Breath Away - 15 -

68.8K 2.3K 124
                                    

Derap langkah kaki sepatu hak itu menggema di lorong koridor. Tamara yang melenggang anggun sambil menjinjing tas channel itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Bahu Tamara merosot dengan helaan napas putus asa karena tidak menemukan Kiara di kampusnya. Tamara juga menatap pasrah layar ponselnya, putri semata wayangnya itu tidak kunjung membalas pesannya. Tamara tau, Kiara marah.

Ibu macam apa aku ini, membiarkan anakku tinggal gak jelas di luar sana. Seketika Tamara teringat hari dimana dia menarik semua fasilitas Kiara. Tiba-tiba saja ada rasa sesal dan bersalah. Jangan-jangan bukannya malah membuat Kiara menjadi semakin baik tapi malah semakin menjadi buruk?

"Tante Tamara?"

Seseorang menepuk bahu Tamara dari belakang. Tamara menoleh.

"Ellen?"

Setidaknya hatinya lega meski tidak bertemu Kiara tapi dia bertemu sahabat karib anaknya. Barangkali Ellen bisa membantu memberitahu dimana Kiara berada.

Ellen tersenyum ramah sambil cipika-cipiki sama Tante Tamara.

"Tante kesini nyariin Kiara?" tebak Ellen yang sudah bisa dibaca dari raut wajah Tante Tamara.

Tamara mengangguk pelan dengan sorot sedih, "Kiara bolos kampus lagi ya, Len?"

Ellen mengerti betul apa yang terjadi dengan keluarga Kiara. Mama-Papa Kiara bercerai sudah lama dari Kiara masih kecil. Kiara dan Mamanya memang gak pernah dekat, Mungkin juga karena Mamanya Kiara ini kan wanita karir alias wanita sibuk. Ellen paham apa yang dirasakan Kiara dan segala bentuk berontak kemarahan yang Kiara lakukan selama ini. Tapi melihat Tante Tamara yang memberikan raut sedih begini membuat Ellen juga menyadari satu hal, tidak ada Ibu yang tidak menyayangi anaknya dan selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, kecuali si Ibu sakit jiwa.

"Kiara gak bolos kok, Tante. Kiara izin gak masuk karena ada urusan mendadak." jawab Ellen jujur. Ya, pagi tadi Kiara memang sempat mengabari Ellen kalau dia gak masuk karena ada urusan mendadak, Kiara juga minta tolong Ellen membuatkan surat izin untuk dosen. Tapi Ellen gak tau urusan apa, soalnya Kiara sekarang terkesan introvert. Ya, Ellen ngerti kok semua ini ada hubungannya dengan kejadian dimana Kiara secara tidak langsung di usir emaknya sendiri.

"Len, kamu sibuk gak? Tante pengen ngobrol-ngobrol sama kamu. Kita cari kafe terdekat ya."

Ellen tampak menimbang-nimbang keputusan di kepalanya. Detik berikutnya Ellen mengangguk meng'iyakan' ajakan Mamanya Kiara.

※※※

Pintu kamar Renn berdecit pelan dan terbuka. Laki-laki dewasa ber-hoodie abu-abu itu menoleh. Matanya menangkap sosok Bundanya disana dan sesosok pria asing berkacamata. Tanpa perlu diberitahu Renn tau bahwa pria itu pasti psikiaternya dari Singapore.

"Renn, ini dr. Gian. Dia psikiater terbaik di Singapore." Retno mengusap lembut punggung Renn. Renn hanya memasang wajah datar saja. Yakin psikiater terbaik? Kemarin Delisa juga katanya psikiater ter-ba-ik.

"Halo, Renn. Saya dr. Gian. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan, kita akan ada sesi terapi. Bundamu sudah banyak becerita tentang apa yang kamu alami. Untuk tahap awal, saya akan periksa dulu bagaimana kondisi kamu saat ini ya." Dr. Gian berujar ramah. Dia melirik Retnosari untuk memberi kode agar membiarkan dirinya dan Renn berbicara empat mata. Retnosari mengerti.

Retnosari mengecup puncak kepala Renn sebelum pergi dan menutup pintu kamar Renn pelan.

Dr. Gian menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Renn yang duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong.

BREATH AWAY (TERBIT!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang