Bagian 1

135 22 16
                                    

Suara dari surga menyapaku. Begitu indah, getarannya menggelegar di telingaku. Seperti ada ribuan bunga yang menyebar kesuluruh sisi ruangan ini. Aku bahagia. Selalu bahagia saat mendengar suara bel pulang yang sangat aku tunggu- tunggu.

Belakangan ini sedang musim penghujan. Udara terasa sejuk sepanjang hari. Saat aku melangkah keluar kelas, rupanya awan mendung sudah menjemput dengan geraman bergemuruh. Tak menunggu lama, gemerintik hujan satu per satu turun dengan lembut. Menyapa ratusan murid yang berlarian keluar gerbang sekolah.

Di halte bus ini sudah terasa sesak. Ada sangat banyak orang. Mungkin karena hujan, semua orang mencari tempat berteduh.

Di salah satu ujung bangku aku mendapati dia sedang termenung di sana. Akupun menghampirinya, kebetulan ada sesuatu yang harus kukembalikan.

Aku menyapanya, kemudian mengambil sebuah lembar kerja siswa dari dalam tasku. Bus pertama datang. Dia terlihat tergesa-gesa memasukkan LKS itu ke dalam tasnya.

"Udah penuh neng!" teriak si krenet bus saat ia melangkah ingin masuk. Ada rona kecewa di wajahnya, halte pun menjadi sepi menyisakan aku dan dia.

"Gara-gara kau sih," protesnya dengan cemberut sambil melipat tangan di depan dadanya.

"Kok aku?" tak mau mengalah, akupun melayangkan alibiku untuk melawan. Seperti biasa, jika sudah bertemu kami berdua pasti akan beradu bicara.

Beberapa detik selanjutnya, halte menjadi canggung. Aku berinisiatif memulai pembicaraan. Kami berdua memiliki istilah unik. Semacam cerita fiksi dimana kami berdua bebas mengubahnya sesuka hati.

"Kau ingat sampan itu? Saat kita berdua berada di tengah danau waktu itu, tiba-tiba sampannya mengalami goncangan keras karena gelombang air." Dia mulai memperhatikan pembicaraanku, "Tiba-tiba sampannya terbalik. Aku hampir tenggelam. Apa kau mau menolongku?"

"Jika sampannya terbalik. Tenang saja airnya dangkal. Dan kau sudah kuajari berenang. Jadi tenang saja," jawabnya dengan cengiran khasnya.

"Mana ada. Kau bahkan tidak bisa berenang," protesku lagi menanggapi gurauannya.

"Yeeee... kaukan tinggi. Jika sampannya terbalik dan danaunya dangkal, kau pasti tidak akan tenggelam. Ujung kepalaku saja hanya setinggi bahumu." Lantas aku tergelak terbahak-bahak mendengar pengakuannya yang sangat lucu.

Sedang diluar sana hujan mengguyur kota semakin keras. Tapi kami tetap menikmati suasana ini. Bus akan tiba 15 menit lagi. Jika terlalu serius, waktu akan terasa membosankan.

"Jika kita berada ditengah danau, aku akan menyuruhmu memancing. Tapi karena kau payah, kailmu ditarik ikan dan kau tidak bisa menandingi kekuatan ikan itu. Lalu sampannya terguncang kuat. Di saat itu aku akan mendorongmu agar kau terjatuh supaya sampannya tidak terbalik." Terdengar sangar, tapi inilah kebiasaan kami. Bercanda gurau meski tidak masuk akal.

"Jika jadi ikan itu, aku akan melompat sendiri ke atas sampan saat melihat gadis secantikmu," gurauku sambil menggodanya dengan satu alis terangkat. Dia tersipu malu, pipinya memerah membuatku tertawa sekali lagi.

Dia tidak terima aku tertawa bahagia diatas kekalahannya. Dia memutar otak dan bersiap membalik arah dan mengalahkanku, "Saat kita berada diatas sampan itu, danaunya sangat luas sampai tidak ada jalan pulang. Disaat itu, aku tetap tidak akan mencintaimu. Meskipun kau adalah yang terakhir ditempat itu. Lebih baik aku tenggelam saja," kini tawa jahat menjelma di wajahnya yang sedikit basah karena percikan air hujan.

"Huuu, jahat sekali. Lagi pula siapa yang akan men...," belum sempat aku menyelesaikan omonganku, bis yang kami tunggu sudah datang. Akhirnya, cerita fiksi ini harus selesai sampai disini. Ah, sudahlah. Kali ini dia yang menang.

Oh iya, aku sampai lupa. Gadis yang naik bis itu namanya Nur. Dia adalah sahabat sekaligus cinta pertamaku. Kami sudah bersama sejak 5 setengah tahun silam. 5 tahun yang melelahkan dalam zona persahabatan yang membelenggu.

Namaku Rafi. Ini kisahku. Mencari penyedap rasa yang akan membuat hidupku menjadi lebih terasa. Penyedap rasa yang bisa merubah rasa sakit menjadi sesuatu yang menakjubkan.

Tunggu. Sepertinya ada yang salah. Aku menoleh kesamping kanan kiri, kosong. Astaga!!!

"Woyy... tunggu!!!" Teriakku mengejar bis itu.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang