Bagian 25

26 4 2
                                    

Ini Nur

Senja menyingsing di ujung barat. Matahari hampir tak lagi bisa kurasakan kehangatannya. Gelap mulai menjelma, membuat kami yang tersesat di tengah hutan mulai kewalahan.

"Kita ke puncak bukit itu. Di sana akan lebih aman. Kita juga bisa melihat situasi hutan ini dari sana," seruku ketika menemukan sebuah tanjakan terjal menuju puncak.

Rafi dan Taufiq mengiyakan pendapatku. Kamipun mulai memanjat bukit ini untuk mencapai puncaknya.

Cukup lama berkelit dengan tanjakan dan batu besar. Hingga akhirnya, kami dengan sisa tenaga berhasil mrncapai puncak bukit ini.

Taufiq mulai mengumpulkan rumput kering dan dedaunan untuk tempat tidur. Rafi mencari kayu bakar untuk perapian. Dan aku mencari sesuatu yang dapat dimakan, setidaknya untuk bertahan malam ini.

"Belum menyala juga? Rasanya sudah satu abad," canda Taufiq yang ikut duduk di dekat Rafi yang sedari tadi menggesek-gesekkan kayu untuk membuat perapian.

"Diam kau!!" Rafi tak terima dengan ejekan Taufiq menggesekkan kayu dengan kuat hingga kayu itu patah dan menusuk jarinya.

Ia meringis. Aku mencoba membantu melepas serpihan kayu di ibu jarinya. Tangannya dingin. Sedingin es. Tapi tatapannya begitu teduh, membuatku merasakan sesuatu yang hangat. Kengahatan yang membuat wajahnya lebih bercahaya. Aku ... aku...

"Apinya sudah menyala," ucap Taufiq yang membuatku berpaling bersamaan dengan Rafi. Pantas saja terasa hangat. Ternyata apinya.

Ditemani suara serangga yang nyaring, dan kanopi pohon yang lebat menutupi langit. Kami bertiga menghangatkan tubuh di dekat nyala api.

"Apa itu?" Rafi mencetus saat melihat aku mengeluarkan sesuatu dari bungkusan daun.

"Ah, ini berri. Lumayan untuk mengisi perut. Kalian mau?" jawabku enteng-entang saja. Kurasa tidak perlu seheboh itu juga sampai sampai langsung merebutnya dari tanganku. Apa salahku, kau perlakukan begitu?

"Ini berri beracun. Tidak bisa dimakan. Lihat, permukaannya lebih kasar dan tidak mulus. Warnanya sangat cerah dan lembek. Tangkainya juga memiliki bulu halus yang gatal." Aku langsung melempar berri berri itu sembarangan. Sudah susah payah dikumpulkan ternyata tidak bisa dimakan.

"Jadi kita makan apa? Aku keroncongan," ucap Taufiq dengan lesu.

"Apa keroncongan? Aku tidak mendengar suara musik keroncong." Kini giliran Rafi yang bercanda, membuat masam wajah si 4P alias Taufiq. Mereka berdua sepertinya akan cepat akrab.

Memang kita tidak sebaya. Tapi ternyata Taufiq lebih seru dari yang kubayangkan saat pertama bertemu di penerbangan menuju Selandia baru waktu itu.

Malam semakin larut. Apinya juga sudah meredup. Hampir mati. Taufiq sudah membuat tiga tempat tidur. Meskipun untuk Rafi dia buat compang camping dan itu membuat mereka berdua kembali ribut.

Sudah berlalu beberapa jam sejak mereka terlelap. Sekarang sudah lewat sepertiga malam.

Aku memutuskan beranjak menjauh. Di ujung sana ada sebuah tebing menjulang. Karena tertarik, kau mendekati tebing itu.

Tidak percaya dengan apa yang lihat. Ribuan cahaya menghiasi langit malam yang mendenging dengan suara serangga. Bintang-bintang terlihat jelas dari atas tebing ini. Begitu menakjubkan.

Aku merogoh kantong dan mengambil ponselku. Masih sama, tidak ada jaringan sama sekali. Tepat pukul 4 subuh. Aku beranjak untuk pergi tidur lagi.

Sebelum berdiri sempurna, retinaku menangkap cahaya kuning dari kejauhan. Cahaya itu bergerak mendekat keatas bukit ini. Ada belasan, tidak ada berpuluh-puluh. Banyak sekali. Memanjang berdempetan mengikuti sebuah garis memutar.

Mataku terpaku pada cahaya itu. Apa itu?

"Dorr!!!" Sontak aku melompat kaget dan hampir tergelincir ke dasar tebing. Aaarrrgggg... Rafii. Dia hampir saja membunuhku. Apa tidak cukup baginya membunuh dua preman tadi.

Aku memukulinya sekuat tenaga yang tersisa. Aku kesal.

"Sedang apa?" tanyanya sambil menengadah melihat ribuan atau bahkan jutaan bintang.

"Hm..." aku tidak terlalu memperhatikan pertanyaannya.

"Sedang apa?" ulangnya, dengan penekanan yang lebih kuat. Dia terduduk dengan pandangan yang masih melekat erat pada langit malam.

"Lihat cahaya-cahaya itu! Menurutmu itu apa?" tanyaku sembari menunjuk ke arah cahaya-cahaya itu.

Tiba-tiba dari arah belakang tersengar suara serak yang membentak, "Angkat tangan!!" Aku dan Rafi yang membelakang langsung mengangkat tangan tanpa tau apa yang terjadi.

Apa mungkin kita tertangkap? Kita ketahuan oleh preman itu? Terlebih ada satu preman yang tidak mati. Kemungkinan besar dia yang datang membawa pasukannya. Bukan, membawa koloninya. Eh, kata apa yang tepat? Membawa rekan seprofesinya. Ah entahlah, kuharap kalian mengerti apa maksudku.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang