Bagian 12

37 13 3
                                    

Kali ini Nur

Semenjak dia bilang akan pergi, aku akan berusaha untuk tetap seperti biasanya. Aku akan membiasakan diri tampanya. Aku ... aku ... ingin melupakannya.

"Cara melupakan seseorang," ucapku pada ponsel tipis berwarna putih yang kudekatkan ke bibirku.

"Mungkin maksud anda adalah cara ampuh melupakan seseorang. Berikut ini adalah ulasan yang mungkin sesuai dengan pencarian anda." Ponsel itu menjawab semua pertanyaanku. Memang kesayangan.

Kemudian muncul sederetan paragraf saat sebuah web site kumasuki. Di dalam artikel itu mengatakan bahwa cara terampuh untuk melupakan seseorang adalah dengan mencari penggantinya. Dengan itu, pikiran kita akan terpacu untuk melupakan seseorang yang ingin dilupakan tersebut. Cukup masuk akal.

Aku berpikir ...

Mencari penggantinya? Apa harus seperti itu?

"Nur ...." Tanpa mengetuk pintu kamarku, Zee tiba-tiba masuk menerobos kemudian memelukku erat. Dalam pelukannya, Ia tersedu-sedu.

"Nur ..., Rani meninggal." Jantungku berdetak kencang sekali. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa yang kudengar adalah kesalahan. Memang belum jelas perkataan Zee karena suaranya serak akibat menangis. Volume bicaranya pun kecil.

"Rani kenapa??" tanyaku memastikan.

"Rani meninggalkan kita ke New Zeeland," detik itu juga, aku langsung menarik napas lega. Ternyata Rani belum mati. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur. Eh ...

"Apaaaaa? Rani pergi gak bilang-bilang?" Aku memekik keras. Menoleh pada Zee yang sedang menghapus air matanya.

"Iya Nur, kita gak bisa sama-sama lagi," ucapnya yang kini lebih santai dan tabah.

"Tapi ... kalo buru-buru, kita masih bisa say good bye kok. 30 menit lagi pesawatnya lepas landas."

Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil tas dan handphone kemudian bergegas menuju bandara.

****

Kami berdua seperti orang gila yang berlarian tanpa tau arah. Menerobos kerumunan orang di sana sini. Bahkan teriak memanggil nama Rani berulang kali.

"Aduh, Rani di mana sih?" Keluhku. Keringat membasahi dahi. Bahkan napasku terdenger seperti atlet maraton yang selesai lari 20 km.

"Nur, penerbangan ke New Zeeland arahnya ke sana," ungkap Zee sambil mengangkat tangannya menunjuk ke arah selatan.

Kami kembali berlari. Sandal jepit yang kugunakan sudah putus sebelah. Tapi aku belum putus asa. Semangat Nur!

Sepuluh menit lagi pesawat akan lepas landas. Kami berhasil menemukan Rani. Dia dengan keluarganya sudah bersiap-siap naik ke pesawat.

"Ranii!!!!!" Aku berteriak keras. Masa bodo dengan tatapan orang-orang padaku. Aku harus mengucapkan selamat jalan untuk sahabat tercintaku.

Kami bertiga mendekat dan saling berpelukan. Dalam dan hangat. Itulah yang kurasakan sekarang.

"Kamu kok mau pergi gak bilang-bilang?" tanyaku dengan nada merengek. Aku terbawa perasaan.

"Hmm ... gimana yah? Masalahnya tuh aku mau bilang, tapi gak jadi."

"Loh kok?" Aku heran melihat Zee dan Rani seperti menahan tawanya. Seperti aku dikerjain.

"Soalnya Rani mau nunggu temennya dulu, baru mau cerita," ucap Zee yang membuatku semakin bingung. Heran aku.

"Oh iya, koper yang di papa punya Zee sama koper yang di mama punya Nur. Ayo kita ke New Zeeland!!" Ujar Rani kemudian melangkah lebih dulu memimpin jalan.

Astagaaa ... mereka benar-benar berhasil mengenaiku. Tapi tak apa, aku akan mengukuti kemauan mereka. Meskipun aku hanya memakai pakaian seperti ini, dan sandal jepitku putus sebelah. Aku siap ke New Zeeland.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang