Mati.
Hal pertama yang kulakukan saat terbangun (iya, Changbin. Akhirnya aku tertidur juga) adalah memeriksa layar ponselku. Mengabaikan pesan tak terbaca yang dikirimkan Seungmin, jemariku langsung menggeser layar, membuka percakapan yang kubalas semalam. Jantungku seakan melorot dari rongga dadaku, bersamaan dengan perasaan mencelos yang aneh.
Sungguhan.
Pesan yang kubaca semalam. Pesan dari Kak Changbin. Pesan yang kubalas dengan mata setengah mengantuk itu sungguhan.
Aku kira aku mimpi karena, 1) Aku dan Kak Changbin baru berinteraksi sungguhan rapat kemarin—kecuali saat MOS, di mana aku yakin dia tak akan mengenaliku saat MOS kemarin, dan 2) Dari mana Kak Changbin mendapatkan ID KaTalkku? Kenapa? Untuk apa? Seingatku saat mengisi daftar hadir, tidak ada identitas media sosial dan nomor ponsel yang dicantumkan di sana.
Dan dari semua orang, kenapa harus aku yang diajak?
Aku belum bilang apa-apa ke Seungmin. Nanti aja, mungkin, kalau semuanya sudah selesai. Mungkin Kak Changbin salah chat (yang mana kayaknya enggak mungkin, jelas-jelas namaku disebut di situ). Mungkin juga Kak Changbin sebenarnya hanya mau bicara masalah pensi. Ini bukan kencan—bukan. Ini hanya pembicaraan soal kerja semata. Aku bilang begitu agar aku tenang, tapi nyatanya jantungku tidak berhenti salto di rongga dada sedari tadi.
Belum lagi hal pertama yang kulihat saat berada di koridor menuju kelasku adalah Kak Minho dengan senyum lebar dan mata mengedip.
"Semangat ya, kencannya."
SEKARANG AKU TAHU DARI SIAPA KAK CHANGBIN DAPAT ID KAKAOTALKKU.
Serius. Aku sampai tidak konsentrasi selama jam belajar karena kepikiran. Jisung sampai menatapku khawatir lagi, sampai nanya apa aku sembelit pagi-pagi (... serius, aku juga enggak paham kenapa harus sembelit). Dan saat jam makan siang tiba, dengan gagap aku minta izin ke Jisung untuk ke kantin sendirian. Enggak dengar gimana jawaban Jisung karena aku sudah keburu lari ke kantin.
Dan di kantin aku melihat Kak Changbin sudah duduk di sebuah meja, dengan dua porsi bimbibap dan dua minuman dingin. Sebelum aku melakukan apapun, Kak Changbin sudah menatapku dan tersenyum, mengisyaratkanku untuk duduk di hadapannya.
Ini sungguhan. Kak Changbin dan semesta enggak sedang bercanda.
Memang, aku suka—enggak, aku cinta—Kak Changbin, selama bertahun-tahun hanya bisa mengaguminya dalam diam. Selama bertahun-tahun, Kak Changbin selalu ada di dalam tulisanku. Tapi saat kami berdua bertemu dalam okasi seperti ini, hal pertama yang ingin kulakukan adalah berlari dari kantin, menjauh, dan kembali ke kelas. Lucu saat orang yang kau suka dapat memunculkan perasaan ingin kabur sejauh mungkin, seakan alam bawah sadar kita memperingatkan bahwa cinta adalah suatu bahaya besar. Itu juga alasan aku enggak mau berharap—terutama karena aku dan Kak Changbin sesama laki-laki. Mungkin juga karena sebelumnya aku tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah pacaran, pun teman-temanku juga tidak ada yang pacaran, jadi aku enggak pernah memikirkannya.
"Santai aja. Ini bukan soal pensi."
Seakan membaca kegugupanku, Kak Changbin tersenyum lembut. Aku mati-matian berusaha bertingkah kalau aku tidak sedang dicekik dari dalam.
"Maaf, Kak."
Kak Changbin tertawa. Sekali lagi, tetaplah tawa yang paling indah untuk kudengar.
Makan siang kami berjalan dengan lancar. Kak Changbin banyak bercerita dan aku lebih banyak mendengarkan—karena jujur, aku gugup sekali, aku enggak tahu mau memulai percakapan dari mana. Pun aku enggak kenal Kak Changbin sedalam itu untuk tahu semua kesukaannya. Dari percakapan ini, aku mengenal detil-detil tentang Kak Changbin. Kak Changbin senang olahraga, pun senang membaca—katanya ia pernah membaca novel pertamaku, yang judulnya Sebuah Janji (dan pipiku merona merah, maksudku, novel pertamaku tidaklah sebagus itu, ada begitu banyak kesalahan, aku bingung mengapa orang-orang menyukainya). Dan seterusnya, dan seterusnya. Sampai tak terasa, isi makanan kami sama-sama habis dan jam pelajaran sudah kembali dimulai.
"Kapan-kapan, kayak gini lagi, yuk?"
Keningku berkerut. "Maksudnya?"
Dan Kak Changbin tersenyum indah.
"Makan berdua kayak gini."
Aku terdiam. Mencoba menebak apa yang membuat Kak Changbin ingin bertemu denganku lagi. Aku bahkan tidak banyak bicara karena gugup dan takut, takut salah omong, takut Kak Changbin membenciku karena aku salah omong. Aku pikir Kak Changbin akan bosan bersama aku. Tapi jawabanku adalah mengangguk dan berkata.
"Boleh."
Bahaya. Aku terlalu senang. Terlalu senang sampai sekali lagi, Kak Changbin muncul di naskahku, lagi dan lagi. Terlalu senang sampai sekali lagi, aku memetakan Kak Changbin dengan aksara dan membuatnya abadi.
//
aku lupa cara nulis fluff—ini pun ditulis setelah meracuni diri sendiri sama lagu-lagu fluff bright punya twice. so please tell me what you think, is it fail or not? ;u;
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan felix. ✓
FanfictionHalo, Seungmin bilang kalau aku harus menulis sebuah catatan harian atau blog. Jadi, hai. Ini ceritaku tentang teman-temanku, dan tentang dia yang kucintai dalam diam. { bxb; changlix; high school au. cover © kimdoyomg }