Aku enggak bisa tidur gara-gara kepikiran Jeongin.
(tolong jangan sampai Seungmin tahu.)
Di kelas, Jisung menatapku cemas banget. Aku enggak bisa bilang. Tiap aku kepikiran buat cerita soal Jeongin ke seseorang, aku enggak tahu kenapa perutku langsung mual karena rasa bersalah. Sudah tiga tahun, Changbin. Sudah tiga tahun dan rasa sakit itu masih ada. Maaf, Changbin. Aku juga belum bisa cerita sama kamu soal Jeongin karena alasan yang sama.
Aku emang bukan orang yang mudah buat curhat ke orang lain. Dengan Seungmin pun, aku enggak bisa cerita semuanya. Tiap kali aku cerita satu masalahku ke Seungmin, di saat yang sama aku sembunyikan masalahku yang lain dari dia, biarpun masalah itu berkaitan. Curhat buatku itu seperti dikuliti hidup-hidup. Rasanya sakit. Aku mau nangis. Dan saat selesai pun, semua orang bisa lihat semua cacatku yang aku sembunyikan. Ada yang tahu borokku di mana, cacatku di mana. Dan itu ... mengerikan. Serem banget enggak sih, terlihat begitu transparan di depan orang itu? Orang bisa tahu kelemahanmu. Orang pun bisa tahu gimana buat serang kamu.
Terakhir kali aku curhat (dalam artian curhat semua isi hatiku tumpah) adalah sama Jeongin.
Dan sejak apa yang terjadi di antara aku dan Jeongin, aku pikir aku enggak akan bisa mempercayai siapapun buat pegang semua rahasiaku. Aku takut, Changbin. Aku enggak mau menyesal lagi. Terakhir kali aku meruntuhkan tembokku, akhirnya adalah Jeongin membenciku. Aku enggak akan kuat kalau aku dijauhi dan dibenci lagi oleh orang lain.
Lebih aman kalau aku menyimpannya sendiri. Dengan begitu, aku enggak akan pernah dibenci lagi. Atau aku tulis semuanya ke dalam cerpen atau bakal novelku (pembacaku enggak akan pernah tahu kalau aku lagi curhat). Atau cerita ke kamu. Kamu bisa jaga semua rahasiaku kan, Changbin?
Bicara soal rahasia, aku kenal satu orang yang enggak pernah menyimpan rahasia sama sekali. Namanya Hyunjin. Anak klub dance. Aku kenal dia sebagai orang paling terbuka sedunia. Dia enggak segan buat bilang dia sayang seseorang. Dia enggak segan cerita apapun yang mengganggu harinya ke siapapun. Hyunjin seperti orang yang berjalan telanjang di tengah balai kota, semua orang akan menatapnya aneh dan dia enggak keberatan sama sekali. Dia justru tersenyum, senang karena di mata dia, orang-orang mengenalinya dan dekat dengannya dari ketelanjangan.
Seperti tadi. Saat kami istirahat dari latihan, Hyunjin datang dan duduk di sebelahku. Saat itu aku sedang minum, sedang memikirkan hal lain tatkala ia berkata, "Aku sayang banget sana klub ini, Lix. Kau tahu?"
Yang mana sebenarnya bikin aku kaget juga. Enggak tahu aku mau jawab apa, tapi enggak enak hati juga membiarkan Hyunjin tidak direspon, jadi, "Aku juga, kok."
Hanya respon kecil dan seadanya. Dan Hyunjin tersenyum lebar sampai matanya menyipit karenanya. Aku kagum, bahkan dia senang karena hal-hal kecil sesederhana apresiasi.
Setelah itu aku memperhatikannya. Selama ini, Hyunjin selalu begitu ringan. Kupikir itu efek karena ia senang menari dan klub ini memfasilitasinya, atau karena ia punya teman-teman yang baik di sini. Kami saling menyayangi seperti saudara sendiri. Dan mungkin di dunia ini hanya kami seorang yang tahan ditempeli oleh Hyunjin terus-terusan----kau tahu, dia bisa menjadi begitu lengket jika ia dekat dengan seseorang.
Aku iri. Hyunjin begitu disukai karena terbuka. Hyunjin tidak pernah takut untuk terbuka. Kapan aku dapat semenyenangkan dan seberani Hyunjin?
Karena aku kebalikan dari itu semua. Aku heran mengapa Seungmin dan Jisung betah berteman denganku. Karena saat aku melihat cermin, yang kulihat hanya seorang anak lelaki dengan segumpal ketakutan. Seorang anak lelaki yang takut akan bayangnya dan kepalanya sendiri. Seorang anak lelaki membosankan. Memangnya siapa yang betah bertenan dengan orang yang membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan felix. ✓
FanfictionHalo, Seungmin bilang kalau aku harus menulis sebuah catatan harian atau blog. Jadi, hai. Ini ceritaku tentang teman-temanku, dan tentang dia yang kucintai dalam diam. { bxb; changlix; high school au. cover © kimdoyomg }