📝 entri keempat belas

723 180 6
                                    

"Fel, cepet ke sini, ya. Jisung mau cerita."

Hanya dengan telepon itu, aku langsung melesat ke rumah Jisung. Aku ingat tempatnya, pernah sekali ke sana dalam rangka kerja kelompok. Halaman rumah Jisung tetap tidak berubah, tidak ada yang berubah. Ibu Jisung menyambutku dengan senyum sedih. Aku pernah mendengar bahwa orang tuanya Jisung enggak lagi membebaninya dengan tuntutan apapun sejak kejadian rumah sakit itu. Mereka melunak, dan perlahan memperbaiki hubungan dengan anaknya yang telah renggang (berbeda dengan orang tuaku, anaknya masuk rumah sakit bolak-balik dan mereka belum kunjung sadar). Saat aku membuka pintu kamar Jisung, kulihat Seungmin sudah duduk di tepi tempat tidurnya. Wajah mereka berdua tampak lelah.

"Kusut banget wajahmu, Fel."

Dan Seungmin masih sempat berkomentar demikian, membuatku mendengus, "Muka kalian juga kusut." Aku memutuskan untuk duduk di sisi Jisung, agar aku lebih mudah merangkulnya. Jisung hanya punya kami berdua saat ini, ia butuh dikuatkan setelah apa yang terjadi.

"Semalem, Jisung udah cerita sama aku." Seungmin mulai berkata, "Sekarang giliran kamu denger."

Karena ceritanya panjang banget dan aku enggak bisa ingat dengan pasti semua perkataan Jisung, akan kurangkum ceritanya dalam bentuk narasi.

Changbin, kau tahu kan novel yang kukirimkan kemarin? Novel yang menceritakan tentang seorang pembully yang akhirnya memutuskan untuk berubah setelah korbannya masuk ke rumah sakit? Ternyata kisah itu masih jauh dari titik akhir. Karena dia akhirnya melakukan hal yang sama lagi setelah beberapa tahun berselang. Ia mencintai seorang kakak kelas yang sudah berpacar. Dan di suatu siang, ia menyaksikan bagaimana pacar kakak kelasnya itu memperlakukan orang yang ia cintai dengan buruk. Di saat itulah darahnya mendidih, membangunkan setan yang telah lama terlelap di dalam tubuhnya. Dengan didorong amarah, ia memukul pacar sang kakak kelas hingga darah keluar, hingga ia kembali berhadapan dengan rumah sakit dan sekolah.

Niat utamanya adalah untuk membantu. Tetapi setan memutarbalikkan semuanya.

"Itu—pacar kakak kelas yang kamu cinta itu?"

"Udah enggak, Fel." Jisung menggeleng, "Aku enggak bisa tetep cinta sama orang yang takut sama aku."

Keningku berkerut, "Takut gimana maksudnya?"

"Aku tahu banget, Fel, tatapan orang yang takut. Tatapan dia kayak gitu."

Karena masa lalu Jisung yang berhadapan dengan orang-orang yang ketakutan, pemuda itu lebih mengerti dari siapapun untuk segera menyerah dan menjauh. Deskripsi semua orang benar. Jisung dan amarahnya adalah bom waktu mematikan. Bom itu telah meledak, dan yang sebenarnya luluh lantak adalah semua usaha kebaikan yang telah ia usahakan, juga seluruh usahanya mencintai diri sendiri. Jisung yang terjatuh di dalam lubang kelinci yang sama berkata bahwa ia sekarang membenci dirinya sendiri lebih dari siapapun—karena setannya, karena ia tidak bisa mengendalikan emosinya.

Lebih mudah membenci diri sendiri dibandingkan membenci orang lain. Kupikir karena di kultur kita, lebih mudah menghina dibandingkan menyanjung—seperti aku yang tidak pernah benar di mata orang tuaku. Aku terlalu terbiasa membenci diri sendiri, sampai pujian-pujian padaku sering membuatku kebingungan sendiri. Itu salah, tetapi sesuatu yang telah mengakar kuat sejak kanak-kanak tidak dapat dihilangkan dalam semalam. Dari semua pelajaran, kupikir yang paling sulit itu adalah belajar mencintai diri sendiri, terlebih jika kau besar dalam perkataan negatif.

Konsep 'mencintai diri sendiri' itu enggak segampang kedengarannya. Mencintai diri sendiri itu enggak sebatas merawat dan menjaga diri sendiri, atau juga berhenti menghina diri sendiri, tetapi mencakup juga memaafkan dan berdamai dengan dirimu sendiri—berdamai dengan setanmu sendiri. Dan kupikir, itu yang paling sulit dilakukan oleh semua orang. Jika dulu kala kau melakukan hal buruk yang membuatmu menyesal, bagaimana caranya kau memaafkan dirimu dan membiarkan itu semua berlalu?

Dan Jisung, Jisung pun enggak bisa sayang dirinya sendiri, katanya. Menyayangi diri sendiri bagi Jisung berarti juga merangkul sisi jahatnya—seperti kepalanya yang meledak-ledak, atau masa lalunya yang penuh kekerasan, bahkan ia harus berdamai dengan setan yang ia ciptakan sendiri. Itu bagian yang paling sulit menurutnya, terlebih setelah kejadian ini. Setelah apa yang setan itu lakukan, apa dia masih berani untuk mencoba mengajaknya berdamai lagi?

"Semua orang enak, seenggaknya mereka bisa lari dari aku kalau mereka takut sama aku." Jisung berkata lagi, kali ini sambil menangis, "Tapi aku enggak, Fel. Aku enggak bisa. Aku paling takut sama diriku sendiri padahal, tapi aku enggak bisa lari. Aku terperangkap—orang aja takut sama aku, apalagi aku sendiri yang paling kenal diriku lebih dari siapapun?"

Hari ini di hadapanku, Jisung keluar dari cangkangnya. Ia terlihat begitu lemah dan ketakutan—berbeda dengan Jisung yang kuingat, Jisung yang selalu berani, Jisung yang membuatku iri. Aku mengerti mengapa Jisung begitu berani, termasuk berani mencoba memperbaiki kesalahannya dengan terus melangkah maju. Karena dia enggak punya pilihan lain kecuali mengepalkan tangan, menulikan telinga, dan terus melangkah maju. Terkadang keberanian seseorang juga merupakan topeng untuk menutupi dirinya yang takut akan dunia. Itu, pendapatku mengenai Jisung. Aku enggak membenarkan tindakan Jisung, tetapi aku kasihan padanya (karena, susah sekali ya, menjinakkan setan dari diri kita sendiri itu?). Yang bisa kuberikan untuknya hanyalah sebuah pelukan yang panjang dan erat, selama dan seerat yang aku bisa. Kulihat Jisung tersenyum, sebuah senyum penuh kelegaan.

Akhirnya aku menulis hal selain muntahan enggak jelas ini. Bukan cerpen, dan bukan juga puisi. Lebih tampak seperti prosa enggak jelas, yang kebetulan saja kutulis karena kepikiran Jisung. Apapun yang ada di dalam kepalaku, kutuangkan begitu saja di dalam selembar kertas. Setelah itu, setelah selesai menulis ini, kupikir aku akan memperbaiki cerpenku sebelum coba kukirimkan lagi ke majalah (kalau aku berhasil dapat keberanian ya, Changbin, enggak janji soalnya). Aku berpikir dan berpikir, berpikir selama menulis.

Terkadang, yang kita butuhkan untuk menghancurkan seluruh kebaikan yang telah kita berikan dan perlihatkan pada semua orang adalah sebuah hari yang buruk.

Hanya sebuah hari yang buruk.

(aku bilang begini karena aku tahu.)

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang