19. Karena Kamu Selingkuh!

796 146 64
                                    

Tidak menghubungi melalui sambungan telepon. Selain akan kurang efektif, namun juga kurang toleransi terhadap hati Seokmin sendiri. Seokmin butuh udara segar. Bertemu langsung dengan Jisoo, lalu mendengar suara lembut gadis itu secara langsung tanpa alat bantu apa pun, adalah pilihan terbaik dan wajib dilaksanakan sesegera mungkin.

Seokmin menanyakan jadwal kuliah Jisoo pada Jeonghan dan Minghao. Tentu tidak mudah. Keduanya mengajukan banyak syarat. Bukan syarat memberatkan hingga memperpanjang masalah seperti yang dilakukan oleh Wonwoo, namun lebih kepada syarat untuk mengamankan hati Jisoo. Jangan pernah membuat Jisoo menangis. Sekali saja membuat gadis itu meneteskan air matanya, mereka berdua tidak akan segan-segan mencincang tubuh Seokmin hingga menjadi perkedel kuda.

Tentu saja Seokmin tidak bermaksud demikian. Ia hanya ingin melihat Jisoo secara langsung. Melepas rasa rindu. Lalu menyampaikan satu hal penting. Hal yang telah lama ia pendam selama ia tidak bisa menghubungi Jisoo. Selain itu, tentu juga hendak menanyakan masalah yang disampaikan oleh Jeonghan dan Minghao sebelumnya. Hanya itu. Tidak mungkin akan membuat Jisoo menangis.

Seokmin menunggui gadis Hong itu di depan ruang kelas yang tengah ia ikuti. Ruang kelas yang sama dengan Hansol. Seokmin mengenakan topi untuk menyembunyikan identitasnya dari laki-laki berdarah New York itu. Paling tidak, supaya ia bisa langsung bicara dengan Jisoo. Tidak perlu harus menerima ejekan Hansol terlebih dulu.

Satu per satu mahasiswa dan siswi keluar dari kelas mereka, seiring dengan Dosen yang telah meninggalkan ruangan terlebih dulu. Dengan seksama Seokmin memperhatikan mereka. Segera menunduk begitu melihat keberadaan Hansol. Namun, Hansol tetap saja melihatnya. Kekhawatiran Seokmin terbantahkan detik itu juga. Hansol cuek saja. Bahkan menyapa Seokmin dengan mengangkat tangan, mengajak ber-highfive. Sudah seperti teman akrab. Seokmin memberi respon sekenanya. Begitu terkejut, bingung, juga kaku. Tidak lama, Jisoo menyusul keluar. Seokmin mencengkram pergelangan tangan gadis itu untuk mencegat kepergiannya.

Jisoo melonjak kaget. Seokmin melepas topinya. Tersenyum lebar.

"Bisa kita bicara?" pinta Seokmin.

Dilihatnya gadis Hong itu terdiam. Tidak memberi respon untuk beberapa saat. Namun setelahnya, ia melepaskan genggaman tangan Seokmin. Menggeleng pelan. "Aku sibuk."

"Ayolah, sebentar saja," bujuk Seokmin lagi. Tangan kekarnya kembali bertengger di pergelangan tangan Jisoo. "Ini sangat penting."

Selama mata mereka bertemu, Seokmin dapat mendengar rintihan kecil yang Jisoo kirimkan untuknya. Entah karena alasan apa. Jisoo membuang muka. Sadar posisi tangannya, Seokmin segera melepaskan. Mungkin rintihan tadi adalah akibat dari genggaman tangannnya yang terlalu kuat. Tanpa sadar telah membuat Jisoo kesakitan.

Nyatanya tebakan itu salah. Karena, meski Seokmin tidak lagi memegangi lengan Jisoo, gadis itu masih saja berteriak di dalam hati. Tidak jelas sejak kapan Seokmin memiliki kelebihan dapat membaca pikiran orang lain. Tapi yang pasti, hanya pikiran Jisoo yang dapat ia baca.

"Bicara di sini saja," ujar Jisoo, nyaris berbisik.

Seokmin mengitari sekitar. Seluruh mahasiswa dan siswi yang tadi berada di dalam kelas yang sama dengan Jisoo masih berada di sana. Memperhatikan interaksi mereka. Tentu. Gosip seputar hubungan mereka masih terasa hangat dan sedap untuk disantap.

Seokmin ragu. Takut gosip itu kembali mencuak ke permukaan. "Kamu yakin?"

Jisoo turut memperhatikan mereka. Dengan raut wajah hendak menangis, entah karena apa. Saat itulah Seokmin semakin tersadar. Ucapan Jeonghan dan Minghao benar adanya. Hong Jisoo yang sekarang berdiri di hadapan Seokmin, bukan seperti Hong Jisoo yang dulu sempat berbincang kecil dan juga bercanda dengannya.

Fùzá (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang