📝 entri kedelapan belas

649 175 16
                                    

Nyatanya, aku enggak bisa.

Aku cuma tidur beberapa jam dan bangun lebih cepat karena—gugup. Maksudku, ini bisa dibilang ajakan kencan, bukan? Aku enggak pernah kencan sebelumnya, naksir orang pun baru sama Kak Changbin. Yang aku tahu tentang kencan cuma sebatas berbasis karya fiksi. Bagaimana kalau nanti aku mengacaukan semuanya? Bagaimana kalau nanti Kak Changbin enggak jadi kencan denganku karena lihat aku yang masih pucat? Dan seterusnya, dan seterusnya, begitu banyak pikiran buruk di kepalaku dan perutku rasanya bergolak lagi.

Pagi ini aku muntah lagi habis sarapan, kayaknya karena aku terlalu gugup dan pikiranku mulai aneh-aneh lagi (gimana kalau Kak Changbin batalin jalan-jalannya? Gimana kalau Kak Changbin marah? Dan seterusnya dan seterusnya). Kayaknya. Dan yang paling menyeramkan adalah—aku lihat ada merah di bekas muntahanku.

Merah darah.

Aku memutuskan untuk pura-pura enggak tahu. Cepat-cepat kubersihkan agar enggak ketahuan siapapun. Dan setelah itu, dengan panik aku minum obat—iya, obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit itu hanya kuminum selama satu hari, seterusnya aku lupa. Mau makan saja lupa, apalagi minum obat? Jantungku berdebar, kuputuskan untuk tidak memikirkannya dan bersiap-siap. Kak Changbin bakal jemput aku sebentar lagi dan aku enggak boleh kelihatan lemas ataupun pucat.

Sayangnya saat aku keluar rumah, Kak Changbin menyadarinya (kalau aku enggak tidur, kalau enggak ada makanan yang bisa masuk ke dalam mulutku). Wajahnya tertekuk, tetapi akhirnya ia menghela napas.

"Mau makan siang aja sebentar?"

Aku enggak yakin aku bisa makan, tapi aku mengiyakan.

Kak Changbin bilang kalau rumah makan yang kami kunjungi ini adalah rumah makan paling enak sedunia. Tetapi saat aku mencium aroma makanan, aku teringat akan darah di muntahanku dan perutku teraduk-aduk lagi. Seperti sebelumnya di kantin, Kak Changbin selalu membelikanku porsi yang besar. Aku enggak enak hati karena pada akhirnya aku cuma sanggup makan beberapa suap—satu suap lagi, perutku bergolak, dan aku mengurungkannya.

"Makanmu emang dikit, ya, Fel?"

Aku menelan ludah gugup, "I—ya kak. Lagi kenyang aja."

Ia kemudian mengangguk mengerti dan tak bertanya lagi. Hening ini terasa mencekam dan aku enggak mau obrolan dari Kak Changbin berikutnya menanyakan tentangku, jadi aku mencari topik lain.

"Menurut Kakak—Jisung gimana?"

"Jisung emang salah. Tindakannya salah." Kulihat Kak Changbin berdeham, "Tapi memusuhi dia enggak bener juga. Kakak enggak tahu kenapa dia bisa begitu dan Kakak enggak mau berasumsi."

"Jadi, Kakak enggak benci atau takut sama JIsung?"

Kak Changbin menggeleng. "Enggak. Lagian aku percaya enggak ada orang yang sepenuhnya baik dan enggak ada orang yang sepenuhnya buruk. Mereka cuma—orang."

Aku beneran tambah jatuh cinta.

"Bener banget, Kak."

Aku menemukan sesuatu yang membuatku enggak punya pikiran untuk kabur jauh-jauh dari Kak Changbin saat mengobrol. Yaitu obrolan yang dalam. Hari ini aku tahu kalau Kak Changbin itu menyimpan begitu banyak hal di kepalanya, pun orang yang sangat baik. Ia bilang kalau ia ingin masuk KU, fakultas kedokteran. Sejak kejadian sang kakek pingsan dan meninggal di tempat sementara Kak Changbin tidak dapat melakukan apapun, ia membuang jauh-jauh alat musiknya dan mulai berfokus untuk menjadi dokter. Kak Changbin mengatakan kalau sejak itu, ia enggak punya hobi apapun. Belajar dan berorganisasi termasuk ke dalam kewajibannya, bukan hobi.

"Tapi, emang enggak ada satupun hal yang bikin Kakak seneng?"

Aku bertanya. Kak Changbin menjawab dengan tatapan teduh dan kalimat yang bikin debar jantungku makin menjadi-jadi (aku enggak mengerti kenapa Kak Changbin senang banget bikin aku deg-degan soalnya, sumpah).

"Kamu, yang bikin aku seneng."

Rasanya hatiku hangat banget. Begini ya rasanya saat tahu kalau kamu adalah sumber kebahagiaan seseorang? Mana yang bilang itu orang yang aku cinta. Rasanya kan—aku mau terbang.

Sayangnya hanya sebentar karena Kak Changbin bilang aku harus istirahat (dan pikiranku langsung mengarah ke, oh, aku harus nulis banyak-banyak hari ini). Aku tersenyum. Rasanya berat sekali saat melepas kepergian Kak Changbin. Mungkin karena selama liburan aku menghindari interaksi dengan beragam manusia, makanya saat ini, interaksi dengan Kak Changbin membuatku merasa dibutuhkan. Karena enggak peduli sejauh apapun kamu berlari, manusia tetaplah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Aku paham itu banget.

Baru kubaca surat Hyunjin saat aku pulang dan rasanya—entahlah. Aku sulit menggambarkannya tapi mari kita coba pelan-pelan: 1) Aku enggak tahu kalau Hyunjin baca bukuku karena, hei, dia enggak pernah bilang sama sekali!; 2) Aku enggak tahu kalau Hyunjin memandangku setinggi itu, kupikir dia buku yang terbuka, tapi bahkan buku yang terbuka pun masih menyimpan kejutan; 3) Aku enggak tahu harus gimana.

Iya, Changbin. Aku enggak tahu.

Hatiku sebenarnya hangat selama membaca surat dari Hyunjin. Jadi begini ya, rasanya disayangi? Jadi begini ya, rasanya saat kamu tahu kalau kamu pun berarti dalam hidup seseorang? Tetapi rasa hangat itu dengan cepat luntur berkat pemikiran lain: emangnya aku pantas? Hyunjin bilang begitu karena dia enggak tahu. Semua orang bilang begitu karena mereka enggak tahu. Makanya aku bilang kalau kebahagiaan itu hal yang paling cepat menyublim di dunia—bahkan kepalaku pun dapat melunturkannya sendiri, mereka serapuh gelas kaca. Aku tahu ada yang salah dari kepalaku tapi emangnya siapa yang bisa menolong?

Aku enggak tahu. Aku bahkan enggak tahu gimana caranya nolong diri sendiri.

Aku mau nulis. Aku mau nulis yang banyak malam ini.

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang