Rahang laki-laki berusia 24 tahun itu mengeras. Matanya terpejam dalam. Tangannya mengepal kuat sampai guratan-guratan tangannya kelihatan. Renn geram Kiara diantar pulang sama cowok itu dan Renn lebih geram lagi karena dirinya yang tidak bisa melakukan hal-hal semacam itu. Renn memaki dirinya sendiri dalam batinnya yang terlalu pengecut untuk berhadapan dengan dunia luar.
Ingatannya menerawang pada memori kelam dua tahun yang lalu. Renn masih bisa mengingat jelas bagaimana kecelakaan itu terjadi. Bagaimana saat sebuah truk besar menabrak mobil mereka dari belakang, bagaimana suara klakson mobil menggema di sepanjang jalan yang kacau balau, suara sirine berlalu lalang memekakkan telinga, dan bagaimana dirinya terlempar keluar lalu mobil terbakar tanpa ampun. Disanalah Renn kehilangan Papa yang sangat dia sayangi.
Mata Renn terbuka cepat. Keringat tiba-tiba berkumpul di dahinya. Mendadak wajahnya pucat pasi dengan tatapan mata was-was. Mata Renn mengarah pada jalanan komplek rumahnya yang terlihat dari atas balkon. Di jalan itu Renn seolah melihat reka adegan kecelakaan maut yang menimpanya. Kakinya mundur ke belakang. Mendadak saja dirinya dipenuhi rasa takut, gelisah, dan cemas. Renn kembali masuk ke kamarnya. Matanya mengawasi setiap sudut ruangan. Jantungnya berdebar-debar kencang di iringi keringat yang mulai bercucuran.
Laki-laki itu spontan menutup telinga ketika mendengar suara-suara seperti klakson mobil dan sirine ambulance yang menggema.
"Argh!" Tangannya menyapu tumpukan buku-buku di atas nakas. Buku-buku berjatuhan dan terbanting di lantai.
Mengapa suara-suara sialan itu terus terngiang di telinganya. Renn merasa tersiksa dengan hal ini. Renn meringkuk merapat di sudut kamarnya didekat ranjang tidur. Memejamkan mata sambil menutup telinga dengan dua tangannya. Berharap memori kelam itu segera enyah dari dalam pikirannya.
"Renn? Lo kenapa? Hei, Lo baik-baik aja?" Kiara yang baru masuk ke kamar Renn langsung panik mendapati Renn duduk dilantai dengan ketakutan. Kiara meletakkan nampan berisi makanan itu di atas meja. Kiara cepat berjalan menuju Renn.
"Kiara!" pekik Renn dan langsung membenamkan kepalanya di dada Kiara. Laki-laki itu memeluk Kiara seerat mungkin. Seolah hanya Kiara tameng yang dimilikinya untuk melawan memori kelam itu.
"Renn lo kenapa? Lo pucat banget astaga! Lo berkeringat juga!" Kiara balas memeluk Renn lalu tangannya bergerak mengusap lembut kepala Renn. Kiara menyingkap anak-anak rambut Renn ke atas. Kiara bisa merasakan tangannya basah ketika mengusap dahi laki-laki itu.
Renn tidak bersuara dalam pelukan Kiara. Napasnya ngos-ngosan seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Kiara mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi sama Renn? Dia kelihatan sangat ketakutan dan gelisah.
"Kiara jangan pergi! Kamu jangan pergi!"
Kiara menatap Renn yang semakin mengeratkan pelukannya.
"Gue gak kemana-mana. Gue disini Renn. Lo tenang oke? Gue disini."
"Aku takut Kiara! Ambulannya udah pergi? Orang-orang udah pergi? Bukan salah aku, Kiara. Bukan salah aku!"
Kiara mengerutkan alisnya. Kiara mengulum bibirnya. Tatapannya berubah sedih. Bagaimana bisa Kiara melihat Renn seperti ini. Kenapa Renn harus mengalami kejadian mengerikan macam itu? Kiara tahu apa yang terjadi pada Renn hingga membuat cowok itu takut setengah mati seperti ini. Pasti traumanya sedang kambuh.
"Renn, sayang... disini gak ada ambulan dan gak ada orang-orang. Hei, coba lo liat gue. Liat mata gue," Kiara merengkuh pipi Renn dengan telapak tangannya lalu mengangkat wajah itu perlahan.
Renn menatap manik mata Kiara dalam-dalam. Perlahan-lahan rasa takutnya berubah menjadi rasa nyaman dan seperti dilindungi.
"Lo jangan takut, oke? Gue ada disini. Cuma gue yang ada disini. No ambulan, No orang-orang. Kiara yang ada disini," Kiara berucap lembut mencoba menenangkan Renn, "Lupakan kejadian itu Renn. Lo harus bisa lawan rasa takut itu. Inget, disini ada gue yang selalu bersama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
BREATH AWAY (TERBIT!)
Romance(CERITA INI TELAH DI TERBITKAN. INFORMASI ORDER NOVEL SILAKAN DM INSTAGRAM: @shalshaee atau bisa order melalui Shopee) *** Kiara pikir lowongan kerja yang dia temukan di terminal bagaikan malaikat yang bisa menyelamatkannya dari kemiskinan. Bekerj...