📝 entri ketujuh belas

637 169 6
                                    

Aku tarik lagi kata-kataku, Changbin. Sesuatu emang benar terjadi hari ini. Saat liburan.

Ada satu hari di mana aku capek—beneran capek, dan yang bisa kupikirin cuma kalau aku mau pergi entah ke mana. Dan aku melakukannya. Uang di sakuku enggak banyak dan aku enggak tahu aku mau ke mana—ke manapun boleh, selama enggak di sini. Aku duduk di halte, aku masuk ke dalam sebuah bus acak tanpa memperhatikan tujuannya, kemudian aku turun entah di halte mana sebelum naik bus lagi. Aku enggak tahu kapan aku berhenti—mungkin sampai uangku habis?

Dan memang terjadi akhirnya. Uangku habis.

Akhirnya aku melangkah entah ke mana, ke manapun kecuali rumah. Mungkin aku akan meringkuk di jalanan dan tidur, atau kalau aku beruntung, aku bisa tiba di rumah Jisung dengan kaki untuk numpang tidur (masalahnya adalah—aku lupa rumah Jisung di mana). Aku enggak tahu, oke? Semuanya terjadi begitu aja. Aku enggak mikir, otakku enggak bisa dipakai mikir. Tapi ini lebih baik daripada dikenali, kayaknya aku bakal dianggap gila sungguhan karena jalan enggak tentu arah.

"Fel? Mau bareng?"

"Kak Changbin—?"

Kebodohan pertamaku hari ini adalah enggak mengenakan masker dan topi. Yang menyapaku adalah Kak Changbin di atas motornya—Kak Changbin yang aku cinta, tapi hal terakhir yang kuinginkan adalah dikenali oleh seseorang. Rasanya enggak nyaman, padahal yang memanggilku jelas-jelas cowok yang aku suka. Ini yang bikin aku mikir kalau cinta itu hal paling misterius di dunia.

"Kamu mau ke mana? Mau bareng, enggak?"

"... enggak tahu."

Dan kebodohanku yang lain adalah memperlihatkan pada Kak Changbin kalau aku seperti anak itik yang tersesat. Kak Changbin tertawa, aku enggak merasakan itu tawa menghina. Kusaksikan ia mengambil sebuah helm yang tergantung di motor sebelum menyerahkannya kepadaku.

"Mau jalan-jalan dulu sebelum kuantar pulang?

Aku enggak tahu kenapa aku mengiyakan. Refleks begitu saja.

Tapi aku enggak menyesal telah mengiyakan. Kak Changbin benar-benar mengajakku berkeliling daerah-daerah pinggiran di Seoul—hingga ke gang-gang kecil yang enggak aku kenal. Daerah ini asing, seperti labirin, tetapi Kak Changbin selalu bisa menemukan jalan keluarnya, membawa ke hal-hal baru bagi mataku. Peganganku mengerat pada jaket Kak Changbin dan terkutuklah sesuatu bernama perasaan itu—jantungku berdentum dan napasku tercekat. Terlalu dekat. Kau tahu, salah satu alasan kenapa aku menyebut perasaan itu terkutuk karena tiap kali aku berada di dekat Kak Changbin yang aku suka, aku terasa seperti dicekik dalam diam. Aku enggak mengerti. Katanya, cinta seharusnya adalah perasaan yang paling membahagiakan. Tetapi kenapa responku setiap melihat Kak Changbin ingin berlari seakan Kak Changbin adalah monster menakutkan? Tetapi kenapa yang kurasakan setiap dekat dengan Kak Changbin setara dengan yang kurasakan saat aku berada di wahana menyeramkan?

Tentu, aku juga merasa hangat dan senang, tapi coba bandingkan dengan kegugupan yang kurasakan.

"Kenapa chat Kakak enggak dibales?"

"HPku rusak, Kak. Maaf ya."

Aku bohong.

Tetapi kudengar Kak Changbin enggak keberatan, "Enggak apa. Sebelumnya maaf tapi—kamu kurusan, ya?"

Aku bingung, "Hah? Gimana?"

"Pipimu tambah tirus. Terus matamu—kamu enggak tidur? Kayak panda banget matamu. Mukamu juga tambah pucat. Kamu juga kulihat sering lemes." Perutku menggeliat. Kak Changbin enggak natap aku langsung, tapi rasanya kayak dikulitin dan dikupas langsung. "Beda banget pas pertama kali kita ketemu, tahun kemarin."

Kapan? Apakah Kak Changbin membicarakan tentang masa orientasi—masa di mana pipiku masih agak sedikit gembil? Tetapi memangnya dari sekian banyak siswa baru, Kak Changbin ingat aku? Aku yang bukan siapa-siapa ini?

"Kakak—ketemu aku pas kapan?"

"Pas MOS lah." Kudengar Kak Changbin tertawa (dan aku ingin banget lihat dia ketawa). "Mana mungkin Kakak lupa sama kamu."

"Bisa aja, kan? Ada banyak murid baru pas MOS."

"Tapi cuma ada satu murid baru cowok yang ngirim surat cinta ke seniornya yang cowok juga."

Keningku berkerut dalam.

"... hah?"

"Kamu lupa? Padahal aku enggak pernah lupa."

Aku mencoba menggali ingatanku—dan aku akhirnya mengingat sesuatu. Masa orientasi bukanlah hal yang banyak kuingat—kecuali beberapa hal. Satu, saat itulah, aku pertama kali mengenal Jisung. Dua, saat itulah, aku pertama kali mengenal Kak Changbin. Yang enggak pernah terlintas di pikiranku adalah bahwa di saat yang sama, Kak Changbin juga pertama kali mengenalku. Karena serius, kami enggak pernah interaksi kecuali—waktu itu, hanya beberapa detik.

Waktu Kak Changbin memberikanku sebotol air minum karena aku kehausan.

Tapi tetap saja, Kak Changbin enggak bilang apa-apa waktu itu. Cuma aku yang bilang, "Makasih," pelan (dan aku enggak yakin Kak Changbin dengar). Dan di penghujung masa orientasi, ada sebuah tugas yang membuatku bingung. Tugasnya adalah menulis surat cinta untuk salah satu senior dan sungguh, orang pertama yang kuingat adalah Kak Changbin yang memberikanku minum, Kak Changbin yang enggak bisa kuhapus.

Dan kutulis surat itu untuk Kak Changbin (aku enggak bisa nulis buat orang yang enggak membekas di hatiku karena aku enggak bisa bohong). Seharusnya surat cinta, tetapi aku menulisnya dengan jujur. Hanya sebotol air minum dan aku tidak bisa melupakannya seumur hidup. Hanya sebotol air minum dan hatiku dibawa pergi entah ke mana, aman di genggaman Kak Changbin hingga kini.

"I—itu—"

Kak Changbin tertawa keras mendengarku gelagapan. Aku bersyukur Kak Changbin enggak lihat mukaku yang mungkin merah padam. "Itu kali pertama ada yang ngirim surat cinta setulus itu buat aku." Dan kupikir, dia sekarang tersenyum lebar."Makasih banyak, Felix."

Aku enggak lihat senyumnya Kak Changbin. Tapi rasanya aku mau senyum juga.

Kak Changbin sungguhan mengantar hingga rumahku, kami tiba sebelum matahari tenggelam seutuhnya. Besok, Kak Changbin bilang kalau dia akan menjemputku dan kami akan jalan-jalan. "Dengan satu syarat," katanya, "Kamu harus tidur. Kalau kamu besok pucat lemes lagi, jalan-jalannya batal." Aku ingin mengajukan banding, tetapi Kak Changbin tampak serius dengan kata-katanya dan aku enggak punya upaya untuk membantah.

Dan aku menjawab iya. Akan kuusahakan, kalau aku bisa.

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang