📝 entri ketiga

1.2K 270 12
                                    

Halo, Changbin. Tolong jangan bilang ke orang tuaku atau ke siapapun kalau aku bolos setengah hari.

Bukan salahku. Jisung yang mulai! Aku hanya ingat saat jam istirahat, Jisung tahu-tahu menarik tanganku dan mengajakku ke UKS. Aku bilang kalau aku enggak sakit dan enggak butuh ke UKS sama sekali. Tapi dia menatapku serius sambil bilang, "Jangan bohong, Fel. Mukamu pucat. Aku tahu kalau kamu tadi tidur selama jam Fisika."

Aku enggak bisa membantahnya setelah ia berkata begitu. Akhirnya aku menuruti langkah Jisung menuju UKS.

Omong-omong, biarkan aku menceritakan tentang Jisung padamu, Changbin.

Kami sudah berteman sejak kelas satu dan baru satu bangku di kelas dua ini. Aku melihat Jisung sebagai orang yang nekat berenang di tengah arus deras sungai. Tanpa peduli bahwa di sekitarnya mungkin ada buaya yang tengah menyamar, atau arus sungai dapat membawanya hanyut dan terhempas. Jisung tetap berenang melawan arus menuju apapun yang ia tuju tanpa rasa takut. Pemuda itu orang paling teguh yang pernah aku tahu. Tak lupa dengan kepribadiannya yang menyenangkan. Tidak heran jika semua orang mengenal Jisung (selain sebagai biang onar, juga sebagai orang paling menyenangkan yang pernah kau temui seumur hidup). Itu, hal yang membuatku iri selama bertahun-tahun. Dan membuatku bertanya-tanya, kapan aku berhenti menjadi pengecut dan mulai hidup bebas seperti Jisung?

Aku—enggak tahu. Aku takut.

Jisung hanya menyuruhku berbaring di atas tempat tidur sebelum ia menemui perawat UKS. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, yang jelas sang perawat kemudian memberikanku sepotong roti dan juga susu kotak sambil bilang, "Habiskanlah. Kau belum sarapan dan tidur, kan?" (yang mana membuat jantungku seperti berhenti mendadak—bagaimana perawat itu dan Jisung tahu?). Kucoba menghabiskan roti dan susu pemberiannya, melawan perutku yang diaduk-aduk oleh rasa takut. Bel masuk kelas sudah berbunyi, yang berarti aku harus kembali. Aku tidak bisa di sini. Bagaimana dengan pelajaran berikutnya? Kalau tertinggal, aku akan kesulitan. Belum lagi jika orang tuaku tahu kalau aku tidak masuk kelas. Aku akan terkena masalah. Bagaimana kalau aku benar-benar dikurung di rumah nantinya?

Perutku semakin diaduk oleh rasa takut. Tanganku gemetaran. Kupaksakan menghabiskan roti di tanganku semata karena aku tidak enak hati, tetapi rasa mual itu semakin menjadi-jadi.

Aku hendak muntah. Jisung sigap mengambilkan air minum dan tidak memaksaku melakukan apapun.

Yang kuingat berikutnya adalah Jisung yang memintaku berbaring saja di ranjang UKS. Aku pun menurut. Kepalaku masih pusing. Aku tahu aku harus tidur, tetapi memikirkan pelajaran membuat jantungku berdebum. Akan ada begitu banyak informasi yang aku lewatkan, aku tahu, dan aku tidaklah sejenius itu untuk memahami semuanya sekaligus. Alasan kenapa nilaiku bagus-bagus adalah karena aku mengulang-ulang pelajaran setiap waktu, bukan karena aku jenius. Sudah kukatakan padamu bukan, Changbin, kalau aku enggak punya bakat dan enggak pintar?

Aku takut, Changbin. Saat itu, aku sangat takut.

Dan seakan dapat membaca ketakutanku, Jisung menggenggam tanganku. Kulihat keningnya berkerut, mungkin karena ia terkejut menyadari jari-jariku mulai beku.

"Enggak usah dipikirin. Yang penting kamu istirahat dulu. Kamu overwork, Fel. Aku tuh bukan orang bego."

Kata-kata itu diucapkan Jisung lembut, sekalipun tetap ada ketegasan di dalamnya. Satu hal lain tentang Jisung: entah mengapa, ia selalu bisa membaca pikiranmu.

"Gimana caranya?"

Aku tahu aku bodoh karena justru berkata begitu. Tetapi Jisung sama sekali tidak mengejekku.

"Coba sesekali lepasin dirimu. Dari semuanya. Jangan pikirin apapun, istirahat dulu." Kemudian Jisung berkata lagi, "Biasanya kamu ngapain biar kamu tenang?"

Aku saat itu enggak bisa memikirkan apapun kecuali, "Nulis diary."

Kulihat Jisung tertawa kecil saat mendengarnya.

"Kenapa?"

"Soalnya pas aku nulis diary, aku enggak perlu mikirin apapun."

Saat aku menegakkan tubuhku, kurasakan Jisung menarikku dalam dekapan hangat. Kapan aku terakhir kali dipeluk seperti ini (selain oleh Hyunjin yang terlalu bahagia karena diterima audisi)? Aku enggak ingat. Bahkan aku lupa kapan orang tuaku memelukku. Pelukan Jisung terasa seperti selimut hangat—nyaman dan menguatkan. Seakan seluruh kekuatan Jisung turut mengalir kepadaku melalui pelukan dan ia meyakinkanku bahwa aku pun bisa seperti dia.

"Jadi sempurna itu capek banget ya, Fel? Aku ngerti kok. Aku ngerti banget."

Sekarang aku tahu kenapa Seungmin memberikanmu padaku dan menyuruhku mengisinya.

Nulis di catatan harian sensasinya beda total dengan nulis untuk lomba. Rasanya bebas. Lepas. Aku enggak perlu takut kalau ada yang lihat tulisanku yang kacau balau. Aku enggak perlu takut ada yang menilaiku enggak sempurna. Memang enggak. Aku enggak sempurna, enggak ada yang bisa sempurna. Kalau kamu kupas kulitku, kamu bakal lihat kalau di bawah kulitku banyak banget boroknya, dengan nanah menetes-netes kelaparan. Aku enggak tahu sejak kapan aku sejelek ini. Aku sudah enggak bisa mengingatnya.

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang