epilog.

1.2K 177 17
                                    

"TIDURLAH, FEL."

Adalah kalimat yang membuat gerakan jemari Felix terhenti. Ditolehkannya kepala dan dilihatnya Jisung, tersenyum dengan susu hangat di tangannya. Sahabatnya tengah berusaha untuk tidur dan menenangkan diri. Ada begitu banyak hal yang terjadi. Tetapi setidaknya di sekolah baru, Felix pikir, mereka telah menemukan kedamaian. Tidak ada yang takut pada Jisung, mereka justru menyambut Jisung dengan tangan terbuka. Tidak ada yang bergunjing jika Felix salah menjawab soal di papan tulis. Tidak ada yang menuntutnya untuk sempurna. Tidak ada. Sekalipun sesekali, ia merasa bahwa tuntutan itu masih menghantui—luka itu tidak akan bisa dihapus begitu saja. Semuanya suportif akan penyembuhan Felix, termasuk juga Changbin, kekasihnya, yang sering menanyakan keadaannya tanpa peduli kesibukan masing-masing.

"Bentar lagi. Aku masih nulis."

"Novel baru?" Alis Jisung terangkat. Felix mengangguk sebagai jawaban, "Buru tidur, gih. Nanti Seungmin ngamuk. Atau kamu lupa obatmu?"

Ah, ya. Obat. Obat untuk lambung. Obat untuk jantung. Obat untuk menenangkan kepalanya. Obatnya bertambah.

"Udah kuminum abis makan malam tadi."

Dan dirasakannya matanya mulai berat. Dua jemarinya menekan tombol ctrl + s, membiarkan aplikasi pengolah kata menyimpan ketikannya sedari tadi. Lajunya lambat, mengingat ia sudah tidak bisa lagi seenaknya membuang tidur di kolong lemari. Seungmin pasti akan mencekokinya dengan obat tidur dan Kak Wonpil pasti akan melaporkannya pada psikiaternya. Ia harus ingat, ia berada di sini demi proses penyembuhan selagi masalah di rumahnya belum kunjung menemui titik terang. Dan selagi ia mendapatkan ketenangan, ia harus menggunakannya sebaik-baiknya.

"Aku seneng, sejak kamu pacaran sama Kak Changbin, kamu mau ikut psikoterapi."

Bibir Felix mengerucut, "Bisa enggak sih, enggak usah bawa-bawa nama Kak Changbin?"

"Cieeee! Kupingnya meraaah!"

Jisung terbahak setelahnya sebelum pergi ke dapur. Beberapa menit lagi dan sahabatnya akan kembali dan mereka akan tidur. Felix (yang sebenarnya tidak begitu suka tulisannya diintip-intip orang) mematikan laptopnya dan bangkit dari meja belajar. Selagi ia merapikan kasurnya, kepala Felix sibuk merangkai plot untuk novel terbarunya. Ia pikir, akan lebih baik jika ia mulai menulis—dengan kecepatannya sendiri, sekaligus berlatih agar dapat mengerjakan sesuatu tanpa perlu takut dikejar-kejar. Tidak ada garis mati. Pun ini hanya ditulis agar ia sedikitlebih baik.

Novel terbarunya adalah tentang seorang gadis. Namanya adalah Carol. Carol yang dikenal cemerlang dan berbakat dalam apapun yang ia lakukan. Prestasinya bagus. Ia punya satu dua teman yang ia percaya dengan jiwanya—sekalipun ia sering takut berinteraksi dengan orang. Ia senang menulis, semua orang yang membaca tulisannya selalu mengatakan bahwa tulisannya bagus dan ia berbakat dalam bidang sastra (tidak salah, Carol memang suka sastra, seperti Felix). Tidak ada yang tahu bahwa Carol dilingkupi ketakutan tiap saat. Tidak ada yang tahu bahwa Carol teramat membenci dirinya sendiri. Ah, jangan terlalu mirip, mari tambahkan satu lagi: Carol sebenarnya ingin mati, tidak seperti Felix (sekalipun gagasan untuk mati itu entah mengapa memunculkan ketenangan batin tapi Felix belum ingin mati).

Carol dan Felix sama-sama memiliki lima huruf di dalamnya. Pas. Felix telah memutuskan sebuah nama.

(biarpun ia mengubah banyak, banyak hal untuk hidup Carol di dalam dunia fiksi—seperti misalnya, catatan harian penampung isi hati Carol hanyalah endapan-endapan cerpen dan puisi di akun blognya, dan Carol tidak bisa suka siapa-siapa,

juga tidak ada yang mau menyelamatkan Carol yang telah menyakiti semua orang terdekatnya sehingga ia mati membusuk bersama kesendiriannya dan dunianya yang mengerut.)

.

.

.

Malam itu, Felix bermimpi.

Ia berada di sekolah lamanya. Tersenyum pada Jeongin, Hyunjin, Seungmin, dan Jisung sebelum mereka pergi entah ke mana. Rasanya begitu tenang—kapan terakhir ia setenang ini? Felix berpikir bahwa mungkin, ini karena pengaruh obat yang ia minum sampai kepalanya setenang ini. Atau mungkin, ini karena pengaruh orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang menganggapnya sebagai komponen terbesar dalam hidup mereka. Orang-orang yang membantunya untuk sembuh. Orang-orang yang ia sakiti, yang ia takut sakiti lagi, tetapi persetanlah, ia masih ingin menyelamatkan orang biarpun tubuhnya pincang dan renta.

Dan ia melihat Changbin. Changbin yang perlahan-lahan melangkah mendekat. Changbin yang menepuk-nepuk puncak kepalanya. Changbin yang tersenyum lembut dan menunduk, mengecup ubun-ubun Felix penuh sayang.

"Kerja bagus, Lix." [***]

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang