Bagian 30

22 3 1
                                    

Rani kembali

Jalanan becek dengan lumpur dimana mana membuatku jengkel. Apa apaan ini. Apa benar Nur dan Rafi diculik di tempat ini.

Karena takut tersesat dan ikut hilang di hutan ini, aku menyayat kulit kayu membentuk sebuah garis sebagai penunjuk jalan.

Di dalam hutan sana sangat gelap. Tangkai pohon dengan daun rimbun menghalangi cahaya matahari untuk menembus hutan.

Apa aku harus benar-benar masuk hutan untuk mencari mereka? Mana bisa aku mencari mereka seorang diri. Ditambah medan hutan yang benar benar membuatku jengkel.

****

Hari semakin sore, tapi belum ada tanda tanda keberadaan mereka. Pencahayaan di hutan semakin minim. Sinar matahari berangsur-angsur sirna. Aku jadi teringat dengan cerita si kakek tadi. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan hutan ini.

Hutan semakin gelap. Aku mulai kesulitan menemukan jalan. Ditambah lagi dengan batang yang kutandai tadi sudah tidah kelihatan lagi. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku tersesat.

Sebenarnya aku tak begitu takut gelap. Hanya, suara khas hutan di malam hari membuat bulu kudukku berdiri.

Terus berjalan dengan pencahayaan flash ponselku, aku melewati rawa yang ditumbuhi semak berduri. Tadi siang aku tidak mengingat melewati rawa seperti ini. Aku pasti semakin masuk di tengah hutan.

Signal ponselku sejak sejam yang lalu menghilang. Dan sekarang baterainya hanya sisa 16%. Aku harus terbiasa dengan kegelapan. Lagi pula, di depan sana ada danau yang memancarkan cahaya bulan. Akan lebih baik jika aku ke sana saja.

Sebelum ponselku benar-benar mati. Sorot cahaya flashnya mengenai sesuatu yang berlari. Rambutnya panjang dengan keringat bercucuran di seluruh wajah. Ia tampak berlari kencang seperti di kejar sesuatu.

"Woy... jangan kabur lo!" Dari arah belakangnya terdengar seorang pria meneriakinya dengan senjata laras panjang dipegangnya.

Cahaya senterku sukses mengalihkan perhatiannya dari gadis itu ke arahku. Wajahnya terkena sinar flash begitu garang. Tatapannya membuatku tulangku serasa ingin rontok seketika saking takutnya.

Dia mengacungkan senapannya ke arahku. Bersiap menarik pelatuknya kapan saja ia mau. Aku tak bisa bergerak sama sekali. Nyaliku luntur bersamaan dengan rasa takut yang menggelebur di sekujur tubuh.

Telunjuknya menarik pelatuk senapannya. Suara senapannya memecah keheningan rimba. Tapi sebelum dia berhasil meloloskan peluru dari moncong senapannya, gadis tadi berlari dan mendorong pria itu hingga peluru itu hanya menggores lengan kiriku. Perih dan berdarah.

"Ayo lari!!" seru gadis itu tak henti menggerakkan kakinya yang memang sudah lihai melompat sana sini. Pria tadi tak hanya tinggal diam. Dia mengikuti kami tetap dengan senjata yang teracung menghadap kami.

Aksi kejar-kejaran tak terelakkan. Hampir patah rasanya kakiku berlari. Tapi berhenti bukan jawaban yang sesuai. Sebelum kami menyerah berlari, kami benar-benar berhenti. Kami terpojok. Tepian danau yang tenang memblokade kami.

"Bagaimana ini?" Gadis itu nampak panik melihat pria bersenjata itu mantap membidik kami dengan jarak yang cukup dekat.

"Kita berenang saja!" ucapku gila. Yang ada dipikiranku hanya cara meloloskan diri dari pria itu.

"Jangan bodoh. Danau ini luasnya 2 km. Lagi pula, tepat saat kau menyentuh air, kepalamu pasti sudah berlubang oleh peluru orang itu!" Titahnya membuatku merinding sekaligus menyesal sudah mengajaknya berdiskusi.

Dua orang teman pria itu tiba membawa senapan masing masing. Ternyata bukan hanya satu orang yang mengejar gadis itu. Mungkin masih ada lagi yang belum sampai. Kami hanya bisa mengangkat tangan membelakangi danau itu. Dari arah belakang tiba tiba terdengar suara air yang bergerak.

Mereka tertahan kemudian berlari ke danau itu. Sedang pria yang mengejar kami tadi tetap di posisi. Beberapa saat kemudian, dua teman pria tadi sudah kembali setelah "berenang". Mereka pulang bukan hanya berdua, tapi berempat. Mataku membulat tak percaya mendapati Nur dan Rafi tak sadarkan diri sedang diboyong oleh mereka.

Pria yang mengejar kami tadi memborgolku dengan gadis ini dan membawa kami ke suatu tempat, "Bos pasti akan sedang dengan hasil tangkapan hari ini," serunya yang disambut gelak tawa rekan rekannya yang lain. Sekarang aku percaya dengan apa yang diberitahukan oleh kakek tadi. Mereka adalah sindikat penjual narkoba dengan jaringan penjualan hingga ke luar negri.

Penyedap Rasa - (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang