Happy reading...🍀 🍀 🍀
Seina's pov
Aku tidak tau harus apa. Yang aku rasakan sekarang adalah kekecewaan. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku mencintainya, aku menyayanginya, tapi kenapa kebersamaan kami terlalu banyak penghalang. Aku masih belum bisa bertatap muka dengannya. Sudah dua minggu kami belum bertemu. Lebih tepatnya, aku yang berusaha menjauh darinya.
Entahlah, apa yang aku lakukan ini benar atau salah. Aku cuma mau meminta penjelasannya, tapi kejadian itu membuatku sakit. Sudah cukup aku berdiam dan menangis.
Aku tersenyum saat seorang teman menyapaku. Dia Tio. Teman pria yang beberapa tahun ini dekat denganku. Hanya teman.
"Seina. Kamu ngapain di sini?" tanyanya saat melihatku duduk sendiri di taman samping kampus.
"Hanya menenangkan pikiran," jawabku.
"Maaf, bukannya ikut campur. Dua minggu ini, kamu jadi murung dan terlihat sedih. Apa ada masalah?"
Aku menatapnya dengan senyuman di bibirku. "Apa aku terlihat begitu, ya?"
Tio mengangguk, "Aku nggak suka lihat kamu seperti ini."
Aku tau, Tio menyukaiku. Dia pernah menyatakan perasaannya dulu. Tapi, aku punya lelaki yang aku cintai. Dan lelaki itu yang membuatku menangis sekarang.
"Aku nggak apa-apa, Tio. Mungkin cuma bosen aja."
"Kalau bosen, kita jalan yuk? Aku mau ajak kamu ke tempat yang bikin mood kamu baik," usulnya.
"Boleh. Kapan?" tanyaku. Dia tersenyum senang karena aku mau ikut dengannya.
"Nanti setelah kelas selesai, gimana?"
"Bisa."
"Yes! Ya udah, kalau gitu aku ke perpus bentar ya? Nanti aku jemput kamu lagi."
"Iya," jawabku singkat. Aku melihat Tio pergi sampai tidak kelihatan lagi. Aku beranjak dari dudukku, tapi langkahku mendadak berhenti karena Aryo tiba-tiba memanggilku. Kenapa dia bisa di sini?
"Seina!"
"Aryo. Ada apa?"
"Lo ke mana aja? Nggak pernah ikut ngumpul lagi?"
Ya memang, selama dua minggu ini aku belum mau ketemu Arnan dan teman-temannya. Aku menghindar darinya.
"Aku sibuk. Maaf ya?" ucapku setenang mungkin. "Yo, aku harus ke kelas."
Aryo menahan tanganku. "Nando nyariin lo, Sei. Kalau ada masalah, kalian harus cerita. Kelarin semuanya."
Apa Aryo tau kalau aku lagi marah sama Arnan?
"Kamu ngomong apa sih, Yo?" elakku. Aku melihatnya menghela nafas, sambil mengusap wajahnya.
"Gue tau kalian ada sesuatu. Dari kemarin, Nando kayak orang bodoh, nggak ada semangat sama sekali. Bahkan di saat kerja, dia sibuk melamun, sampai salah buat minuman pelanggan."
Apa dia semenyedihkan itu? Aku menunduk, berusaha menahan air mataku agar tidak turun.
"Seina, gue sayang sama kalian. Gue sebagai sahabat kalian, merasa nggak berguna di saat kalian saling menyakiti. Gue cuma mau liat Nando bahagia. Lo nggak tau, gimana sepinya Nando tanpa sosok ayah di hidupnya. Dia ditinggal sama ayahnya, dan menikah sama wanita lain, yang nggak lain nyokapnya Qiandra." Pernyataan Aryo membuatku terkejut. Aku tidak pernah tau kalau Arnan ditinggal ayahnya.
Setiap aku ke sana, mereka cuma bilang kalau ayahnya sedang bekerja.
"Tapi dia nggak pernah cerita," ucapku.
"Dia nggak mau membuka luka itu, Sei. Dia sering cerita ke gue, kalau dia iri sama kami yang punya keluarga utuh. Dia juga cerita, kalau dia kangen sama gadis kecilnya, yaitu lo, Seina."
Air mataku meluncur begitu saja.
"Tapi aku kecewa sama dia."
"Apa yang dia lakuin emangnya?"
Aku menyalakan ponselku, lalu memperlihatkan foto Arnan dan Qiandra waktu itu. Terlihat jelas bagaimana terkejutnya Aryo melihat itu.
"Nggak mungkin, ini pasti jebakan," ucap Aryo.
"Aku liat dengan jelas, Yo. Mereka di kamar hotel. Seperti yang kamu liat."
"Sei, tapi-"
"Udah lah. Lagian dia nggak pernah cari aku, kan? Buat apa lagi," potongku dengan cepat. "Aku pergi dulu."
"Seina!" Panggilan Aryo aku abaikan. Aku terus berjalan, menjauh dengan air mata yang menyebalkan ini. Entah itu jebakan atau bukan, yang jelas aku melihatnya tanpa sensor. Aku melihat mereka yang saling menikmati. Aku benci mengingat itu.
*Pov end*
**
Setelah Aryo berbicara dengan Seina, dia menuju fakultas Nando. Aryo sedikit berlari dari parkiran agar cepat sampai. Sesampainya di kelas Nando, terlihat banyak orang di sana.
"Permisi. Ada yang liat Nando?" tanya Aryo pada salah satu pria di sana.
"Tadi kayaknya dia ke arah rooftop. Coba cari aja."
"Makasih." Aryo langsung mengarahkan langkahnya menuju rooftop gedung ini. Dia sedikit kelelahan saat menaiki tangga yang lumayan itu. Dan benar saja, Nando di sana. Terlihat pria itu duduk dengan penampilan berantakan, serta sebatang rokok diselipan jarinya.
"Sejak kapan lo merokok?" tanya Aryo sambil mengatur nafasnya.
"Kemarin," jawabnya tanpa menoleh.
"Lo bergaul sama siapa? Selama gue sahabatan sama lo, baru kali ini lo ngerokok. Jangankan nyentuh rokok, minum yang bersoda aja lo nggak suka," sindir Aryo. Nando memang tidak suka minuman bersoda. Katanya itu akan membuatnya tidak sehat. Tapi bagaimana dengan rokok itu?
"Gue pengen," ucapnya sambil menghisap rokoknya sampai asapnya melayang di udara. Aryo masih berdiri sambil menatap tajam Nando yang terlihat santai tapi kacau.
"Lo merusak diri sendiri. Lo nggak kasian sama Seina, kalau dia tau dia bakalan marah sama lo."
Nando tersenyum dengan terpaksa.
"Dia bahkan menjauh dari gue. Padahal gue nggak tau kesalahan gue apa."
"Kesalahan lo itu banyak. Lo merokok, lari dari kelas, dan lo tidur sama Qiandra." Aryo mengucapkan semua kekesalannya. Nando terlihat terkejut, lalu menatap Aryo bingung.
"Maksud lo apa?" tanya Nando.
"Lo nggak sadar? Seina tadi nunjuki foto lo sama cewek itu lagi ciuman. Dan dia ngeliat secara langsung, kalian di kamar hotel, man!" kali ini Aryo geram. Nando berdiri sambil membuang rokoknya.
"Jadi?"
"Iya. Lo pasti dijebak sama cewek ular itu. Kenapa lo nggak sadar sih? Lo bego banget!" omel Aryo.
"Sialan! Gue emang waktu itu di hotel, kepala gue sakit. Tapi gue nggak bisa mikir sejauh itu. Gue-"
"Dia butuh penjelasan lo. Temui dia, jangan sampai dia pergi cuma gara-gara masalah ini. Gue yakin, ini rencana Qiandra buat kalian berantem." Aryo menepuk bahu Nando.
"Gue akan kasih cewek ular itu pelajaran. Di mana Seina?"
"Gue nggak tau. Tadi gue ke fakultas dia cuma bentar, setelah itu dia pergi." Tanpa permisi, Nando langsung meraih tas dan berlari meninggalkan Aryo yang sedang memberinya umpatan.
"Dasar bocah! Kudu gue apa yang jadi orang ketiga, eh bukan deng, jadi mediator!" Aryo terkikik sendiri sambil menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kembali (Selesai)
Подростковая литература*** Yang pergi pasti akan kembali. Entah itu benar atau itu hanya sebuah kata penghibur. Setiap orang pasti pernah merasa kehilangan. Apalagi jika kehilangan seseorang yang berharga. Rasanya seperti mimpi di siang bolong. Kenyataan pahit yang mungki...