Sudah berapa banyak tulisan yang kuhasilkan? Banyak. Banyak sekali. Sekarang pun, aku masih menulis—sesuatu selain menulis kamu. Hahaha.
Semuanya terasa begitu mudah saat kamu enggak mikirin dirimu sendiri. Kamu enggak perlu mikir apa kamu bakal sakit atau enggak kalau terus memaksakan diri (dan oh, aku sudah sakit—lambungku masih sakit, obat itu enggak banyak bantu). Kamu enggak perlu mikir apa kamu bakal meledak jadi serpihan (justru bagus kan kalau aku meledak? Aku enggak akan menyakiti siapapun lagi selamanya, monster ini juga bakal mati selamanya). Mungkin aku juga sudah mulai sinting. Tiap hari yang ada di pikiranku cuma apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang harus selesai. Aku masih tetap dikejar rasa takut setiap hari dengan derajat yang beda-beda. Sekalinya enggak, aku enggak bisa merasakan apapun selain kebas dan linglung.
Aku memang sudah sinting. Bell jar ini membuatku sesak dan sinting.
Seungmin sudah pindah ke kamar perawatan yang lebih ramai. Aku ingin menemaninya terus-terusan, menembus rasa bersalahku, tetapi masalahnya, 1) Peraturan orang tuaku, 2) Seungmin akan menghajarku dengan kaki berbungkus gipsnya kalau tahu apa saja yang kulakukan sebagai pengganti tidur, dan, 3) Sudah ada Kak Wonpil, Jisung pun menginap karena ia tidak sekolah. Rumah sakit mungkin menendangku juga kalau aku ikut-ikut meramaikan. Bahkan Seungmin masih sempat mengomeliku soal sleep hygiene, napasku yang terlalu cepat dan pendek, juga porsi makanku yang menyusut hingga beberapa sendok (maaf, Seungmin, kalau aku makan terlalu penuh, aku takut muntah lagi). Kak Wonpil mengajariku latihan napas (ia pikir, aku kena serangan panik) dan aku menyadari, bernapas dengan ritme teramat lambat saja sulit. Ditambah himbauan kalau aku harus melakukannya setiap hari. Kalau ingat—makan saja aku enggak ingat.
Pagi itu saat aku datang menjenguk, aku menyaksikan Jisung duduk di salah satu bangku koridor rumah sakit. Aku duduk di sisinya tanpa menatapnya—atau berbicara dengannya. Aku enggak bermaksud untuk menjauhi Jisung, hanya saja aku enggak enak hati, dan malu. Rasanya aneh. Biasanya kami berbincang akrab tetapi karena satu kalimat yang salah, kami dalam sekejap menjadi orang asing.
"Felix, aku cuma mau bilang kalau—habis skorsing selesai, aku bakal pindah."
Aku refleks mengangkat kepalaku dan menatap matanya. Ada begitu banyak emosi di sana, campur aduk, bersamaan dengan mencelosnya hatiku.
"Ke mana?"
"Nanti aku kabarin lagi. Maafin aku, ya."
"... kenapa kamu yang minta maaf?"
"Karena aku udah nyeret kamu dengan masalahku."
Itu. Jisung masih memikirkan itu. Padahal hanya kata-kata kasar yang keluar dari mulutku tanpa berpikir, tetapi ia masih memikirkannya.
Aku semakin enggak enak hati.
"Enggak, Jisung. Maafin aku." Kurasakan suaraku bergetar dan mataku mulai memanas. Bagus. Kemarin aku merasa kebas, sekarang aku merasa kalau semua emosiku akan tumpah dalam satu detik. "Karena aku enggak bisa jadi teman yang baik."
Jisung cepat-cepat memelukku (seperti biasa, dan ke mana aku saat Jisung benar-benar butuh aku?). Pelukannya masih seperti pelukan Jisung—pelukan paling hangat yang pernah aku tahu. Kurasakan aku meledak. Pecah tangisanku di dalam peluk Jisung. Kurasakan beberapa orang menatapku tapi aku tak peduli, yang kulakukan hanya menangis seperti bayi tanpa ingin berhenti.
"Fel, Fel. Kamu enggak salah. Oke? Jangan minta maaf, apalagi minta maaf sama aku."
Enggak, Jisung. Kesalahanku sama kamu (dan semua orang) itu banyak sekali. Semuanya menjelma menjadi tembok kaca baru bell jar, menghisapku hingga sesak.
.
.
.
"Fel, kabur yuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan felix. ✓
FanficHalo, Seungmin bilang kalau aku harus menulis sebuah catatan harian atau blog. Jadi, hai. Ini ceritaku tentang teman-temanku, dan tentang dia yang kucintai dalam diam. { bxb; changlix; high school au. cover © kimdoyomg }