"Zee, kau tidak usah ikut. Pantau saja terus bagaimana perkembangan tsunami itu. Cek apakah ibunya Nur sudah ditemukan atau belum. Kabari aku jika ada perkembangan." Setelah Zee mengangguk siap, aku semakin mantap untuk mencari Nur.
"Aku beritahu ibu bahwa aku menginap di rumahmu. Jadi berbohonglah sedikit yah," candaku disela sela pembicaraan membuat wajah Zee semakin masam dan berkerut.
"Kau ini. Harusnya kita tunggu polisi bertindak. Jangan berbuat sendiri. Kalaupun harus pergi, panggil orang banyak untuk membantu. Jangan sendirian. Kau harus aktifkan terus ponselmu. Pakai sepatu yang bagus agar kakimu tidak sakit. Pakai lotion agar kulitmu tidak terbakar. Jika ada orang yang macam-macam, langsung saja berikan tendangan kyange gery. Biar dia mati sekalian."
****
"Pa, semalam apa bapak mendengar sesuatu di gang sana? Apa ada sesuatu yang mencurigakan?" Aku memulai penyelidikan pada tahap pertama. Mengumpulkan informasi.
Seorang kakek paruh baya yang duduk terdiam di depan kiosnya aku hampiri. Kios jajanan miliknya dekat dengan lokasi aku menemukan ponsel Rafi dan darah segar. Beliau celingak celinguk melirik kanan kiri dan mengamati jalanan. Beliau nampak panik dan bimbang. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, beliau berjalan masuk ke dalam kiosnya. Dengan terburu-buru.
Aku sontak menahan langkah pria beruban itu. Berusaha untuk membujuk dan meminta informasi. Aku bukan orang jahat yang akan menikamnya. Kenapa takut sekali?
"Pa... pa ...," panggilku yang tak digubris sedikitpun. Dia terus menggerakkan tongkatnya ke depan seraya kaki kaki kurusnya terus mengikuti tongkat itu.
"Pa tolong saya, teman saya hilang dan saya menemukan ponselnya di gang itu bersama dengan darah segar yang berceceran. Pa, kumohon!" bujukku tak menyerah meskipun mendapat pengusiran dengan kasar. Beliau berhenti berjalan. Menoleh ke belakang menatapku, "Kita bicara di dalam saja." Suara paraunya dibisikkan pelan. Mungkin dia tak ingin ada orang lain yang mendengar.
"Pa, tolong saya. Apa bapak mendengar atau melihat sesuatu semalam?" tanyaku saat kami berdua sudah duduk berhadapan di ruang tengah rumah miliknya.
Beliau masih nampak ragu untuk memberitahuku. Tampak tak yakin dengan keputusannya ini. Aku yang bingung hanya menunggu hingga ia bisa melontarkan sesuatu yang mungkin bisa membantuku menemukan Nur.
Cukup lama waktu yang kubutuhkan untuk mebuatnya yakin untuk memberitahuku. Seperti ada rahasia besar yang dikubur dalam dalam para warga di sekitaran sini. Apa yang mereka sembunyikan selama ini?
"Pa kumohon. Ayolah bantu saya. Hanya beberapa kata dari bapak mungkin bisa membantu saya menemukan teman saya," kutarik napas dalam-dalam kemudian melanjutkan permohonanku, "Apa yang harus kulakukan agar bapak mau mengucapkan sesuatu?"
"Temanmu tidak ada disini. Sebaiknya kau pergi sebelum terlibat terlalu dalam!" bentaknya keras. Meskipun staminanya sudah tak kuat lagi, tapi bentakannya mirip sebuah tamparan bagiku.
"Apa maksud bapak?" Semakin heran dengan perkataannya, apa aku harus menyerah dan menunggu polisi turun tangan.
Dia berdiri kemudian mendekat dan membisikkan sesuatu. Mataku membulat mendengar apa yang beliau bisikkan. Aku harus menolong Nur. Apapun resikonya. Aku harus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyedap Rasa - (Slow Update)
Fiksi RemajaDalam hidup ini ada berbagai macam dan rupa rasa yang mungkin dialami oleh manusia. Ada manis, asam, asin, kecut, bahkan pahit. Tapi, ada rasa yang jauh lebih penting dan pasti dialami orang banyak. Rasa sakit. Semua manusia pasti pernah merasakan...