❤ 13

15.8K 2.2K 235
                                    

Kalau bukan karena getaran ponsel yang begitu terasa dari dalam saku jaket, mungkin aku takkan terbangun dari tidurku yang terasa panjang. Masih dengan mata setengah terbuka, aku mengangkat panggilan yang tak sempat aku lihat namanya pada layar.

"Yena, kamu dimana? Apa kamu sakit? Kenapa nggak dateng ke kantor?" tanya penelpon diujung sana tanpa jeda, yang sudah kuyakini adalah suara Senior Ryuna

Apa maksudnya tidak datang ke kantor? Ini masih pagi bukan? Bahkan alarm di ponselku belum berbunyi.

"Bukannya ini masih pagi? Aku baru aja bangun, Senior Ryuna," perlahan aku membuka mata lalu memposisikan tubuhku bersandar pada lengan sofa. Dari ujung sana, terdengar suara mendesah lalu berdecak pelan.

"Apa maksud kamu dengan masih pagi? Ini udah lewat jam makan siang, Yena!" aku mengerjapkan mata beberapa kali. Sesaat aku masih tidak menangkap maksud yang dikatakan Senior Ryuna barusan.

Masih dengan nyawa setengah terkumpul, aku menjauhkan ponsel sejenak untuk melihat jam yang berada di sisi kanan layar. Hingga detik selanjutnya, barulah rahangku terbuka lebar bahkaan nyaris terjatuh. Nyawaku kembali seratus persen begitu menyadari kalau aku kesiangan. Definisi kesiangan yang sesungguhnya.

Dengan perasaan menyesal aku kembali mendekatkan ponselku ke telinga. "Senior Ryuna, maaf kayaknya aku nggak bisa masuk hari ini. Kemarin aku benar-benar kelelahan sampai sekarang aku baru bangun."

Lagi-lagi Senior Ryuna mendesah, "Tapi kamu nggak sakit, kan? Kamu baik-baik aja kan? Nggak dirawat kayak Eunho?"

Suara Senior Ryuna yang lembut itu berhasil menenangkanku dari serangan panik hingga kini membuatku tersenyum. Jelas sekali bahwa wanita itu sangat mengkhawatirkanku. "Aku baik-baik aja. Terima kasih, maaf juga karena hari ini aku absen. Tolong kabari aku ya kalau ada sesuatu."

Setelah percakapan kami selesai, Senior Ryuna segera memutus panggilan. Masih dengan perasaan menyesal, aku menyingkirkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku untuk bangkit. Tapi kemudian kembali menatap selimut yang entah sejak kapan hinggap ditubuhku ini.

Aku mengedarkan pandangan keseluruh sudut ruangan karena tak menemukan Changbin diranjangnya. Aku coba menghubungi, namun ternyata ponselnya dia tinggal diruangan ini. Akhirnya aku mengubungi Hansol untuk menanyakan keberadaan Changbin.

"Ah Tuan Changbin? Dia lagi sama aku nih. Kami abis jalan-jalan disekitar rumah sakit," balasnya setelah aku menanyakan kemana perginya Changbin.

Hingga tak berselang lama setelah Hansol berkata seperti itu, aku mendengar suara pintu terbuka dibelakang sana. Masih dengan panggilan yang belum terputus dengan Hansol, aku berbalik menatap kearah pintu hingga muncul sosok yang aku cari bersama dengan seseorang yang kini sedang aku telepon.

Changbin melangkah masuk dengan Hansol yang membantu memegangi lengannya, serta tangan Changbin yang lainnya mendorong tiang infus.

"Habis darimana? Aku telepon kamu ternyata ponsel kamu ditinggal," tanyaku setelah membantu Changbin duduk disisi ranjang. Sementara Hansol langsung pamit karena ia harus menjemput Seungmin untuk menggantikan jadwal rapat yang harusnya dihadiri Changbin.

"Habis jalan-jalan aja. Bosen, soalnya kamu tidur lama banget, kayak orang pingsan," katanya berhasil membuatku tersenyum.

"Emangnya udah sembuh segala jalan-jalan?" sindirku sambil melirik tangan Changbin yang masih terinfus itu.

"Udah kok," katanya lagi menyombongkan diri. Aku hampir tertawa karena melihat tingkahnya yang mirip bocah berusia lima tahun.

"Masa? Muka kamu masih pucet tuh." Karena tidak percaya dengan omongan Changbin barusan, aku pergi mendekat untuk mengecek sendiri keadaan Changbin. Tanpa aba-aba, tanganku terangkat untuk menyingkirkan rambut yang menutupi dahinya lalu meletakkan punggung tanganku disana.

somebody to love • changbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang