"Sekeras apa pun menyimpan kenyataan, suatu hari akan terpaksa untuk berkata yang sejujurnya"🍀 🍀 🍀
Qiandra's pov
Udah lama gue nggak ketemu Nando. Semenjak dia lulus SMA, gue susah nemuin dia. Sekalipun gue ke tempatnya kerja, dia nggak ada di sana. Setahun yang lalu gue lulus SMA. Dan sekarang gue kuliah, tapi di kampus yang beda sama Nando. Hari ini gue di rumah bareng nyokap dan bokap gue.
Kami membuka obrolan ringan. Tapi karena gue yang kelewat galau, gue curhat ke bokap. Kami duduk di ruang santai, ditemani secangkir teh hangat.
"Kenapa Sayang? Kok cemberut gitu?" tanya bokap gue.
"Pa, aku boleh curhat nggak?"
Papa terkekeh, "Boleh dong. Mau cerita apa?"
Gue menatap lurus bokap yang duduk di samping gue. Sedangkan nyokap ada depan kami.
"Aku udah lama suka sama cowok. Tapi dia orangnya cuek, bahkan dingin banget, Pa."
"Sejak kapan?"
"Sejak SMA. Aku udah coba segala cara cuma cari perhatian dia. Tapi, aku sama sekali nggak dianggap."
Papa mengelus rambut gue.
"Mungkin dia sudah punya yang lain. Lagian buat apa kamu mengharap pria seperti itu. Masih banyak pria di luar sana, yang tentunya bisa bahagiakan kamu, Nak.""Pa, tapi dia itu beda. Dia itu nggak sama kayak cowok lain. Entah kenapa, Qiandra pengen banget masuk dalam hidupnya," jelas gue.
Mama kemudian pindah duduk di samping gue sambil mengelus bahu gue.
"Nak, kalau kamu paksa dia, belum tentu dia mau. Yang ada kamu yang sakit, Sayang."
"Siapa namanya?" tanya Papa.
"Arnando Firdaus," ucap gue.
"Kamu nggak salah nama?" Gue liat ekspresi Papa kayak kaget gitu.
"Nggak. Papa kenapa?" tanya gue bingung. Papa menarik nafas, lalu menatap gue serius.
"Nak, kamu nggak bisa jatuh cinta sama dia."
"Maksud Papa apa? Aku nggak ngerti?" gue semakin bingung dengan ini semua.
"Dengerin Papa, mungkin ini sedikit terlambat. Tapi, Papa harus bilang kenyataannya."
"Mas, kenyataan apa sih maksud kamu?" Kali ini Mama angkat bicara.
"Pria yang kamu cinta itu sebenarnya anak Papa dari pernikahan terdahulu."
Gue menatap Papa nggak percaya. Ini bohong, kan?
"Nggak mungkin. Papa bercanda, nggak lucu, Pa!" gue tertawa nggak percaya.
"Mas, coba jelaskan yang sebenarnya," suruh Mama.
"Maaf untuk ini. Tapi ini yang sebenarnya. Arnando itu anak Papa, anak yang Papa tinggal untuk memilih kalian. Anak yang membenci Papa setelah kejadian itu." Terlihat wajah Papa muram sekarang.
"Tapi kenapa Papa nggak ngakui waktu itu kalau Papa kenal sama dia?" Ya, beberapa tahun lalu gue nggak sengaja ketemu Nando. Dan Papa bilang nggak kenal sama dia.
"Papa takut kamu kecewa. Dan itu bukan waktu yang tepat. Kami bertemu tanpa sengaja."
"Mas! Tapi kenapa kamu diam aja. Lihat sekarang, putriku suka sama anak kamu itu!" Mama terlihat marah. Sedangkan gue cuma diam.
"Maafin aku. Tapi aku udah nuruti permintaan kamu, kan? Aku nurut untuk menceraikan istriku, dan meninggalkan anak-anakku tanpa kasih sayang ayahnya."
"Aku tau, Mas. Dan jangan bilang kamu menyesal?"
"Nggak. Aku nggak menyesal sama sekali. Aku mencintai kamu dan aku sayang sama Qiandra. Aku akan lakuin apa pun untuk kalian, asal kita bisa bersama." Kemudian Papa menggenggam tangan gue. "Papa tau yang terbaik buat kamu. Lepasin dia, lupakan dia, Sayang. Biarkan dia bahagia. Dia sudah cukup menderita tanpa kehadiran Papa."
Gue menepis tangan Papa, kemudian berdiri.
"Aku cukup kaget dengan semua fakta ini, Pa. Tapi maafin Qiandra, kalau untuk permintaan Papa, aku nggak bisa. Aku nggak akan lepasin dia. Toh, kami bukan saudara kandung, jadi apa salahnya kalau kami menikah," jelas gue.
"Qi, dengerin Mama." Mama narik tangan gue.
"Mama juga mau bilang kayak yang Papa minta? Nggak akan, aku nggak akan berhenti. Sampai kapan pun, aku cuma mau Nando. Meskipun aku harus lakukan hal licik sekalipun," gue tersenyum miring. Mama menampar gue saat itu juga. Beliau keliatan marah dengan ucapan gue.
"Mama nggak pernah mangajarkan kamu menjadi penjahat, Qi!"
"Sekarang Mama lebih bela Papa? Mama nggak pernah nampar aku, loh. Tapi sekarang, Mama nampar aku di depan Papa," ucap gue dengan sinis.
"Qiandra!" bentak Mama.
"Ma! Sudah cukup, kalian tidak seharusnya bertengkar!" ucap Papa dengan tegas.
"Kami bertengkar juga karena Papa. Aku mohon, biarkan aku mendapatkan apa yang aku mau. Asal kalian tau, aku nggak suka pengekangan!" gue langsung pergi ke kamar dengan membanting pintu. Mama yang teriak manggil gue, sama sekali nggak gue pedulikan.
Gue berdiri di depan cermin rias. Senyum gue mengembang saat menatap foto Nando. Foto itu gue ambil diam-diam saat dia di taman dengan earphone di telinganya. Nando. Entah kenapa gue tertarik sama cowok kayak dia. Padahal kata-kata dari bibirnya pedas. Bahkan dia menganggap gue sebagai pengganggu. Tapi, gue nggak pernah tersinggung sama sekali. Gue malah semakin tertantang dengan sikap dia yang dingin.
"Sampai kapan pun, aku akan mengejar kamu. Aku nggak rela kamu jatuh ke pelukan perempuan itu. Tunggu aku, sayang. Aku akan buat kejutan buat kamu."
Gue mencium foto itu, kemudian meletakkan kembali ke tempat semula. Sudah cukup gue diam aja. Gue harus bertindak secepatnya. Kalau gue nggak bisa dapetin Nando, begitu juga perempuan itu nggak boleh sama Nando.
He is mine!
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kembali (Selesai)
Ficção Adolescente*** Yang pergi pasti akan kembali. Entah itu benar atau itu hanya sebuah kata penghibur. Setiap orang pasti pernah merasa kehilangan. Apalagi jika kehilangan seseorang yang berharga. Rasanya seperti mimpi di siang bolong. Kenyataan pahit yang mungki...