"Hey... apa yang?" tanyaku keheranan melihat hal gila di depan mataku. Aku menelan ludah susah payah. Astaga ... apa dia sudah tidak waras?"Hush jangan berisik. Kita pergi sekarang." Dia bergerak mengambil pakaiannya yang berlumur darah dan melepas baju pasien yang ia kenakan.
"Pergi kemana?" tanyaku setengah berbisik. Nampaknya kami akan terlibat dalam permbicaraan yang serius.
"Memangnya kau punya uang untuk membayar rumah sakit? Tidak kan? Ayo... kita pergi sekarang."
Kukira dengan keadaannya yang seperti ini, dia akan sulit bergerak. Nyatanya tidak. Dia bahkan dengan lincah mengenakan bajunya.
Kami menyelinap keluar dari ruang UGD, pergi setelah memastikan tidak ada siapa pun di koridor itu. Meskipun lampu masih menyala terang, tapi itu aman. Tidak ada yang melihat kami. Hingga kami berhadapan dengan pos satpam.
"Oh ya, namamu siapa?" Sang penolong bertanya padaku dengan mata melirik kearah pos satpam.
"Rafi." Aku menjawab singkat. Lagi pula jika terlalu banyak bicara bisa bisa kami tertangkap basah oleh satpam di depan sana.
"Oh iya Rafi. Saya punya ide. Kita berlari terpisah. Kamu lompat pagar di sana. Yang itu lebih pendek. Saya akan mengalihkan perhatian satpam itu. Setelah saya beri kode, kamu lari yah," jelasnya yang di telingaku seperti orang melawak, tapi mataku tak menangkap kesan becanda sedikitpun.
"Apa kau sudah gi...," belum selesai bicaraku dia sudah mulai beraksi. Awalnya kukira dia akan berteriak membuah kegaduhan. Ternyata dia orang yang cerdik. Dengan memanfaatkan darah di sekujur tubuhnya. Dia bertingkah seperti orang kesurupan.
Suaranya mirip zombie yang akan memangsa siapapun yang dia lihat. Tangannya menunjuk kearah pagar. Itu kodenya.
Tapi aku tak menggubris. Lebih penasaran dengan yang akan terjadi selanjutnya pada orang itu. Pa satpam seakan tak percaya dengan penglihatannya. Dia nampak mengusap matanya gusar.
Aku hanya terkekeh pelan. Sedang pria itu terus berjalan seperti zombie menuju gerbang yang tidak di tutup. Terlihat lancar dan akhirnya berhasil. Dia berhasil tanpa ketahuan sedikitpun sebagai manusia bernyawa. Aku yakin rumor rumah sakit berhantu akan cepat menyebar.
"Ekhem ...," suara deheman itu menyadarkanku. Eh, aku belum keluar dari rumah sakit ini. Sialan. Habis lah sudah aku. Pasti aku akan ditangkap.
"Rafi ...," panggilan itu sangat khas di telingaku. "Sedang apa? Bukannya kau mau ke Cina?" tanya yang membuat sukmaku kembali.
Tak mengubris pertanyaannya, aku masih mematung. Dia melambaikan tangan di depan wajahku, membuatku terganggu.
"Heyyy... kau kenapa sih?" tanyanya lagi.
"Eh, kau sudah minum obat?" tanyaku yang lebih tepat kehabisan kalimat yang bisa kulontarkan. Mendengar ucapan orang ini saja tidak. Bagaimana bisa membalasnya dengan nyambung.
"Kau kenapa sih? Aneh tau. Aku tanya baik baik eh malah gak jelas," ucapnya sedikit terkekeh. Entah apa yang lucu padaku. Aku hanya menatapnya tidak mengerti. Melongo.
"Sedang apa? Bukannya kau harus ke Cina?" tanyanya, gemulai. Sangat indah senyumnya itu. Astagaa. Kenapa begini? Aku, aku terpukau dengan gadis yang sudah kuanggap saudara sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyedap Rasa - (Slow Update)
Roman pour AdolescentsDalam hidup ini ada berbagai macam dan rupa rasa yang mungkin dialami oleh manusia. Ada manis, asam, asin, kecut, bahkan pahit. Tapi, ada rasa yang jauh lebih penting dan pasti dialami orang banyak. Rasa sakit. Semua manusia pasti pernah merasakan...