📝 entri kelima belas

719 177 7
                                    

Changbin, kesalahanku yang lain adalah enggak memeriksa KaTalk sejak grup kelas penuh dengan insiden Jisung.

Yang mana membuatku merasa bersalah karena begitu banyak pesan dari Kak Changbin yang kuabaikan. Dari chatnya, Kak Changbin berulang kali menanyakan kabarku (hanya kabar, aku sebenarnya lega juga Seungmin enggak keceplosan bilang kalau aku enggak bisa makan dan enggak bisa tidur di depan Kak Changbin saat yang bersangkutan menjengukku kemarin). Bagaimana ya menjelaskannya—ada suatu perasaan hangat yang aneh saat seseorang menanyakan kabarmu, saat seseorang mengingatmu. Ada yang peduli. Dan kau membekas di hati orang lain. Sayangnya, kubalas dengan kebohongan yang sama.

[ Aku baik-baik aja, Kaaak ]

Selesai.

Hari ini pembagian rapor. Sebelum masuk ke kelas masing-masing, Kepala Sekolah mengumumkan juara umum masing-masing angkatan. Seperti tahun kemarin, nama Kak Changbin disebutkan (dan aku bertepuk sekeras yang kubisa, pandangan kami bertemu dan kulihat, Kak Changbin di atas podium tersenyum padaku). Dan seperti tahun kemarin, aku pun disebut sebagai juara umum angkatanku. Kulihat Kak Changbin tersenyum penuh kebanggan. Kudengar semua orang bertepuk tangan bangga. Mungkin beberapa dari mereka bertepuk hanya untuk menyenangkan hatiku. Mungkin juga ada yang memang beneran kagum. Apapun itu, aku mendapati bibirku tersenyum kaku. Begitu banyak pujian yang kuterima hari ini tapi entah mengapa, aku masih merasa begitu buruk.

Salah satu temanku menghampiriku dan berkata padaku kemudian.

"Enak banget ya, jadi kamu."

Kupikir itu lawakan paling konyol sedunia, karena itulah aku tertawa kecil dan bertanya, "Kenapa?"

Kulihat ia tersenyum (yang membuat lambungku seakan jatuh), "Kamu juara umum angkatan. Kamu juga jago dance. Tulisanmu bagus banget, menang lomba di mana-mana. Kamu itu berbakat dan hebat, Lix. Siapa yang enggak mau jadi kamu?"

Aku enggak bisa bilang apapun, gantinya aku cuma senyum.

Ironi, saat semua orang ingin menjadi seperti kau, tetapi saat kau menatap bayanganmu di dalam cermin, yang pertama kali kau lakukan adalah menunjuk bayanganmu dan berkata, "Aku enggak mau jadi kamu."

Yang mereka lihat adalah Felix sang juara kelas, Felix yang pintar menari, Felix yang jenius dalam menulis. Yang kulihat adalah Felix yang meringkuk ketakutan, Felix yang memuntahkan isi perutnya karena ketakutan akan hal yang enggak jelas. Yang kulihat adalah Felix yang cacat, Felix yang buruk rupa. Aku enggak mau jadi buruk rupa. Aku enggak mau ketakutan tiap saat kayak gini. Aku enggak mau merasakan apapun berlipat-lipat daripada seharusnya. Aku enggak mau punya mood yang berpindah-pindah tiap detik. Aku sebenarnya ingin senang tiap aku dipuji, sangat ingin, tetapi pujian membuatku berkecil hati di saat yang sama, karena aku merasa aku enggak sehebat yang mereka pikir. Aku mau percaya dengan semua pujian yang diberikan padaku, enggak meragukannya seperti yang biasa kulakukan. Kenapa kalian semua ingin menjadi sepertiku sementara aku enggak mau jadi diriku sendiri?

Aku penasaran jika mereka melihat apa yang tersembunyi di balik kulitku, semua borok busuk itu, apakah mereka masih bisa bilang kalau mereka mau jadi aku?

Aku nulis begini karena yang kuterima di rumah adalah sebaliknya. Enggak ada ucapan selamat saat aku menyerahkan raporku ke ayahku. Beliau hanya menggelengkan kepala dan berkata kalau aku enggak serius tahun ini dengan segala kegiatan klub dan kepenulisan. Aku udah enggak ada tenaga lagi buat membantah, percuma juga dibantah, pada akhirnya mereka selalu menang dan tenagaku terbuang sia-sia, tiap tahun selalu begitu. Luka itu tertoreh lagi, dan seperti biasa, aku enggak mengobatinya. Kubiarkan luka itu membusuk, membentuk borok di balik lapis kulit. Sekarang kamu tahu kenapa aku selalu bilang kalau aku banyak boroknya, Changbin.

Kata mereka, nilai matematikaku dua angka lebih rendah dari tahun kemarin. Dan ini enggak bisa ditolerir kalau aku mau masuk SKY (sebenarnya aku enggak segitunya mau—tapi orang tua terkadang mikir kalau keinginan mereka sama dengan keinginan anak). Kata mereka, aku tetap harus di rumah, belajar dengan jam kayak biasanya tanpa peduli kalau liburan.

Bahkan di hari libur pun tetap enggak ada kebebasan buat aku.

Dan omong-omong, Changbin, aku melihat Jisung datang. Aku melihatnya berdiri tegak menerima rapor, seakan dia enggak lihat kalau semua tatap penuh kebencian dan ketakutan mengarah padanya. Ia tersenyum padaku. Kurasakan semua tatap itu pun mengarah padaku, tetapi entah kenapa, keberanian Jisung menular padaku. Aku balas tersenyum padanya. Aku bahkan memeluknya. Biarpun aku tahu kalau bom waktunya bisa menyakitiku—mungkin akan lebih parah lukanya dibandingkan yang ia berikan pada kakak kelas itu, aku tetap memeluknya dan ketakutanku entah kenapa terkubur sejenak.

Berani itu menyenangkan ternyata. Aku mau bisa berani lebih sering. Termasuk berani bilang pada orang tuaku kalau aku pun punya sesuatu yang dimau.

(nyatanya aku enggak bisa begitu, sayang sekali.)

//

btw lagunya billie eilish yang judulnya idontwannabeyouanymore itu felix di sini banget. silahkan dengar lagunya di multimedia atas ya :"D

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang