Nur Pulang
Setelah terbang berjam-jam, perasaan aneh ini tak kunjung hilang. Ditambah lagi dengan jetflag membuatku memuntahkan isi perutku. Dadaku berdebar kencang. Bahkan lebih kencang dari pada orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Zee dan Rani sudah menyuruhku bergegas. Entah ada perihal apa, aku hanya bergeming. Tak berniat melangkah sedikitpun di tengah keramaian. Hanya kepalaku saja yang menoleh ke sana kemari. Entah apa yang kucari.
Beberapa detik berlalu. Mataku terpaku pada tv 50 inch di depan sana. Di layar LED itu ada serangkaian foto yang diperlihatkan. Jika saja fotonya indah, mungkin aku akan tersenyum. Namun akan berbeda saat ini.
Sungguh mengerikan. Volume air yang seharusnya tertahan di garis pantai meluap setinggi pohon menghantam apapun yang ada dihadapannya. Rumah, gedung, jalanan, bahkan tiang listrik semuanya hancur dalam sekali hantam. Luluh lantang. Tak tersisa.
Dari keterangan yang ada di layar itu, peristiwa itu terjadi di tempat ibuku berada. Kini aku sadar, perasaan itu berarti apa. Kini aku tau detakan keras dari jantung ini bermakna apa. Kini aku paham.
Segelintir air mata tak akan mengambalikan sesuatu. Hanya membisu cuman bisa membuatku ragu. Aku harus mencari tau. Ibu, bagaimana keadaanmu.
"Nur!!" Pekik kedua sahabatku bersamaan sambil menepuk pundakku. Aku sontak tersadarkan dari lamunanku.
"Kau kenapa? Kau baik-baik saja?" tanya Zee yang wajahnya terlihat berkerut khawatir.
"Kita harus ke rumah sakit, Nur. Sekarang ... ayo buruan," giliran Rani yang berbicara kemudian menarik tanganku sambil berlarian menuju pintu keluar bandara.
Mereka berdua terlihat cemas. Sedangkan aku masih setia menatap layar raksasa itu. Menunggu informasi apa lagi yang akan ditampilkan.
Rani dengan cekatan memberhentikan sebuah taxi yang melaju sedang ke arah kami. Tampak dari rona wajahnya bahwa Zee dan Rani sedang gelisah. Tidak, mereka panik.
Tiba di rumah sakit, mereka menarik tanganku berlari menuju ruang UGD. Rasa penasaranku memuncak, terlebih saat melihat respon perawat yang langsung mempersilahkan kami masuk.
Ruangan yang kami masuki terlihat bersih. Kasurnya juga baru saja diganti. Sepertinya ada pasien yang akan datang. Tiba-tiba perasaanku semakin kacau mengingat kejadian yang diperlihatkan oleh layar raksasa tadi.
"Kau cepat berbaring disitu," perintah Zee yang panik padaku sembari menunjuk kasur berwarna hijau khas rumah sakit itu. Seketika bulu kudukku merinding ketakutan. Perasaan kacau tadi menjelma menjadi kengerian yang besar. Sebesar cintaku padamu.
"Cepatlah. Dokter akan memeriksamu segera," tak terdenger nada becanda sedikitpun dari lidah Rani. Sorot matanya pun jelas bahwa dia serius. Entah kenapa aku semakin kacau. Jantungku tak henti bersenam ria begoyang bagaikan mendenger musik. Astaga ....
Tubuhku seperti bergerak sendiri menaiki kasur pasien itu. Otakku memikirkan segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi.
Seorang dokter cantik berjilbab putih melangkah masuk ke dalam ruang unit gawat darurat ini. Langkah sepatunya terdenger mengintimidasi serta bayangan tubuhnya membuatku menggigil kedinginan.
Dokter itu mulai memeriksaku. Pertama dokter itu menjulurkan stetoskop pada bagian dadaku. Terlihat dahinya sedikit berkerut saat mendengar suara dari alat itu. Selanjutnya dokter itu mengambil stopwatch kemudian menghitung denyut nadiku. Napasku tersenggal senggal semakin ketakutan.
Kemudian dokter itu menggapai tangan kiriku dan menekan bagian pergelanganku sambil melihat stopwatch yang ia pegang. Suasana hening. Dentik jam bahkan terdenger jelas membuat dahiku basah oleh keringat.
"Tolong jangan takut. Tarik napas, buang. Tarik napas ... buang perlahan." Isyarat tangan sang dokter kemudian melangkah mundur.
"Keadaan pasien baik-baik saja. Tidak ada gejala serangan jantung ataupun gangguan saraf seperti yang anda beritahu di telfon tadi. Pasien hanya perlu istirahat di rumah saja. Sepertinya dia terlihat kelelahan." Jelas dokter cantik tersebut kemudian berbalik pergi meninggalkan kami bertiga di ruangan itu.
"Jadi ...." ucapku sambil melototi Rani kemudian Zee secara bergantian. Dadaku naik turun sembari tarikan dan hembusan napas yang keras.
Mereka berdua terlihat jengah, kemudian saling tatap, "Yah kita kira kau gangguan saraf. Soalnya kau pingsan sambil kejang kejang gak jelas. Kukira kau kesurupan bahkan."
Jadi ini penyebabnya mereka mendesakku pulang dan panik, "Aa ... kalian berduaaa ...," aku berdiri kemudian memeluknya erat sambil tersenyum lebar. Awalnya Zee terlihat ingin menghindar. Mungkin dia kira akan kupukul. Tapi akhirnya larut juga dalam pelukan hangat tiga sahabat kocak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyedap Rasa - (Slow Update)
Teen FictionDalam hidup ini ada berbagai macam dan rupa rasa yang mungkin dialami oleh manusia. Ada manis, asam, asin, kecut, bahkan pahit. Tapi, ada rasa yang jauh lebih penting dan pasti dialami orang banyak. Rasa sakit. Semua manusia pasti pernah merasakan...