📝 entri ketujuh

977 224 9
                                    

Selamat malam, Changbin. Aku mau memberitahukanmu dua hal.

1) Ternyata Jisung jatuh cinta.

2) Jisung jatuh cinta dengan kakak kelas yang sudah berpacar.

Serius. Aku juga baru tahu.

Pulang sekolah, Jisung mampir sebentar ke rumahku. Karena aku bilang kalau novelku sudah selesai dan sudah siap dikirim ke penerbit, dan aku mau Jisung membacanya terlebih dahulu sebelum aku mengirimkannya. Kepalaku enggak bisa dipercaya untuk memeriksa tulisan sendiri (karena tak peduli sebagus apapun aku menulis, kepalaku selalu bilang kalau ada yang salah, ada yang kurang, dan seterusnya dan seterusnya tanpa ada sisa). Terlebih, ini cerita tentang Jisung.

Dulu, saat aku bilang kalau aku buntu ide untuk novel terbaruku, Jisung datang sebagaimana para penyelamat dan bilang, "Tulis aja tentang aku!"

Dan kulakukan. Karena itulah, aku butuh bantuan Jisung untuk memeriksa.

Mataku terpaku pada Jisung yang membaca naskahku via layar komputer. Bahkan tiap gumaman pelan Jisung membuat jantungku hendak berhenti. Aku gugup, kau tahu, ada beban yang begitu besar saat kau menuliskan kisah hidup orang yang kau kenal. Kau dituntut untuk akurat. Kau dituntut untuk menulis hal-hal yang tidak menyinggung. Dan sesungguhnya, aku takut jika Jisung tidak berkenan atas interpretasiku terhadapnya.

Jisung tersenyum dan mengangguk. Di saat itulah, bebanku terasa berkurang separuh.

"Bagus banget, Fel. Sumpah. Kamu berbakat banget di nulis-nulis ini."

Sama seperti Kak Changbin, Jisung pun mengatakannya dengan senyum di wajah dan penuh kebanggaan (dan sekali lagi, aku tidak bisa mengatakan kalau pujian itu membuat perutku terasa seperti diaduk). Katanya, ceritaku sudah oke dan yang perlu kulakukan sekarang hanya tinggal mengumpulkan keberanianku untuk mengirimkannya menuju penerbit. Akan kulakukan setelah memastikan bahwa semuanya tersusun rapi, mungkin malam ini akan selesai jika aku membuka mataku lebih lama lagi.

"Oh, iya. Aku lupa bilang. Aku sebenernya udah naksir orang, loh."

Dan Jisung mulai bercerita. Ada seorang kakak kelas perempuan (... aku lupa siapa namanya, sepertinya aku tidak berkonsentrasi penuh) yang ia sukai sejak awal tahun ajaran. Gadis itu siswi pindahan, katanya orangnya adalah orang paling jelita yang pernah ia lihat. Ia baru tahu minggu kemarin, dan ia bilang kalau hatinya hancur tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih karena pacar kakak kelas itu (lagi, aku lupa siapa namanya, aduh, maafkan aku) adalah orang yang terkenal di sekolah. Sekalipun ada yang mulai menerima Jisung, aku tidak yakin bahwa semua orang melupakan dosa-dosa masa lalu Jisung. Dan tidak hanya Jisung, aku pun juga berpikir bahwa mengambil langkah mundur dan menjaga jarak adalah hal yang terbaik.

"Terus gimana?"

Jisung hanya mengedikkan bahu, "Ya aku—cuma bakal mastiin dia bahagia aja sama siapapun." Dan buru-buru ia menambahkan, "Jangan ditambahin ke novelmu, Fel! Kasihan pembacamu nanti kalau endingnya malah sedih."

"Loh, kok sedih? Bisa aja kan kalau aku bikin kamu jadian sama kakaknya di sana?"

Dan Jisung tersenyum getir.

"Enggak, terima kasih. Aku enggak mau pembacamu tambah benci sama aku karena aku ngerebut pacar orang."

Omong-omong, Changbin? Yang sedang kutulis ini adalah sebuah novel remaja. Tentang seorang pemuda yang ingin bebas dari segala tuntutan keluarganya untuk menjadi sempurna dalam semua hal (namanya tetap Jisung—tapi terpaksa aku ganti marga jadi—Park). Saat itu, ia memberontak. Ditambah dengan emosi meledak-ledak remaja dan rasa muak karena ia dianggap aneh hanya karena ia tidak mengikuti arus pergaulan. Pada suatu titik, ia akhirnya mulai mengganti penampilannya dan mendekati kelompok berandal sekolah. Ia melakukan apapun yang mereka lakukan, seperti merokok atau bahkan menghajar orang-orang demi kesenangan. Ia belajar untuk tidak meminta maaf saat menyenggol keras bahu seseorang di koridor. Ia belajar bahwa tiap hantaman ke daging seseorang itu memiliki efek sedatif yang jauh lebih baik dibandingkan nikotin. Nikotin membuat paru-parunya terbakar. Menghajar orang tidak.

Sampai suatu hari, ia jijik akan seorang korban yang benar-benar mirip dengannya di masa lalu. Hingga ia lepas kendali. Hingga ia menghajar korbannya hingga koma di rumah sakit. Didengarnya jeritan ibu sang korban, memanggil nama korbannya yang tidak akan mau ia ingat berkat rasa bersalah. Pemuda itu kemudian melihat kepada pantulan dirinya di cermin, menyadari bahwa ia telah berubah menjadi iblis. Sejak saat itu, pemuda itu berusaha keras untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. Ia meminta maaf biarpun segala permintaan maafnya tidak akan menyembuhkan luka yang ia timbulkan. Ia tetap memberanikan diri melangkah maju ke depan, biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan punya siapa-siapa lagi. Tidak ada yang ingin berteman dengan iblis, dengan dirinya yang telah dianggap sebagai bom waktu destruktif yang ditakuti (semua orang takut dengan apa yang tidak bisa mereka prediksi, aku mengerti). Ia tahu. Tapi apa lagi opsinya kini? Akan tidak bertanggung jawab jika ia memutuskan untuk bunuh diri sekalipun kepalanya berulang kali meneriakinya untuk mati. Ia belum berubah. Ia bertekad untuk berubah. Dan ia bertekad untuk membawa seluruh dosanya, memikulnya seumur hidup dan melangkah ke depan.

Pemuda itu adalah Jisung.

Iya, Changbin. Dulunya Jisung adalah seorang pembully.

Yang mana menjelaskan sekali mengapa di hari pertama masa orientasi, tidak ada yang mau mendekati Jisung—kecuali aku, di mana saat itu posisiku adalah tidak tahu apa-apa. Saat itu, Jisung menawariku separuh bekal makan siangnya dan tersenyum begitu lebar. Eric yang kemudian mendekatiku dan menceritakan sejahat apa Jisung. Saat itu aku enggak percaya. Masa orang seramah Jisung sejahat itu? Tapi setelah beberapa bulan, Jisung akhirnya menceritakan semuanya padaku seraya menangis. Dan reaksiku saat itu adalah memeluknya seerat mungkin.

Dan dari Jisung aku paham beberapa hal. Bahwa kesempatan kedua dan ketiga dan seterusnya itu memang ada. Bahwa tak peduli sebanyak apapun kau meminta maaf atas kesalahanmu, publik akan tetap melihatmu sebagai bom atom yang berdetik-detik siap meledak—meledak dalam bentuk kesalahan yang sama, atau lebih parah. Bahwa tidak peduli seberapa banyak kau meminta maaf, kau tidak akan bisa menghapuskan luka fisik dan batin seseorang. Dan bahwa saat ada masa di mana kau menyesal, kau tidak bisa melakukan apapun selain melangkah maju mencoba banyak kesempatan di masa depan.

Jisung bukanlah orang yang haus kuasa (ini yang kudapat dari kisahnya juga pengalaman sebangku dengannya, tidak ada orang haus kuasa yang akan menyeretku ke UKS saat aku butuh tidur). Biarpun ya, Jisung bisa dibilang meledak-ledak dan nekat. Aku enggak tahu apa Jisung menjadi baik karena merasa bersalah dan butuh penebusan dosa, atau karena memang niatnya adalah berubah menjadi individu yang lebih baik. Apapun itu, aku senang Jisung sekarang mulai punya banyak teman. Aku senang karena dia memang berubah menuju arah yang lebih baik.

Dari Jisung aku belajar jika semua orang berhak atas kesempatan kedua. Bahwa orang-orang dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik karena belajar dari kesalahannya. Sebagaimana Jisung yang belajar dari kesalahannya, sebagaimana Jisung yang tetap berani menghadapi kesalahannya, segala ketakutannya, dan terus melangkah ke depan.

Karena itulah, aku iri. Karena jika aku menjadi Jisung, aku tidak akan bisa seberani itu. Yang akan kulakukan adalah tenggelam di dalam penyesalanku sampai mati---tanpa bisa melakukan apapun.

Kebalikan nyata dari Jisung yang berani.

.

.

.

Oh iya, aku lupa sesuatu.

Sejak makan berdua kemarin (aku masih enggak mau sebut itu kencan karena---ya, aku enggak mau bermimpi terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit), Kak Changbin sering menghubungiku di KaTalk. Kami mulai berbagi banyak hal, biarpun masih canggung juga, tapi seenggaknya enggak secanggung waktu kemarin. Mungkin karena berkomunikasi via teks adalah hal yang lebih mudah untukku daripada bertemu langsung. Atau mungkin karena seiring waktu, aku mulai mengenal hal-hal trivial tentang Kak Changbin. Perlahan, kami tidak lagi asing dan rasanya menyenangkan.

Dan menakutkan. Kak Changbin semakin tersangkut di kepalaku.

Selamat malam, Kak Changbin. Mimpi indah ya! Maaf aku bilang di sini, aku enggak mau bangunin Kakak soalnya. Hehe. 

(dan aku enggak mau Kakak tahu kalau aku enggak tidur lagi.)

//

eunseoki keputer dan aku langsung putar haluan buat karakter jisung. hehe. maaf. aku secara personal lebih suka yang kayak gini :"D

to make it clear: 1) bullying is totally wrong and, 2) all i did is writing in felix's perspective based on his personality that i have set for this fanfiction. you can disagree at him :"D

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang