Halo, Changbin. Aku enggak tidur banyak semalam, tapi seenggaknya kata-kata Jisung membuatku dapat tenang sedikit. Orang tuaku tampaknya tidak tahu akan insiden membolosku—yang mana merupakan keajaiban karena biasanya mereka selalu mengawasiku. Atau karena keduanya tengah disibukkan dengan urusan bisnis? Entahlah.
Mungkin setelah urusan bisnis selesai, aku akan kembali diseret di ruang makan, terjebak dalam pemaparan soal perusahaan bersama orang tuaku. Mereka bilang, sebagai pewaris tunggal, aku harus tahu. Dan sebagai pewaris tunggal, aku juga sudah harus memikirkan solusi dan program-program ke depannya andai aku mewarisi perusahaan milik Ayah kelak.
Mereka terlalu banyak berharap padaku. Mengingatnya selalu membuat perutku serasa diaduk dari dalam.
Tidak ada yang aneh hari ini di sekolah. Aku belajar seperti biasa. Jisung tetap berisik seperti biasa. Dan setelahnya aku berlatih dengan klub dance seperti biasa. Ah, ya. Aku ingat! Aku lihat Kak Changbin saat aku mau ke kantin. Ya—dia enggak lihat aku, sih. Tapi aku lihat dia!
Sumpah. Ganteng banget.
Ya, emang Kak Changbin selalu ganteng. Selalu. Enggak salah sama sekali (dan ini bukan testimoni orang bucin!).
Dan lagi-lagi, aku enggak bisa menyapa Kak Changbin. Selain karena Kak Changbin tampaknya sedang serius berbincang dengan panitia yang lain, juga karena tampaknya, Kak Changbin tidak melihatku. Seperti biasa. Seharusnya aku tidak berharap lebih. Tidak semua orang dapat menjadi seberani Seungmin ataupun Jisung, termasuk aku.
Satu tahun lebih aku sudah menyukai Kak Changbin. Satu tahun lebih dan aku sudah tahu kalau Kak Changbin terlalu jauh untuk kugapai. Mungkin karena Kak Changbin adalah epitom hidup dari kesempurnaan sementara aku bak pungguk berborok merindukan bulan. Sekali lagi, aku hanya bisa menghela napas.
Aku tidak boleh berharap. Aku tidak boleh terlalu dekat.
Tepatnya—aku sebenarnya takut jika aku terlalu dekat. Terakhir kali Ikaros terbang terlalu dekat dengan matahari, panas matahari melelehkan sayap lilinnya dan ia kemudian terjatuh ke dalam laut. Aku enggak mau ikut jatuh ke dalam laut dan tenggelam.
Aku harus tahu batasan.
Omong-omong, Changbin. Ada satu hal lagi yang mau kubicarakan di sini selain tentang Kak Changbin. Sore pas aku sampai rumah, aku ketemu sama Jeongin. Dia di depan halaman rumahnya—yang akhirnya udah enggak kosong lagi.
"Jeonginnie?"
Jeongin, temanku sejak kecil, yang sebelumnya pindah karena aku enggak tahu apa. Jeongin umurnya setahun di bawahku, tapi ia begitu dewasa. Mungkin karena ia anak sulung. Atau mungkin karena berbeda denganku, ia lebih memilih memendam semuanya sendirian dan berusaha memecahkan semuanya sendirian. Atau karena ia pintar—pintar dari lahir, bukan pintar karena dipaksa sepertiku. Dulu sebelum aku mengenal Seungmin, saat aku masih sangat, sangat kecil, aku selalu bercerita pada Jeongin pun sebaliknya. Kami menyimpan rahasia masing-masing dan saat itu, aku mengenal Jeongin sama baiknya dengan mengenali telapak tanganku sendiri.
Dan Jeongin, orang pertama yang mendukungku mati-matian agar mengirimkan naskahku ke salah satu lomba. Dan Jeongin, orang pertama yang menyelamatiku dan berkata kalau ia begitu bangga menjadi temanku. Jeongin yang kuingat adalah Jeongin yang selalu tersenyum apapun yang terjadi, Jeongin yang teguh. Jeongin yang selalu menyemangatiku dan membangun kepercayaan diriku—Jeongin yang ingin aku dapatkan kepercayaan dirinya.
Tetapi Jeongin yang ada di depanku ini begitu dingin dan asing. Senyumnya pun tidak mencapai mata seperti Jeongin yang kukenal—senyumnya lebih terlihat seperti tempelan di atas topeng.
"Hai, Kak. Kaget?"
Nadanya bahkan begitu dingin. Jeongin kenapa?
"Kamu—sejak kapan balik ke sini lagi?"
Kulihat Jeongin mengedikkan bahu. "Minggu kemarin. Tapi baru bisa sekolah hari ini."
Setelah itu, tidak ada percakapan apapun di antara kami berdua. Aku berusaha mencari topik, tetapi aku pun tidak tahu apa yang Jeongin sukai kali ini, atau bagaimana hidupnya selama ia pergi. Jeongin yang kukenal dulu benci berbasa-basi. Ia akan merengut jika aku bertanya, "Apa kabar?" dan berkata, "Aku bisa jalan, Kak. Aku baik-baik aja."
Karena bagian yang paling mengerikannya adalah, aku sudah enggak tahu apa-apa tentang Jeongin di hadapanku ini. Jeongin yang ada di kepalaku hanya serpihan-serpihan dari masa lalu—yang sudah mati dimakan oleh waktu.
"Kak Felix berubah banget ya?"
Aku mencoba tertawa kecil dan terdengar main-main, tetapi Jeongin tampaknya bisa melihat keterpaksaan di wajahku. "Jadi tambah tirus maksudnya?"
"Itu juga sih." Kulihat Jeongin menatapku lurus, "Yang paling kerasa tuh, Kakak udah enggak butuh aku kayak dulu."
Lidahku kelu. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Sampai Jeongin berlalu pun, aku tetap diam seperti patung.
Cuma karena aku udah lama enggak menghubungi Jeongin, bukan berarti aku enggak butuh dia. Sebelum pergi, Jeongin sama sekali enggak meninggalkanku pesan. Nomornya diganti. Surelnya juga. Semuanya. Seakan Jeongin sengaja menghilang dari hidupku. Tiga tahun, Changbin. Pertama kali ketemu dengan Jeongin, itu yang dia bilang padaku. Tiga tahun dan dia masih semarah itu.
Sakit.
Mungkin aku akan cerita lebih banyak tentang Jeongin. Mungkin. Enggak sekarang, aku udah enggak sanggup nulis lagi. Rasanya aku besok enggak mau ke sekolah, enggak mau keluar kamar. Sakit banget, Changbin. Kamu sampai kena air mataku selama aku nulis ini, kan? Maafin aku.
Aku enggak akan menyembunyikan apapun darimu, Changbin. Cuma kamu yang bisa aku percaya buat menyimpan semua borokku rapat-rapat. Aku tahu baunya busuk, jangan sampai semua orang menciumnya.
//
aku kepikiran sesuatu yang bikin down—dan i think the best way to deal with it is to turn it into a fanfiction, as a coping way. jadi terpaksa aku banting personalitas jeongin di sini sampai berbanding terbalik dengan rancangan awalku. maaf ya :"D tapi emang ff ini dimaksudkan buat jadi berat dengan style teringan, sih, karena aku butuh keluar dari kandangku sesekali :"D
masih ada satu perkenalan tokoh lagi sebelum aku lanjut ke konfliknya. udah ada yang bisa nebak kemungkinan konflik yang bakal kuangkat apa selain kisah cinta changlix? :"D
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan felix. ✓
FanfictionHalo, Seungmin bilang kalau aku harus menulis sebuah catatan harian atau blog. Jadi, hai. Ini ceritaku tentang teman-temanku, dan tentang dia yang kucintai dalam diam. { bxb; changlix; high school au. cover © kimdoyomg }