📝 entri kedua belas

740 192 6
                                    

Hello, Changbin. It's D-day!

Mari kita memulai hari dengan sebuah fakta: jantungku mau melorot sejak pagi buta.

Enggak ada hubungannya sama kurang tidur berkatlatihan sendirian (ya—aku cuma tidur beberapa jam, sih), tetapi karenajantungku berdebar membayangkan hari esok dan ya—susah tidur lagi. Tapi enggakapa-apa! Aku akan tampil dan setelah itu aku akan sehat lagi! Jantungku terus berdebar penuh antisipasi sedari tadi, dan debarnya semakin kencang saat aku akhirnya tiba di sekolah.

Pantas saja Kak Changbin sibuk terus. Acaranya saja sebesar ini.

Ramai sekali. Kali pertama aku melihat sekolah seramai ini oleh banyak orang. Pensi tahun kemarin enggak seramai ini, mungkin karena tahun kemarin, hanya siswa sekolah yang menikmati. Membayangkan dirimu akan tampil di tempat seramai ini adalah sebuah beban tersendiri. Teringat bahwa kemarin aku kurang baik dan latihan semalaman enggak terlalu membantu. Tiba-tiba aku ingin muntah lagi tapi kalau aku muntah lagi, yang ada perutku kosong. Aku enggak mau pingsan di atas panggung, jadi terpaksa kutahan.

Dan giliran kami tampil. Jantungku sungguhan seperti mau melorot dari tempatnya. Kurasakan Kak Minho merangkul bahuku, mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku sebenarnya takut, Changbin. Aku memang suka menari, tetapi memperlihatkannya di hadapan umum adalah hal lain lagi. Kesalahan sekecil apapun akan terlihat, aku enggak mau membuat yang lain terlihat jelek, jadi satu-satunya hal yang kulakukan cuma berusaha semaksimal mungkin.

Biarkan aku mendeskripsikan tarian kami dalam kata-kata untukmu, Changbin.

Kak Minho, terlepas dari tingkah lakunya dalam keseharian, adalah koreografer terbaik yang pernah kutemui. Ia menimbang banyak segi, termasuk pula segi di mana kami dapat menonjolkan kemampuan kami dengan baik. Dan Hyunjin mampu memolesnya dengan detil-detil terkecil. Di atas panggung, perbedaan di antara kami seakan menyatu. Kombinasi sempurna antara lembut, indah, namun juga bertenaga dalam satu waktu. Bagian paling mendebarkan untukku adalah saat melakukan backflip—bagian yang paling beresiko tinggi di antara seluruh aspek koreografi. Aku enggak begitu memperhatikan yang lain, aku takut merusak penampilan. Yang kufokuskan adalah gerakanku sendiri, diriku sendiri, dan bagaimana aku dapat menonjolkan diri sendiri seperti yang lainnya.

Saat tarian kami selesai, suara tepuk tangan dan teriakan terdengar memekakkan. Bibirku melukis senyum senang, ini kali pertama aku mendapatkan tepuk tangan sekeras ini. Aku bertanya pada Kak Minho, apakah ada yang merekamnya karena aku ingin melihat apakah diriku tidak melakukan kesalahan. Kak Minho justru tersenyum dan berkata, "Mungkin penonton ada yang rekam, tapi kita enggak. Enggak usah dipikirin, kamu udah oke banget, Fel."

Tuhan, aku sesungguhnya ingin percaya kalau aku sudah melakukannya dengan bagus. Aku ingin enggak ragu akan perkataan orang lain padaku. Tapi bagaimana caranya saat suara di kepalaku lebih memekakkan ketimbang sorak sorai penyemangat itu?

"Selamat, ya. Penampilanmu bagus."

Adalah Kak Changbin yang berkata begitu, dengan buket bunga kecil di tangan, di belakang panggung. Sesuatu yang membuatku terkejut (dan sebenarnya senang setengah mati). Padahal ini hanya penampilan di pensi SMA, tetapi rasanya bagai telah tampil di depan satu negeri. Padahal Kak Changbin enggak harus memberikanku apapun—biarpun aku lupa bilang. Ini sudah kewajibanku tampil dan Kak Changbin enggak seharusnya memberikanku apapun sebagai apresiasi. Lagipula aku enggak akan bisa seperti ini kalau bukan dorongan dan semangat dari teman-temanku. Seharusnya aku yang berterima kasih pada mereka.

"Enggak kok, Kak. Itu semua karena Kak Minho dan—"

"Felix, aku beneran muji kamu. Penampilanmu bagus banget."

Dengan itu aku terdiam. Dengan itu aku merasakan wajahku mulai memanas. Kualihkan pandanganku dari Kak Changbin karena kupikir, kakiku mulai meleleh, dan berkata,

"Makasih."

Sampai sekarang, sampai saat aku menulis ini, jantungku enggak bisa berhenti berdebar. Tapi rasanya hangat, enggak ketakutan seperti biasanya. Aku pun enggak bisa berhenti tersenyum karena sungguh, kata-kata Kak Changbin adalah hal paling indah yang terjadi dalam hidupku selama di SMA.

Mungkin ini akan menjadi tidur terindah yang pernah kurasakan.

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang