KABUT : Usai

121 15 19
                                    

"Manusia itu bisa buat salah. Besar atau kecil, dulu atau nanti. Terlepas selama apapun kita mengenal pribadinya. Tidak selamanya akan terus baik atau terus jahat.

Maka dari itu maaf hadir ke dunia, untuk memupuskan segala angkara duka."

- Bapak Ali, (mantan calon) ayah mertua Dean.



D E A N

"Gua dari dulu gak pernah, Yan, nyesel kenal sama lo."

Perkataan Pandu selepas kejadian ribut-saya dengan Saga benar-benar menambah pusing. "Sampai beberapa jam yang lalu juga gua gak nyesel."

"Terus sekarang lo nyesel?"

Pandu melirik saya sekilas, tawa meremehkannya keluar. "Dikit doang."

Saya mendengus. Kelakuan saya memang kelewat batas, semua pihak tersakiti bahkan diri saya turut kena imbasnya. Wajar saja jika Pandu sampai menyesal kenal saya, Rahma saja sepertinya sudah muak dengan saya.

"Tapi gua tuh inget banget sama kata-kata Dimas," ujarnya. "Temen itu baru ketauan belangnya kalo udah pernah melalui masa-masa kelam atau masa sulit bareng dan masih bisa terima dengan lapang dada."

"Maksudnya? Lo lagi muji diri lo sendiri sekarang?" tanya saya sarkas.

"Mirip-miriplah."

"Wedhus kowe, Ndu."

"Yee emosi aje, juragan haha." Saya melihat apa yang Pandu sodorkan saat dia menyenggol tangan saya beberapa kali. Chiki dan kopi. Ya ampun. "Buat lo."

"Gua masih normal, Ndu."

"Yaiyalah kalo gak normal gak mungkin melakukan pengkhianatan dengan Ody di saat sampeyan punya Rahma, Andrean Seta."

Pandu bangsat.

"Rahma tuh kurangnya apa, Yan?" pertanyaan Pandu terdengar seperti sindiran bagi saya. "Gua tuh tau dia dari awal maba, sampe sekarang udah sukses jadi penulis dan pembicara di mana-mana. Sedikit bad habbits atau sifat buruknya ... gak bisa dipermasalahin, Yan."

Teringat lagi alasan saya memperhatikan Rahma sejak insiden Pandu bertengkar dengan Betari, salah satu sahabat Renjana.

Dia perempuan yang baik, ramah, cerdas, dan yaa walau sedikit kikuk tapi tentu itu jadi nilai tambah bukan kekurangan untuknya.

Dan lagi, setelah benar-benar saya telaah ... saya mulai mencari-cari info tentangnya karena ada sesuatu dalam diri Rahma yang serupa dengan Maudy.

Saya tertawa parau.

Dari awal, saya memang memanfaatkan Rahma saja.

"Lo harus selesain ini sama keluarganya Rahma juga, Yan. Apalagi sama ayah dan bundanya." Pandu berdiri, sekarang dia berkacak pinggang. "Anak perempuan dalam keluarga, dijaga banget. Lo berani minta anak mereka jadi pacar lo, sekarang lo harus berani balikin dan meminta maaf sama orang tuanya karena udah menyakiti anak perempuan mereka."

"Gua takut, Ndu."

"Jiper banget sih lo, mantan Senat." Pandu mendorong dahi saya tanpa tedeng aling. Kurang ajar. "Gua anter, tapi sampe depan pager aja yo."

"Gua gak bisa anter Rahma balik, dia pasti udah bener-bener gak mau berurusan sama gua."

"Wajarlah, Yan. Dia pasti masih sakit hati sama kelakuan pacar---eh, mantannya ini." Pandu membantu saya berdiri, lalu menepuk pundak saya beberapa kali. "Tapi dia bakal maafin lo, soalnya lo udah jujur sama dia."

"??"

"??"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
S E N A N D I K A | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang