46|She's gone

294 5 0
                                    


"Ya Tuhan, jika boleh aku meminta sesuatu dari-Mu sekali lagi, izinkan dia kembali padaku. Namun jika Engkau punya rencana lebih baik untuknya, bantu hati hamba untuk melepasnya pergi dengan-Mu"

_Arnando Firdaus_


❇❇❇

Nando's pov

Setelah dari rumah sialan itu, aku kembali ke rumah sakit, berharap mendengar kabar bahwa Seina telah siuman. Saat aku tiba di depan pintu, aku memutuskan untuk menemuinya. Kedua orangtua Seina masih di sana, aku melangkahkan kakiku mendekat walau rasanya berat sekali. Mereka melihatku saat aku datang, kemudian mereka membiarkanku di sini dan mereka keluar dari ruangan. Aku berdiri di ujung ranjang, menatap Seina yang terbaring dengan lemah.

Tanpa terasa air mataku menetes tanpa permisi. Katakanlah jika aku cengeng, namun aku bisa apa jika mengalami keadaan seperti sekarang. Aku berdoa pada Tuhan, aku hanya ingin dia kembali meskipun bukan untukku, setidaknya dia berjuang untuk dirinya dan orang tuanya. Aku tidak menyangka jika semua ini terjadi. Rasanya begitu cepat hingga aku tidak bisa menikmati waktu bersamanya. Aku merindukannya, sangat. Ya Tuhan, kembalikan dia. Aku bukan lelaki kuat jika wanita yang aku cintai pergi.

Jika bisa aku memutar waktu, aku ingin menggantikan dia yang terbaring di sini. Tapi percuma, semua telah terjadi sekarang. Aku menggenggam tangannya yang dingin. Wajahnya pucat dan itu membuatku semakin sesak. Aku mencium tangannya berkali-kali, berharap Seina merasakannya. Lama kupandangi wajah cantiknya, namun tidak ada tanda jika dia akan bangun. Hanya suara mesin detak jantung yang berbunyi memenuhi ruangan ini.

"Arnan?" Aku mendengar Seina memanggilku. Saat aku membuka mata, hidupku seakan ada harapan melihatnya kembali. Saat aku ingin memanggil dokter, dia menahan tanganku.

"Sei, aku panggil dokter dulu ya? Ada yang sakit?" tanyaku panik. Dia menggeleng lemah sambil tersenyum padaku.

"Aku cuma mau kamu bahagia," katanya dengan suara serak. Aku menatapnya bingung. Bahagia?

"Bahagia aku cuma sama kamu, bukan yang lain."

"Arnan, aku minta maaf untuk kesalahanku. Maafkan aku yang pergi tanpa pamit, dan maafkan aku yang nggak percaya sama kamu."

Aku menggeleng tidak mengerti. "Kamu ngomong apa, sih? Dengar, kamu pasti sembuh. Aku nggak bisa kehilangan kamu lagi. Kumohon, berjuang untuk dirimu sendiri."

Kulihat Seina menangis. "Aku sayang sama kamu bahkan sekarang mencintai kamu. Makasih untuk semuanya, aku merasa berharga bisa mengenal kamu."

"Sei," panggilku lirih. Kulihat dia tersenyum dan menyentuh wajahku yang basah dengan air mata.

"Jangan nangis, Sayang. Arnanku cowok kuat."

"Aku nggak kuat kalau di depan kamu, Sei. Kamu sebagian diri aku, berhenti berbicara yang nggak masuk akal."

"Apakah kematian menurutmu juga nggak masuk akal?"

Pertanyaan Seina membuatku terdiam. Tidak dipungkiri memang, kematian adalah hal paling masuk akal di dunia ini. Tapi, jika kematian membuat siapa pun yang merasakan kesedihan, salahkah aku berkata sebaliknya?

"Kamu tau jawabannya, Ar. Aku udah nggak kuat. Aku capek, Ar. Capek."

"Kalau kamu capek, gimana sama aku? Mereka menunggu kamu kembali, Sayang. Aku di sini, berharap jika Tuhan memberikan aku kejutan dengan kamu yang kembali sehat."

Seina tertawa lirih mendengar perkataanku.

