Bagian 10

45 16 23
                                    

Ini tetap Rafi

"Pak, tolong jelaskan Pak. Mana bisa seperti ini." Amarahku benar-benar memuncak. Enak saja mereka melakukan itu seenak hatinya.

"Mohon maaf. Tapi kelakuan kamu semalam benar-benar keterlaluan. Akibat kejadian semalam, pihak Wahid corporation mencabut beasiswa kamu ke Cina," ucap pak kepala sekolah yang berhasil membuat sekujur tubuhku melemah.

Kalian harus tau, Iman adalah anak dari pemilik sekolah ini. Sekaligus orang terkaya ke 5 di Indonesia. Bukan hal sulit untuk mencabut beasiswaku baginya.

"Pak saya minta maaf Pak. Tolong jangan cabut beasiswa saya pak. Saya mohon pak," bujukku pada ayahnya Iman. Di depan seluruh orang di ruangan ini, aku berlutut memohon padanya.

Memang tak punya hati. Dia bahkan pergi menjauh saat aku berlutut di depannya. Seluruh orang di ruangan inipun ikut keluar. Menyisakanku seorang diri.

Air mataku membanjiri wajah hingga membasahi pakaianku. Hanya ini satu-satunya jalanku untuk ke Cina. Tapi kenapa harus kandas dengan jalan seperti ini.

"Maafkan aku, Yah. Aku tak bisa menepati janjiku. Seandainya aku bisa, pasti sudah kusesali perbuatanku. Sayangnya ayah mengajariku untuk tidak menyesali apapun. Karena itu tidak akan gunanya. Aku masih ingat pesan itu ayah."

***

Aku pulang. Tapi bukan ke rumah Om Haris. Aku ke rumah Nur. Hanya dia tempatku berbagi cerita. Hanya dia yang mendengerkan. Hanya dia yang menerima.

Setelah kejadian semalam, aku dan dia terasa ada tembok yang menghalangi. Semuanya kembali seperti pertemuan pertama. Terasa canggung.

Tapi tak masalah. Aku akan tetap bercerita padanya. Mula-mula aku keluarkan tangisku, berharap agar dia kali ini lebih serius.

"Eh, kau kenapa menangis? Cengeng banget sih," ucapnya sambil menghindar saat aku hendak bersandar di pundaknya.

Aku menatapnya jengah. Kenapa harus menghindar? Aku bahkan batal ke Cina karena melindunginya. Dasar gadis tidak tau diri.

"Ada apa sih? Kalau kau menangis karena ketinggalan pesawat. Mending gak usah deh. Aku gak bakal peduli," ucapnya yang sukses membuat air mataku semakin berlinang. Sebegitu buruknya aku di matanya sampai sampai dia mengucapkan kata "tidak peduli" padaku.

Aku mengerti apa yang dia mau. Aku tau sekarang.

"Aku balik dulu yah."

"Loh kok pulang? Kau kemari cuma mau menangis terus pulang?" jika saja suasana hatiku lebih baik, pasti sudah kumaki dia karena ketidak pekaannya.

Seperti ada pedang yang menusuk dada ini. Lebih dari itu, aku melakukan itu untuknya tapi untuk sekedar peduli pun dia tidak. Aku benar benar kecewa.

****

"Assalamualaikum." Aku pulang. Kini benar benar pulang. Pulang ke rumah om Haris.

Aku disambut dengan tatapan kecewa oleh omku sendiri. Aku tau yang kulakukan memang bukan hal yang baik. Tapi ....

"Duduk dulu, Nak," perintahnya saat melihatku melangkah masuk ke dalam rumah.

"Kamu taukan, om tidak menikah karena ingin merawatmu. Kamu itu amanah yang dititipkan ayahmu. Jika seperti ini, om merasa gagal dalam merawat kamu." Tak bisa kubendung, air mataku bercucuran mendengar ucapan pamanku. Perih.

"Pihak sekolah sudah menghubungi om tadi. Katanya beasiswa kamu dicabut karena kamu memukuli anak pemilik sekolah. Benar itu?" tanyanya setengah menghardik dan menyelidik.

"Betul om," jawabku pelan. Tak tega jika aku harus mengecewakan om Haris, tapi apa boleh buat. Ini salahku, aku harus menanggung resikonya. Apapun itu.

"Coba ceritakan. Om kenal sekali dengan sikapmu, Nak. Kamu tidak mungkin memukuli orang tanpa sebab."

"Anak pemilik sekolah itu mengejek Nur di depan seluruh murid, Om."

Seketika mata om Haris membulat. Wajahnya menekuk kesal. Dia benar-benar marah.

Aku sangat kenal sifat om Haris. Jika sudah melihatku dalam kondisi selemah ini, dia akan menyerah dan menurunkan emosinya.

"Jika saja bukan ayahmu dulu yang selalu merawat om, sudah kupukul kau. Bisa-bisanya kau melakukan itu. Lantas apa rencanamu selanjutnya? Kau mau jadi pengangguran?" omelnya yang menakutkan. Suara seraknya ia lantangkan keras membuat gemuruh suaranya memenuhi ruang tamu.

Aku bulatkan tekad untuk mengatakan ini. Akan kuteguhkan hatiku. Sudah kuputuskan, "Saya akan mengabdi pada negara."

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang