan pergi dari Papa," ucapku pelan. "Papa sayang banget sama kamu, Changbin."

Kedua tanganku meraih wajah Changbin yang tertunduk. Dadaku ikut merasa sesak, karena untuk pertama kalinya aku melihat Changbin menangis.

Karena air matanya mulai berjatuhan membasahi pipi, Changbin mencoba menghindar untuk menutupi tangisnya. Tapi dengan cepat aku menahannya dengan kedua tanganku. Biar saja dia menangis seperti ini. Biar saja dia terlihat rapuh di depanku. Aku ingin dia tau, tidak ada manusia yang benar-benar mampu bertahan seorang diri. Ada satu saat dimana seseorang berada pada titik terendah. Ketika dia merasa lemah dan membutuhkan orang lain untuk merangkulnya.

Aku tersenyum pada Changbin, lalu menghapus air mata yang jatuh dengan kedua ibu jariku.

"Jangan malu. Kamu boleh nangis disini," ucapku mencoba menenangkannya.

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang