4. Bromance

916 153 130
                                    

Siapa yang tidak senang kalau bunga pemberiannya diterima dengan senang hati oleh seorang bidadari?

Sebut saja bidadari. Karena sosok Hong Jisoo sungguh manis dan lembut. Bahkan melebihi permen kapas yang dijual bebas di taman bermain. Seokmin benar-benar tidak menyangka kalau bunga yang ia beli di pinggir jalan sebelum berangkat kuliah, telah sampai di tangan Jisoo. Disambut dengan ceria pula.

Misinya kali ini sama sekali tak terasa seperti sebuah hukuman. Segala perintah yang diembankan oleh Wonwoo padanya malah menjadi anugrah terbesar yang pernah ada. Ya, memang. Wonwoo dan teman-temannya memang memiliki niatan jahat. Ingin menghancurkan persahabatan Jeonghan, Jisoo dan Minghao melalui perantara Seokmin. Ah, mengingat tugas utamanya, Seokmin rasanya hendak kabur saja. Supaya tidak dibebankan tugas licik seperti ini.

Bagaimana caranya Seokmin menghindari tugas dari Wonwoo? Mengambil tugas kedua? Melayani Mingyu? Kalau seperti itu, malah tidak ada bedanya dengan melakukan bunuh diri. Karena, laki-laki Kim itu sungguh layak disebut seorang malaikat pencabut nyawa.

"Bagaimana kalau aku buat surat perjanjian dengan Jisoo saja?" Seokmin bergumam pelan. Memandangi langit-langit kamarnya, terus berpikir. Seokmin sungguh tidak tega kalau harus menghancurkan persahabatan Jisoo dengan kedua sahabatnya. Gadis itu terlalu manis untuk dikerjai. "Aish! Aku akan mati kalau sampai ketahuan Wonwoo!"

Seokmin mengubah posisi rebahannya. Menjadi tengkurap, menutup muka dengan bantal. Bau iler. Biarlah. Ilernya sendiri. Tidak masalah. Suara notifikasi dari ponsel genggamnya membuat kepala Seokmin terangkat sedikit. Menilik ke sebelah kiri. Mendapati layar ponselnya menyala. Ponsel genggam yang kemarin sempat kehujanan. Syukurnya masih bisa menyala setelah dikeringkan.

Jun baru saja mengirimkan Seokmin sebuah pesan melalui aplikasi chatting. Meminta pemuda bangir itu agar segera datang ke kamarnya.

"Ada apa? Mendesak, kah? Kalau tidak, besok saja. Aku lelah," ujar Seokmin, sambil menekan tombol voice. Merekam suaranya, lalu segera dikirimkan pada Jun. Seokmin malas mengetik panjang.

pesan itu terkirim dalam hitungan detik. Langsung terbaca pula oleh Jun. Namun, Seokmin dibuat menunggu lama. Keningnya mengerut. Sudah satu menit, namun Jun belum juga mengirimkan balasan. Seokmin memutuskan untuk bangkit, mendatangi kamar mandi. Saking lamanya menunggu balasan laki-laki keturunan China itu, Seokmin jadi ingin pipis rasanya.

Begitu Seokmin menyelesaikan panggilan alamnya, barulah ia mendapati balasan Jun. Diterima dua menit yang lalu. Seokmin terbelalak mendengarkan voice note yang diterima.

"Tadi sore Mingyu mendatangi. Minta aku mengerjakan papernya. Ada tiga paper, dua titipan dari teman satu tim basketnya. Besok akan dikumpulkan. Tidak mungkin aku mengerjakan ketiga paper itu seorang diri, Lee Seokmin! Cepat ke sini, bantu aku!"

Dari suaranya saja, Seokmin bisa menebak bagaimana keadaan Jun sekarang. Rambut berantakan, wajah masam, perut keroncongan, juga badannya bau karena belum mandi. Semua kebiasaan itu Seokmin hapal, saking seringnya mereka mendapat tugas dadakan seperti ini.

Tentu saja Seokmin ikut kalang kabut dibuatnya. Ia tidak akan pernah bisa membiarkan Jun tersiksa seorang diri. Seokmin segera mengambil jaket juga laptopnya. Turun ke lantai lima. Untungnya mereka tinggal di goshitel yang sama. Hanya beda lantai. Seokmin tinggal di lantai sembilan. Dengan kecepatan kuda, ia berlari menuruni anak tangga. Lift sedang rusak sejak tadi pagi.

Benar saja. Kedatangan laki-laki bangir itu disambut oleh kamar Jun yang amat berantakan. Penampilan si pemilik kamar pun tak kalah karuannya. Jangan bertanya apakah dia sudah mandi ataukah belum. Seokmin memandangi Jun sambil menahan tawa.

Fùzá (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang