Halo.
Tadi sore pas ketemuan, Seungmin memberikanmu sebagai hadiah ulang tahun yang terlambat. Dia juga bilang, "Kamu suka nulis kan, Lix? Coba deh, kamu tulis diary, aku enggak selamanya bakal bisa denger keluh kesah kamu dan takutnya kamu enggak plong kalau cuma cerita sama aku." Pas itu aku mendengus geli. Teringat dengan seluruh lomba menulis cerpen dan novel yang sudah kumenangkan. Orang-orang selalu bilang kalau aku berbakat dalam menulis, tapi—entahlah, aku tidak merasa sesuperior itu sebenarnya. Karena di tiap kesempurnaan pasti ada kecatatan. Atau di atas langit masih ada langit lagi.
Tapi karena Seungmin menyuruhku nulis ini, jadi, hai! Omong-omong, aku enggak bakal biarin kamu dibaca oleh siapapun—kecuali kalau sesuatu yang buruk terjadi sama aku atau kalau aku di masa depan sengaja memberikanmu ke seseorang entah dalam rangka apa. Tolong bantuannya ya, kamu! Aku sebenarnya enggak pintar bicara, jadi aku pasti lebih banyak mengoceh lewat tulisan. Sabar ya sama aku.
Omong-omong lagi, aku bingung. Rasanya aneh banget kalau aku nulis di sini tapi enggak ngasih kamu nama (aku sejujurnya merasa gimana gitu kalau manggil kamu 'diary', bukannya semua catatan harian orang namanya itu?). Tapi saat aku memikirkan nama yang tepat untukmu, aku hanya terpikir satu nama. Iya, nama dia. Jadi, bagaimana kalau aku menamaimu dengan nama orang yang paling aku sayang? Biar dia enggak tahu aku ada atau enggak.
Baiklah. Mulai sekarang, namamu adalah Changbin.
Pertemuanku dengan Seungmin tidak terlalu lama (karena aku harus pulang, iya, orang tuaku kaku kalau urusan jadwal), tetapi cukup bagi kami untuk melepas rindu yang lama terpendam (aduh, maaf kalau aku hiperbolis, kebiasaan menulis sih hehe). Aku tidak ingat sebagian besar percakapan kami, dan mungkin yang kutulis di sini hanya fragmen-fragmen yang kuingat. Seungmin sungguhan ke sekolahku dan aku terpaksa memohon-mohon agar Seungmin tidak pulang dan memintaku pulang juga. Untungnya tidak. Mungkin karena Seungmin juga lelah—karena sekolahnya, mungkin? Seungmin sampai tidak bisa ikut klub apapun karena terlalu banyak tuntutan dari sekolahnya. Aku peduli dengan Seungmin, karena itulah aku menanyakan sesuatu yang memang seharusnya ditanya oleh seorang teman.
"Gimana keadaanmu?"
Gantinya Seungmin tersenyum lelah.
"Jangan sekarang, Felix. Tolong banget."
Dan aku menutup mulutku, menggumamkan kalimat, "Maafin aku," dengan lirih kepada Seungmin. Sungguh. Bertahun-tahun kami berteman dan di saat Seungmin mendengarkan keluh kesalku akan hal-hal kecil—seperti operator yang gangguan saat aku ingin mengirimkan surel penting, atau mengenai Olivia yang meninggalkan krayonnya di sekolah, Seungmin tidak pernah mengatakan apapun padaku. Ia hanya tersenyum. Hanya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tak peduli seberapa sering aku memaksanya.
(tolong garis bawahi, akan baik baik saja, Seungmin tidak pernah bilang kalau ia baik-baik saja dan aku terpaksa pura-pura bodoh agar dia tidak tersinggung.)
Satu hal yang aku tahu pasti: Seungmin tidak pernah menyukai rumahnya, tidak pernah membicarakan tentang orang tuanya sejak kami pertama kali bertemu di SMP. Aku ingat setiap kali pembagian rapot, selalu kakaknya yang datang, mengambilkan rapotnya dengan senyum simpul dan tepukan di puncak kepala (omong-omong, nama kakaknya Seungmin itu Kak Wonpil dan mereka udah kayak pinang dibelah dua). Dia enggak pernah cerita secara lengkap sama aku, tetapi dari matanya yang lelah tiap pelajaran atau juga desisan nyeri tiap kali Seungmin menyandarkan punggungnya ke kursi (tapi cuma pas SMP, seenggaknya tiap kali aku ketemu Seungmin pas SMA, Seungmin cuma bilang kalau dia capek).
Mungkin kapan-kapan aku akan bercerita tentang Seungmin. Toh catatan harian ini juga enggak bakal dia baca.
Kami bercengkerama di sebuah rumah makan. Tanpa mengatakan apapun, Seungmin menumpahkan seperempat nasi dan lauk bimbibapnya di atas piringku dan menyuruhku menghabiskannya. Mungkin ia pikir, aku melewatkan makan malam atau makan siang atau sarapan lagi karena terlalu sibuk dengan tugas dan tulisan (biarpun aku berulang kali berkata kalau hari ini aku makan, Seungmin tetap bersikeras). Sungguh. Aku tidak apa-apa. Aku masih bisa belajar dan beraktivitas seperti biasa, dan itu hal yang terpenting, bukan? Kemudian kami mengobrolkan banyak hal—tepatnya aku yang berbicara dan Seungmin diam mendengarkan. Tentang sekolah. Tentang klub. Pun tentang seseorang yang sejak awal masuk tidak akan bisa aku hapus.
"Oh, si Changbin Changbin itu?"
"Seungmin!"
Aku tidak sadar kalau suaraku terlalu keras di rumah makan itu. Buru-buru aku menutup mulut, mengabaikan beberapa tatap tajam dari Seungmin dan dari beberapa orang di sekitar kami. Kurasakan telingaku memanas, malu.
"Gimana? Enggak nyoba pedekate?"
"Gimana caranya...." Aku berkata lirih, "Aku dan dia sama-sama cowok. Gimana kalau dia enggak mau? Gimana kalau dia jijik?"
"Dunia enggak sehetero itu sebenernya, kata Kak Wonpil. Lagian kan masih bisa sebagai temen deket." Aku melihatnya tersenyum seraya mengerling, "Tahun ini tahun terakhir dia di SMA kan? Tahun depan udah enggak bisa lagi. Jadi mending nyoba deh sebelum kamu nyesel."
Aku menarik napas dalam. Seungmin benar. Tidak ada salahnya mencoba selagi Kak Changbin masih bisa kutemui—setidaknya aku tak berharap lebih. Hanya sekedar ia mengenalku sudah cukup, biarpun mungkin, ia akan mengenalku sebagai salah satu dari sekian banyak wajah adik kelas, tanpa sesuatu yang spesial. Entahlah, sebenarnya aku tidak mau berharap lebih—tepatnya, aku takut berharap lebih. Tetapi Seungmin begitu pemberani dan keberaniannya menular padaku.
"Besok—aku coba, ya. Kalau aku enggak pingsan duluan."
Kudengar Seungmin tertawa kecil. Tawa yang membuatku lega karena berkat tawa itu, wajah sahabatku tidak lagi terlihat terlalu lelah. Melegakan rasanya, seperti melihat Seungmin masa SMP yang ramah kepada siapa saja.
"Bagus. Omong-omong LIx, kamu butuh tidur. Banget. Kenapa sih? Muka udah kayak kain pel."
Bibirku mengerucut, "Enggak—cuma ada tugas banyak aja dan tahulah gimana kelas dua. Sibuk sama kegiatan klub."
Separuh berbohong. Kukira Seungmin tidak akan tahu dan tidak akan curiga.
"Tetep aja, jangan lupa tidur." Kemudian ia menyendokkan nasi dan lauknya sebelum menjejalkannya paksa di mulutku. "Nih. Makan yang banyak juga. Pipimu juga enggak gembul lagi kayak dulu, aku yang cemas."
Setelahnya aku tidak mengatakan apapun kecuali mengunyah dan makan, sebanyak apapun yang Seungmin mau. Setelah itu pula dia memberikanmu sebagai hadiah ulang tahun. Berkata bahwa mungkin kamu dapat membantuku agar aku tidak terlalu tertekan (tertekan mananya? Aku baik-baik saja, Seungmin).
Jadi, mohon bantuannya ya kamu, Changbin. Entah Changbin si catatan harian atau Changbin si kakak kelas yang aku suka. Omong-omong, besok Hyunjin minta aku buat jadi perwakilan klub dance buat rapat class-meeting sekolah. Karena ketua komite murid punya terobosan baru buat class-meeting nanti—yang berarti aku bakal ketemu sama dia. Yang berbagi nama denganmu, wahai catatanku.
Doakan aku tidak pingsan saat bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan felix. ✓
FanficHalo, Seungmin bilang kalau aku harus menulis sebuah catatan harian atau blog. Jadi, hai. Ini ceritaku tentang teman-temanku, dan tentang dia yang kucintai dalam diam. { bxb; changlix; high school au. cover © kimdoyomg }