"Belajarlah ikhlas. Kita bisa bertemu di kehidupan yang kekal. Aku selalu mencintaimu, Arnan." Setelahnya mesin detak jantung itu berbunyi sangat nyaring. Jantungku seakan ingin berhenti berdetak, dokter dan suster masuk. Aku masih mematung karena tidak percaya.

Aku melihat orangtua Sei masuk dengan wajah yang sedih. Tanpa bergerak di tempat, aku melihat dokter itu melepas peralatan yang ada di tubuh Seina. Dan kenyataan terdengar begitu jelas hingga membuatku tidak sanggup berdiri.

"Maaf, pasien telah meninggal dunia." Ucapan dokter itu membuatku jatuh ke lantai, memeluk lututku sendiri. Tante Sarah menangis histeris di pelukan suaminya. Kepalaku berdenyut, tubuhku seakan sudah lemas tidak bertenaga. Aku mendekat pada Seina yang beberapa menit lalu mengatakan cinta padaku. Yang beberapa menit lalu tersenyum dan menggenggam tanganku.

"Sei, bangun dong. Kamu bercanda, kan? Please Sei, bangun. Kamu udah janji sama aku, kalau kamu nggak akan pergi. Tapi apa sekarang? Kamu bohong! Kamu ingkar janji. Seina!" suaraku seakan habis. Sesak luar biasanya rasanya. Dia pergi untuk yang kesekian kali. Dia pergi, Ya Tuhan!

***

Kami berada di pemakaman, ketiga temanku juga datang. Begitu pun Bunda dan Icha. Awan hitam menjadi saksi duka dalam hidupku. Saksi atas kepergian wanita yang aku cintai. Aku belajar untuk mengikhlaskannya, walau berat untukku. Aku hanya ingin dia pergi dengan tenang tanpa paksaan yang membuatnya tidak nyaman karenaku.

Helaian bunga mawar menghiasi tanah tempatnya bersemayam. Foto cantiknya terpajang di depan nisan. Aku menatap nisan itu dengan nanar. Ada sebersit rasa yang membuatku belum rela melepasnya.

Seina, aku mencintaimu dengan semua yang ada dalam dirimu. Jika kepergianmu membuat semuanya damai, maka pergilah dengan tenang. Maaf jika aku belum bisa menjadi pria yang mampu menjagamu dengan baik. Maafkan aku. Aku melepasmu dan mencoba ikhlas. Tunggu aku, ya? I love you.

Tepukan ringan membuatku tersadar dalam bayangan yang menyedihkan. Aku menoleh dan mendapati ketiga temanku berdiri dengan wajah berseri. Aku merasa bingung, di saat aku baru saja berduka tapi kenapa mereka tampak senang?

"Lo kelamaan banget deh pingsannya," Ical menepuk bahuku.

"Pingsan?" tanyaku ulang.

"Iya, lo belum makan dari kemarin. Makanya lo pingsan di ruang rawat Seina," jelas Aryo. Mereka memperhatikanku yang kebingungan.

"Gue harus ketemu Seina." Mereka menahanku agar tidak turun dari brankar, tubuhku terasa lelah dan hampir jatuh jika saja mereka tidak menangkapku.

"Gue bilang juga apa? Istirahat dulu, lo mau nyiksa diri sendiri?" Menyebalkan jika mereka sudah mulai berbicara.

"Nggak. Gue udah baikan," kataku tetap kekeuh dan mengabaikan ucapan mereka.

"Astaga! Lo kok ngeyel banget, sih?!"

"Bentar dulu. Coba pukul gue sekali," suruhku. Kemudian Ical menepuk jidatku, rasanya jangan ditanya. Sakit! Tunggu, kalau sakit berarti bukan mimpi. Tapi?

"Kenapa lo?" Aryo menaikkan alisnya sebelah.

"Gue mimpi atau apa, sih? Tadi itu gue di samping Seina, terus dia sadar, tapi nggak lama dia ninggalin gue. Gue bahkan ikut ke pemakaman, dan kalian juga ada di sana. Gue-"

"Stop! Lo ngomong apa!? Seina itu udah sadar, bego!"

"Hah!?" Aku terkejut luar biasa.

Yang Kembali (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang