❤ 36

21.9K 2.3K 623
                                    

Beberapa tahun kemudian.

Seo Yebin, putri pertamaku dengan Changbin, terlihat murung ketika aku menjemputnya disekolah sore tadi. Namun aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun pada Yebin sampai kami sampai di rumah.

Biar aku beritau sesuatu. Seo Yebin itu, jiplakan persis dari Changbin. Tidak hanya wajahnya, tapi seluruh sifatnya pun mendarah daging pada Yebin.

Yebin cukup baik dalam prestasi akademiknya. Aku tidak pernah memaksanya untuk belajar setiap hari, karena aku ingin dia menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain. Keinginan untuk belajar itu muncul dengan sendirinya setelah dia melihat keseharian Changbin.

Yebin bilang, Ayahnya adalah pekerja keras, untuk itu dia ingin sukses seperti sang Ayah. Bayangkan, anak berusia enam tahun sudah punya pemikiran seperti itu. Siapa yang tidak bangga?

Baik Yebin maupun Changbin, keduanya sama-sama tertutup. Yebin tidak akan menceritakan apapun padaku kecuali ketika aku bertanya. Tapi aku bersyukur, karena Yebin merupakan sosok yang periang meski dia memiliki kepribadiaan yang unik.

"Perlu seseorang untuk bercerita?" tanyaku, menghampiri Yebin yang tengah berbaring dikasur dengan balutan selimut yang menutupi seluruh tubuh mungilnya. Kamar yang kutempati dulu sudah berubah menjadi kamar Yebin sekarang.

Yebin bangkit, lalu ikut terduduk di sisi ranjang bersamaku.

"Hari ini aku dapat nilai jelek," ujar Yebin sedih, nada bicaranya terdengar kecewa.

"Lalu kenapa?"

"Pelajarannya susah, jadi dapat nilai jelek. Aku takut dimarahi Ayah," sama sepertiku, ketika Yebin merasa gugup dia akan memainkan jari-jarinya sambil tertunduk.

Aku tersenyum pada Yebin lalu membelai pelan rambut panjangnya. "Emangnya Ayah pernah marahin kamu kalau kamu dapat nilai jelek?"

"Aku nggak pernah dapat nilai jelek, Bun," balas Yebin, kepalanya terangkat untuk menatapku.

"Oh iya." Kalian liat, kan? Sifat Yebin sama ngeselinnya kayak Changbin.

"Nggak mau coba bicara dulu sama Ayah? Ayah lagi di ruang tamu tuh," kataku mencoba membujuk Yebin. Dia ragu, terlihat dari ekspresinya.

"Ayah nggak gigit, Yebin," kataku lagi, berusaha membangkitkan kepercayaan diri putriku ini.

"Kalau bener gigit gimana?"

"Bunda yang gigit balik nanti, tenang aja." Aku tersenyum ketika melihat Yebin akhirnya tertawa karena guyonanku.

Yebin menarik napas dalam-dalam, lalu dieembuskannya perlahan. Barulah setelah itu dia bangkit, berjalan keluar dari kamarnya untuk menemui Changbin di ruang tamu. Sedangkan aku hanya memantau mereka dari ambang pintu kamar.

"Loh? Belum tidur?" tanya Changbin, dia terkejut melihat kedatangan Yebin.

Changbin menggeser tumpukan dokumen itu supaya Yebin bisa duduk disampingnya. Bahkan hanya dengan melihat ekspresi wajah Yebin yang tampak murung, Changbin sudah mengerti ada sesuatu yang terjadi pada putri kesayangannya.

"Kayaknya ada yang mau dibicarain sama Ayah ya?" tanya Changbin, suaranya terdengar ramah.

Yebin mengangguk. Dia diam sejenak sebelum akhirnya menyuarakan sesuatu yang seharian ini membuatnya kehilangan semangat. "Hari ini aku dapat nilai jelek, Yah," ujar Yebin mengaku.

"Oh ya? Berapa?" tanya Changbin, dia terlihat tidak terkejut sama sekali.

"50. Cuma 50," kepala Yebin kembali tertunduk.

"Oh bagus dong," jangankan Yebin, aku bahkan ikut terkejut setelah mendengar responnya.

"Nggak apa. Kamu nggak usah khawatir sama nilai kamu. Selama ini kamu sudah bekerja keras, Yebin. Ayah selalu bangga sama kamu apapun yang kamu lakukan. Semua orang membuat kesalahan pada setiap perjalanan mereka. Yebin, Ayah, Bunda, semuanya. Yebin cuma perlu beristirahat sebentar, dan lanjut bekerja keras apapun hasilnya." Changbin mengangkat tubuh mungil Yebin kepangkuannya. "It's okay, Ayah dan Bunda bangga sama kamu."

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang