📝 entri kedelapan

922 220 3
                                    

Pensi semakin dekat, Changbin. Dan ujian semester lebih dekat lagi.

Aneh. Aku enggak pernah nulis tanggal di sini karena jujur, tanggal membuatku tidak tenang. Aku selalu diingatkan akan waktu yang terbuang percuma, akan waktu yang tersisa. Kalau ujian semakin dekat dan jika aku diam saja, aku akan tertinggal jauh. Maaf, Changbin. Orang tuaku selalu bilang begitu tiap kali aku malas-malasan, makanya jadi mendarah daging begini.

Lucu aja sih, aku parno sama deretan angka.

Omong-omong, hari ini aku makan siang lagi dengan Kak Changbin. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini rasanya aku tidak segugup itu (biarpun tetap, aku enggak bisa enggak canggung di depan Kak Changbin, uh). Obrolan kami enggak banyak karena Kak Changbin harus cepat, katanya demi mempersiapkan pensi. Sayang sekali. Tapi seenggaknya, aku tahu obrolan kami akan berlanjut di chat dan aku baru tahu kalau Kak Changbin benci selada. Tadi aku lihat, sebelum makan sandwich spesial kantin, Kak Changbin buang seladanya dulu baru makan. Saat aku memberanikan diri untuk bertanya, Kak Changbin bilang kalau dia memang benci sayur.

Lucu banget. Bikin ingat sama Olivia yang benci sayur.

Kali ini, aku enggak banyak cerita soal Changbin karena ada yang jauh lebih penting. Saat selesai di kantin, aku melangkah menuju kelasku. Dan di tengah jalan, aku melihat Hyunjin berdiri di dekat koridor kelasnya bersama satu pemuda lain—aku enggak kenal siapa, maaf. Tetapi yang jelas, suasana di antara mereka enggak mengenakkan sama sekali. Aku enggak berani lewat, jadi aku hanya berdiri di koridor dan mendengar sedikit percakapan mereka.

"Maaf, Hyunjin. Aku capek jadi bayangan kamu."

"Aku—aku enggak bermaksud—"

"Aku tahu, Hyunjin. Aku juga tahu kalau kamu itu baik banget, makanya banyak yang sayang sama kamu. Maaf ya, kita udah enggak bisa sahabatan lagi."

(atau begitulah kurang lebih, aku juga agak lupa detilnya gimana, intinya begitu yang jelas.)

Aku tetap membeku di tempatku—entah berapa lama aku berdiri, hingga Hyunjin menoleh padaku. Pemuda itu sudah berlalu dan aku melihat Hyunjin, matanya yang begitu terluka dan sakit.

"Hyunjin?"

"Felix? Sejak kapan di sini?"

"Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin, kok."

"Ngomong apa sih, Fel? Aku enggak apa-apa, kok."

Mataku bertemu dengan matanya. Matanya berdusta.

"Aku tahu gimana mata orang yang jauh dari 'enggak apa-apa', Jin."

Senyum Hyunjin perlahan luntur, berganti dengan tangisan. Aku memeluknya seerat yang aku bisa sebelum menuntunnya menuju ruang ganti di klub yang kosong. Di sanalah, Hyunjin duduk seraya bercerita. Ia dan Jinyoung bersahabat sejak SMP, tidak terpisahkan bagai dua biji kacang polong. Sementara Hyunjin dielu-elukan karena ketampanannya dan kemampuannya menari, Jinyoung adalah bayangan yang tertutup oleh kesuksesan Hyunjin. Ia tidak tahu itu hingga tadi siang, Jinyoung dengan tegas berkata bahwa ia lelah menjadi bayangan, bahwa ia ingin memutus ikatan persahabatan mereka karena tidak tahan lagi.

Sejujurnya aku enggak bisa menyalahkan Jinyoung. Dia insecure dan iri, tapi seenggaknya dia pemberani untuk bilang langsung ke Hyunjin. Tapi melihat luka yang ditorehkan Jinyoung kepada Hyunjin (yang selalu telanjang, yang segampang itu percaya), aku penasaran apakah yang dilakukannya ini sungguhan membuat Jinyoung lega.

Karena kupikir, memutuskan ikatan persahabatan yang lama itu terasa seperti pedang bermata dua. Kau pun akan kena.

"Kamu punya kita. Selalu." Aku mencoba menenangkan Hyunjin, "Ada aku, ada Kak Minho, ada Eric sama Kak Juyeon juga. Kamu enggak pernah sendirian."

Mendengarnya membuat Hyunjin tersenyum getir, "Aku tahu. Tapi rasanya sakit banget, Fel. Soalnya aku—aku enggak nyangka kalau selama ini Jinyoung mikir begitu. Aku enggak bermaksud—"

"Kalau hatiku sakit karena seseorang, biasanya aku nulis sampai jariku patah." Mendengarnya membuat Hyunjin tertawa dengan suara sengau. Dalam hati sebenarnya aku lega juga, biarpun sedang sedih, setidaknya Hyunjin masih bisa tertawa, "Hei, aku serius! Seungmin sampai marahin aku seminggu gara-gara itu! Kira-kira, apa yang kamu sukai dan enggak bakal bikin kamu stres?"

Kulihat kening Hyunjin berkerut tanda berpikir.

"... menari, kurasa?"

Kuulaskan senyum selebar yang aku bisa kepada Hyunjin.

"Makanya, menarilah."

Terkadang saat kita melakukan sesuatu demi kebaikan dan kesehatan jiwa diri kita sendiri, kita turut melukai orang lain dalam prosesnya. Itu enggak bisa disalahkan, karena insting manusia pada dasarnya adalah menjadi egois. Pada dasarnya kita akan mementingkan diri sendiri demi kebaikan kita sendiri. Dan terkadang, sebaik apapun kau mencoba menjadi orang baik, kau tetap akan menjadi racun di mata orang lain. Dan hal pertama yang akan kau lakukan jika terkena racun adalah pergi, mengobati dirimu, dan tidak akan mendekati racun itu karena bahkan kuda pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Itu adalah realita pahit yang kuketahui dari Jeongin, dikuatkan oleh kejadian Hyunjin ini.

Orang-orang sebenarnya adalah racun bagi satu sama lain.

Aku tahu itu. Tapi rasanya—aku enggak bisa enggak merangkul racun-racun itu. Karena aku percaya sesuatu yang racun buatku mungkin saja dipandang obat bagi orang lain. Yang perlu kulakukan adalah mencoba melihat dari perspektif lain dan menolong sebisaku. Misalnya ini, Hyunjin adalah racun bagi mantan sahabatnya itu, tapi dia adalah obat bagiku dan anak-anak klub lain. Atau Jisung yang dianggap racun oleh semua orang, racun yang enggak boleh kamu dekati kalau kamu enggak mau terkena ledakan. Tapi dia berusaha keras untuk menjadi obat bagi orang lain—misalnya bagiku.

Kalau Kak Changbin—aku enggak tahu. Aku enggak bisa bilang dia racun buatku, pun aku enggak bisa bilang kalau dia obatku. Karena aku senang bersama Kak Changbin, senang banget, tapi di saat yang sama, Kak Changbin membuatku takut. Takut kalau semua kebahagiaan ini akan berakhir. Takut kalau Kak Changbin pun berubah menjadi racunku. Karena enggak ada yang abadi, bahkan rasa senang (terutama rasa senang, aku tahu kalau rasa senang itu adalah hal paling cepat menyublim di dunia).

Karena itulah, Changbin. Aku bilang kalau aku banyak boroknya. Karena emang demikian kenyataannya. Jisung dan Hyunjin bilang kalau aku itu terlalu baik. Seungmin bilang kalau aku keras kepala, berdedikasi, dan polos. Padahal realitanya, aku enggak sebaik itu. Baca kan, tulisanku selama ini? Aku negatif, aku penakut, aku sebenarnya enggak yakin akan banyak hal tapi aku simpan semuanya rapat-rapat. Aku mudah iri. Kalau aku keluar dengan semua borok ini, dunia pasti akan menganggapku racun dan menjauhiku karena kenegatifanku menyedot habis energi positif semua orang. Dan tentu saja, semua orang yang iri auto-racun di mata dunia!

Dunia enggak boleh tahu.

Dan minggu depan, pekan ujian akan resmi dimulai. Aku enggak akan mengisimu selama pekan ujian, Changbin. Maafkan aku. Aku harus belajar. See you next time!

//

ini sebenernya udah lamaaaaa banget mau aku tulis sejak di twitter booming soal "berhenti temenan karena kamu bikin seseorang jadi bayanganmu". and actually, i am hurt seeing some comments. dan aku mutusin buat nulis soal itu, cuma belum dapet momentumnya. awalnya mau kukasih juga buat the great escape, tapi karena aku belum bisa nulis yang bikin degdegan sampai jam tidurku agak bener sedikit, makanya kutaruh di sini dulu :"D terakhir kali aku degdegan high aku enggak tidur soalnya hehe maafin my biological clock is indeed a mess :"D

sekali lagi, kamu bisa enggak setuju sama felix (terlebih soal ini, karena aku pikir ini tuh ranah abu-abu banget). i am sorry, it's almost impossible right now for me to think about happy stuffs (and psst, this book is not all happy and fluffy unfortunately). dan kayak kata felix, kesenangan itu adalah hal paling pertama yang menyublim :"D

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang