Kata ibu, jangan takut selama ada ibu.
Lalu aku tak takut.
Semoga kamu tak takut lagi, karena sekarang ada aku.
Tapi aku takut, sebab aku bukanlah aku.
Semoga kamu tidak takut, sebab aku bukanlah aku.
Rupanya keributan salah paham itu hanya bertahan beberapa jam saja, dikarenakan Nayla meminta maaf meraung-raung pada Rahma. Ya, Nayla memang terkadang suka mendramatisir keadaan dengan sikap menye-menyenya. Tapi berkat itu mereka bisa saling memaafkan seperti sekarang.
"Mbak Rara, ini naskahnya yang bab 3 sama 6 harus dipertegas lagi kata pak Joven." Suara manis dan medhok milik Jumi—asisten editor di Batas—mem buat Rahma sadar sepenuhnya dari lamunan senja hari, "Maaf ya mbak Rara, mbak lagi kepikiran sesuatu ya? Soalnya tadi pak Joven bilang mbak gak biasanya gak teliti sama konflik dan penegasan cerita novel mbak."
Memangnya sejelas itu ya kelihatannya? Rahma sendiri bahkan tidak tau apa yang membuat dia begitu kepikiran hingga tidak fokus seperti sekarang. Atau mungkin dia tau, tapi tidak bisa memilih yang mana satu.
"Hahaha enggak kok, Jum, aku cuma kurang istirahat aja. Maaf ya, jadi ngerepotin mas Jovi sama kamu," ucap Rahma tulus disertai senyuman manis, "Aku bawa dulu deh, ada janji soalnya sama mas Dean."
"Duuh, si mbak manis banget manggilnya mas segala! Jadi pengen sayanya kan hehe." Jumi meledek sambil terkekeh, "Yaudah, hati-hati ya, mbak Rara! Nanti kalau sudah selesai tolong dikirim ke email saya aja."
"Iyaa, daah!" Rahma melambai sekilas kemudian bangkit pergi.
Hari ini mas Dean—kekasih gue, haha—mengajak ketemu di salah satu tempat makan kesukaannya sejak kuliah ketika di Jakarta, katanya. Kalau dihitung, gue dan mas Dean sudah setahun lebih seminggu bersama.
Dengan pemikiran yang cukup lama dan juga pertimbangan matang, gue memutuskan menjalin hubungan dan bersama dengan mas Dean. Membuat ingatan gue kembali ke hari itu, hari mas Dean meminta gue jadi pasangannya.
Sore yang mendung itu, gue baru selesai memberi draf naskah terbaru novel pertama gue ke Batas dan keadaan sekitar gak begitu ramai lalu lalang kendaraan. Bukan khas Jakarta banget.
Karena gak berani bawa motor seperti Aci dan juga males bawa mobil kemana-mana kaya Nayla, gue memilih angkutan umum online. Sialnya, setelah 5 kali mengorder, gak ada satupun yang menerima. Padahal udah maghrib dan jalanan juga mulai sepi.
“Duh, gimana ya?” Pikir gue penuh kepanikan saat itu, karena beberapa tukang angkot mulai bersiul-siul di ujung sana pada gue, “Gue telpon Aci aja kali ya?”
Gak berselang lama, panggilan gue diangkat.
“Halo! Ci, lo bisa ke Batas gak? Gue order ojol gak ada yang ngepick nih huhu....” Gue bahkan merengek hari itu, menyesal karena udah mempermalukan diri sendiri. “Ci, halo? Kok lo diem aja sih? Ci, gue panik banget nih mana tukang angkot pada ganjen banget hiih!”
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A | ✔
ChickLit❝Hidup bagi kamu seperti apa? Untuk apa atau siapa kamu hidup? Untuk dirimu, untuk masa lalumu, atau untuk apa-apa yang tidak mungkin kamu raih?❞ © 2018 by Savagepage.