"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Entah itu berpisah hanya sementara, atau selamanya. Seperti aku dan kamu yang sedang baca ini"_Arnando dan Seina_
😔 😔 😔Aku mengajak Seina ke danau yang 'dulu' menjadi tempat favoritku. Sudah lama aku tidak pernah ke sana lagi. Terakhir ke sana, itu dulu saat kejadian itu. Untuk mengingatnya membuatku sangat sangat malas. Lebih baik tidak usah aku ceritakan, sakit rasanya membuka kenangan lama.
Kami baru tiba di danau, lalu membantu Seina turun dari motor. Aku menariknya menuju dermaga kecil yang terbuat dari susunan kayu. Tidak ada yang berubah dari tempat ini, masih sama seperti beberapa tahun lalu. Tapi bedanya, tempat ini jadi tempat para muda-mudi kencan, meskipun tidak begitu ramai, sih.
"Kamu tau dari mana ada tempat ini?" Seina bertanya padaku tanpa menoleh. Sepertinya dia benar-benar menyukai tempat ini.
"Udah lama, semenjak SMP. Tapi nggak pernah lagi ke sini."
"Kenapa?"
Aku menggeleng lalu tersenyum tipis. "Ada masalah setelah kamu pergi."
"Arnan."
"Nggak apa-apa Sei. Udah kebal aku-nya." Dia menyentuh bahuku.
"Cerita aja sama aku, tapi kalau kamu nggak mau, jangan. Aku cuma mau hati kamu nggak ada dendam lagi."
"Aku nggak dendam, cuma butuh waktu untuk memaafkan."
"Kamu pasti bisa." Dia menyemangatiku, ya walaupun aku tidak yakin kalau aku bisa.
"Ayo teriak," ajakku.
"Di sini?"
"Iyalah."
"Malu, ih."
"Ngapain malu? Orang kita nggak ngapa-ngapain kok," sahutku. "Biar hati kamu plong."
Dia tampak berpikir dulu, kemudian mengangguk setuju.
"Kamu duluan," suruhnya. Aku berdiri di tepi dermaga sambil menarik nafas lebih dahulu.
"Aaaaaaaaa!!!" Aku berteriak sekuat tenaga, melepas beban di hati yang masih janggal kurasakan. Kemudian aku mempersilakan Seina. Dia melakukan hal yang sama sepertiku.
"Aaaa!!!" Suara lembutnya membuatku terkekeh.
"Kecil banget suaranya?" tanyaku.
"Ini kamu bilang kecil? Ish! Aku udah keluarin suara aku semua loh." Dia mendengkus.
"Sini, teriak bareng aku. Hitungan ketiga, ya?" Dia mengangguk mengambil ancang-ancang. "Satu, dua, tiga!"
"Aaaaaaaa!!!" Suara kami menyatu. Hingga air mataku menetes begitu saja. Kenapa aku jadi melo begini, sih?
Seina memelukku ketika melihatku menangis tanpa suara. Pelukan itu kusambut dengan erat. Menumpahkan tangisanku dalam dekapan hangatnya, membuatku nyaman dan tenang.
"Lega?" tanyanya setelah pelukan kami lepas. Aku mengangguk, kemudian menyuruhnya duduk. Seina langsung melepas sepatunya, kemudian kakinya dimasukkan ke air. Aku mengikuti caranya. Air yang dingin membuat kakiku terasa lemas dan segar.
"Arnan," panggilnya. Aku hanya menoleh. "Kalau nanti kamu menikah, kamu pengen punya anak berapa?"
Aku sedikit mengerutkan kening mencerna sejenak ucapannya. Kemudian tawaku langsung keluar. Astaga!
"Kok ketawa? Apa yang lucu coba!"
Aku menghentikan tawaku. "Nikah ya, sama aku? Nanti kita buat anak banyak, biar bisa main bola. Kayak itu loh, guntur-guntur itu."
Seina memukul tanganku gemas. "Halilintar, Sayang."
"Nah, itu maksudku, sama aja. Sama-sama geledek," ucapku tidak mau kalah.
"Serah deh!" Waduh dia ngambek. Aku berdehem untuk menarik perhatiannya.
"Sayang." Dia bergumam pelan. "Serius nih aku mau nanya loh."
"Apa?"
Aku ragu. Sebelum bertanya, aku meneliti wajahnya yang selalu membuatku rindu.
"Kamu mau nggak nikah sama aku?"
"Nggak mau!"
Nyes! Jantungku rasanya kayak gimana gitu. Langsung deg-degan. Ditolak mentah-mentah!
Aku langsung terdiam sambil menunduk tanpa berani menatapnya. Entah dia bercanda atau tidak, penolakan darinya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Hingga beberapa detik suaranya kembali terdengar.
"Kenapa diam?" tanyanya tenang, tidak seperti aku yang sudah hilang semangat. Aku menggeleng. Kemudian tangannya mengangkat daguku, hingga tatapan kami bertemu. Senyum tipis tercetak di bibirnya yang mungil. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku yang bingung hanya memejamkan mata. Mungkin saja dapat ciuman, jadi harus siap-siap.
"Maksud aku, nggak mau nolak untuk nikah sama kamu," bisikan itu membuatku melebarkan mata seketika, kemudian mendorong tubuhnya agar aku bisa melihatnya.
"Coba ulang," suruhku. Aku tidak salah dengar, kan?
"Aku mau menikah sama kamu."
Dia nerima aku? Alhamdulillah, kok aku bahagia banget ya? Hahaha.
"Serius?! Demi apa?!"
"Demi kita."
Aku langsung menariknya dalam pelukanku. Rasa bahagia berkali-kali lipat sedang aku rasakan saat ini.
"Tapi, kamu harus kerja dulu. Kalau kamu udah mapan, datang ke rumah, minta restu dari papa sama mama, gimana?" tantangnya.
Aku setuju. "Iya, pasti. Kamu tunggu aku, ya? Janji jangan pergi. Awas aja kalau kamu cari yang lain," ancamku sedikit bercanda.
"Kamu bakal ngapain kalau aku cari yang lain?"
"Aku culik, terus aku bunuh aja kamu," bisikku. Dia melotot karena terkejut. Ancamanku sadis tidak, sih? Tidaklah ya?
"Jahat kamu! Terus kalau aku mati, enak kamu dong?"
"Kamu mati, aku ntar terjun dari tower. Atau kalau nggak nyelem ke laut biar di makan ikan paus aja," jawabku ngawur. Membayangkannya saja membuat aku ngeri sendiri.
"Ribet banget kamu mau mati. Minum baygon aja, sih."
"Ah, kalau cuma baygon, cepet diselamatkan. Ntar aku hidup lagi loh."
"Mmm ... Oh kalau gitu, kamu bekap diri kamu pakek bantal. Dijamin deh, nggak bakal selamat."
"Ide kamu boleh juga tuh." Lah, kok, pada bahas trik untuk mati cepat?
"Udah, ah, ngapain ngomong itu coba. Ayo ikut aku." Aku mengalihkan pembicaraan, lalu berdiri sambil mengulurkan tangan untuk Seina.
"Mau ke mana?" tanyanya yang penasaran.
"Ke mana kamu mau, aku siap antar kok."
Dia langsung mencubit pinggangku sambil terkekeh. Ah, Sei, kamu makin cantik.
"Hari ini kita habiskan waktu berdua. Bawa aku ke mana kamu mau. Aku kangen sama kamu," ucapnya. Aku tersenyum, semangatku semakin meningkat saat Seina merespon ajakanku. Aku akan membawanya ke suatu tempat di mana nantinya akan menjadi tempat favorit. Tempat favoritku, Seina, dan anak-anakku nantinya. Tempat yang bisa kuukir menjadi kenangan, dan bisa aku ceritakan pada anak-anakku kelak. Terima kasih Ya Allah. Engkau telah memberiku kepercayaan untuk mencintai dan menjaga seorang wanita titipanmu. Ridhoi kami di setiap langkah kami Ya Allah. Amin.
❇❇❇
🙌 🙌 🙌
Alhamdulillah kelar. Makasih yang udah mau simpan cerita ini di library wp kalian yang mana cerita ini masih jauh dari kata bagus dari yang lain.
Sekali lagi terima kasih, pahami karena ini sekedar hiburan pelepas penat. Petik amanatnya juga.
Semoga bisa ketemu lagi.
Nulis sistem ngebut!! ;-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kembali (Selesai)
Novela Juvenil*** Yang pergi pasti akan kembali. Entah itu benar atau itu hanya sebuah kata penghibur. Setiap orang pasti pernah merasa kehilangan. Apalagi jika kehilangan seseorang yang berharga. Rasanya seperti mimpi di siang bolong. Kenyataan pahit yang mungki...