06|Gadis Gila!

272 7 0
                                    


"Siapa sih yang nyaman saat ada orang yang suka mengusik ketenangan kita"

***********

Nando's pov

Mimpi apa aku dari kemarin bisa ketemu cewek gila kayak dia.

Sumpah kesel, dongkol banget rasanya. Dari kemarin, tuh cewek cari masalah mulu perasaan. Nggak bisa apa biarin dia jauh dari kehidupanku yang ... cukup tenang ini (?).

Batu? Es? Nggak salah itu cewek gila manggil aku dengan nama begitu? Ganteng gini juga. Lagian cewek itu kenapa sih? Caper banget di depan aku. Fans apa ya? Kalaupun fans, nggak mungkin sampai ngehina idolanya kayak gitu.

Eh. Tunggu deh, tapi dia kelas berapa sih? Kalau seangkatan aku kayaknya nggak deh. Kelas sepuluh atau kakel deh kayaknya.

Wait!

Argh! Ngapain juga sih mikirin tuh cewek gila. Untungnya apa coba? Yang ada ketemu dia bikin naik darah aja.

Bodo amatlah! Bosen banget Ya Allah, jam kosong lagi. Mana si Ical kebo banget dah. Kalau dia udah molor, mesti pakek toak ngebanguni dia mah. Aku menghembuskan nafas lelah. Kusut banget kayaknya tampangku sekarang.

Suasana kelas masih rada ribut. Kondisi cukuplah dikatakan aman, nggak ada yang main ke luar meskipun kelas kosong. Masih tau diri jadi siswa di sini. Karena bosan, aku kembali baca novel. Novel ini sih udah lama dibeli, tapi baru sempat aku baca.

Entah sejak kapan aku jadi suka baca, apalagi novel. Awalnya sih, waktu itu iseng aja ke toko buku. Niatnya mau keliling bentar. Tapi, pas berdiri di rak deket pintu, nggak sengaja nemu nih buku. Aku langsung ambil dan baca sinopsisnya. And then ... aku tertarik sama ceritanya. Bukan genre romance kayak yang dibilang si Ical, tapi genre misteri gitu.

Tertantang gitu bacanya. Yah, akhirnya aku merelakan uang simpenan untuk beli ini buku. Nyesel? Nggak lah! Aku lagi asik baca sekarang. Tiba-tiba seorang cewek berdiri di sampingku.

"Hi, Kak," sapa cewek itu sambil senyum.

"Cari siapa?" Aku yang bingung langsung nanya ke dia. Kayaknya sih adek kelas. Lah, kok? Kok bisa kemari, bolos apa ya?

Cewek itu keliatan gugup. "Em, maaf ganggu Kakak. Aku ke sini disuruh sama kakak kelas, dia nitip ini buat Kakak." Dia nyodorin semacam kotak kecil bentuk persegi warna biru muda.

"Buat gue? Kakak kelas? Dia siapa?" Aku nanya terus karena nggak ada namanya.

"Itu dia kakak kelas kayak Kakak juga. Bagian IPS. Dia anak pindahan, sekitar 5 bulan yang lalu kayaknya."

"Oh. Makasih, ya."

Cewek itu mengangguk pelan. "Permisi ya, Kak." Dia langsung berlari keluar dari kelasku. Oh iya, aku masih kelas sebelas loh ya.

"Cie, Nando dapet hadiah dari fans. Ciee," ucap temanku yang paling heboh. Siapa lagi kalau bukan Vian, si ketua kelas.

"Berisik!"

"Hahaha. Nando makin hari makin banyak aja fans-nya. Buka dong, kali aja surat cinta," lanjutnya. Aku yang malas meladeni manusia tengil itu cuma bisa mendengus. Kotak itu masih diam di tempat semula. Tepat di samping tangan kanan.

Ical yang terganggu dari tidurnya, langsung bangun dan merentangkan tangannya. Mukaku jadi korban tangan biadab tuh bocah.

"Kampret! Kebiasaan lo, muka gue jadi korban nih," omelku ke Ical, cowok itu cuma nyengir kuda.

"Wih, apaan nih? Punya lo? Dari siapa? Ciee .... dapet ehem dari fans kayaknya." Mulai kumat nih bocah. Dia paling demen ngeledek. Ledekan dia bikin aku akhirnya kesal. Masih mengabaikan pertanyaan Ical, aku kembali asik baca novel lagi.

"Nando, gue buka ya?"

"Hm," aku biarin Ical buka kotak itu. Kalau yang begini udah sering aku alami. Dapet hadiah misterius atau pun secara langsung dari orang. Khususnya para cewek. Aku heran deh, kenapa sih mereka terlalu mengagumi seseorang secara berlebihan. Aku kadang risi sama sikap mereka, demi kebaikan mereka, aku sering ngomong ke mereka nggak perlu kasih aku beginian.

Mending dikasih sama yang membutuhkan, atau kalau perlu uangnya ditabung sendiri. Aku nggak suka aja jadi perhatian yang berlebihan oleh orang lain. Karena aku cuma manusia biasa, hidup di bumi yang sama. Merasa suka dan duka yang sama namun dengan cara yang beda. Takutnya aku nggak bisa balas semua kebaikan orang.

"Nando, ini lo ya?" tanya Ical. Aku langsung menoleh. "Ini foto lo, kan?" Ical mengambil dua lembar foto yang isinya fotoku masih kecil. Sekitar umur 9 tahun.

"Iya ini gue. Kok bisa di sini?" aku balik nanya.

"Mana gue tau. Siapa yang ngasi tadi?"

"Cewek. Tapi disuruh orang lain katanya."

"Lo inget?" tanya Ical lagi. Aku mencoba mengingat ucapan cewek tadi. Dan nihil, aku lupa! Mengingat nama dan wajah orang dalam sekali itu sangat sulit buatku. Jadi ya percuma aja kalau ditanya lagi kayak begini.

"Lupa."

"Otak lo nggak bisa inget hal yang barusan terjadi gitu? Masa udah lupa aja, sih?"

"Ya mau gimana lagi. Namanya juga lupa. Udahlah, biarin aja."

"Jangan gitu dong. Ntar lo diapa- apain lagi lewat foto ini. Harus dicari biangnya nih," usul Ical sambil memegang foto itu.

"Biarin ajalah, nggak mungkin juga gue diapa-apain."

"Ck! Nyantai banget sih lo. Gue takutnya lo diguna-guna, Nando."

Aku langsung jitak kepala Ical karena kesal. Lantaran pikirannya jauh banget.

"Sakit bego!" omelnya.

"Lagian lo ngomong ngelantur. Udahlah, lupain aja. Sini, mending nanti gue bakar aja." Aku langsung merebut foto itu, lalu aku masukkan ke kotaknya.

"Serah lu dah. Jam berapa nih?"

"9, bentar lagi guru bahasa masuk," jawabku. Tak lama kemudian, guru yang disebut langsung nongol dengan wajah ramah. Dari sekian guru yang aku kenal, guru bahasa Indonesia dan olahraga yang cukup menyenangkan. Sisanya killer abis. Kedatangan beliau disambut riuh oleh temen sekelas. Kami paling antusias saat guru ini masuk mengajar. Seperti biasa sebelum belajar dimulai, harus berdoa terlebih dahulu.

Kelas hening sejenak, semua menundukkan kepala seraya berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Karena sekolah ini sekolah umum, meskipun negeri. Mereka menerima siswa yang non-muslim juga. Sekolah ini sangat toleran dengan menerima murid seperti mereka.

Setelah berdoa, kami mulai belajar. Mendengarkan dengan seksama saat guru itu menjelaskan. Posisiku duduk di baris ketiga dari deretan pertama dekat pintu. Siswa di kelasku cukup ideal, cuma 30-an siswa. Yah, meskipun kelas ini cukup rame, tapi tidak diragukan banyak yang pintar selain aku.

Kami selalu belajar bersama, bersaing secara sehat untuk menduduki peringkat pertama. Selama aku sekolah di sini, dari kelas sepuluh aku selalu juara satu kelas dan umum. Bersyukur udah pasti, aku juga bukan murid yang rakus dalam hal prestasi.

Kalau ada lomba, terkadang mengalah untuk temen-temen yang belum coba. Kalaupun aku ikut, itu karena terpilih dan memang murni ditunjuk langsung untuk mewakili sekolah.

Cukup adil, bukan? Jadi, intinya itu meskipun kita pintar, cerdas, atau pun semacamnya, jangan lupa untuk memberikan ilmu yang kita miliki kepada orang lain. Karena, ilmu itu hal yang paling bermanfaat dalam hidup. Lebih bermanfaat lagi jika ilmu itu kita berikan pada orang lain.

Sehingga kita sama-sama belajar. Nggak perlu sombong karena kita punya kelebihan. Dan jangan pernah merendah karena kita punya kekurangan. Setiap manusia sudah diciptakan dan punya porsi masing-masing dalam hidupnya.

Tinggal bagaimana kita saja yang menjalani itu semua. Memanfaatkan apa yang kita miliki untuk sesuatu yang berharga.

Nah loh, kok curhat sih?

Udah cocok belum aku jadi motivator, kayak Marry Riana ataupun yang lain? Hahaha ... aku jadi motivator dadakan nih. Udah ya, mau belajar dulu. Temen di sampingku juga antusias banget belajarnya. Udah punya stamina kayaknya, tadi udah sempet ngebo dia. Hahaha.

Pov end.

Yang Kembali (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang