Allah telah menetapkan segela sesuatu yang terbaik untuk kita walau kadang semua itu bertentangan dengan keinginan kita.
Kertas di pangkuanku bagaikan tulisan mantra yang sangat mematikan, dilihat dari judulnya saja, aku takut untuk membaca.
Peraturan Pondok Pesantren As-Salam.
Tapi, mau tak mau aku harus tetap membacanya, lembaran itu berisikan berbagai macam aturan yang beberapa kali membuat keningku berkerut. Mulai dari jadwal kegiatan, aturan berpakaian sampai larangan-larangan tertuang disana.
Aku mendesah lelah, sepertinya hidup disini akan lebih mengerikan daripada di penjara. Bagaimana tidak? di kertas tersebut tertuang aturan bahwa para santri harus tidur jam 10 malam, bangun jam 3 pagi tanpa ada waktu untuktidur siang, gila kan? Memang semua santri disini bertenaga robot? Setiap jam ada saja kegiatan yang harus dilakukan, bahkan jadwal membaca di perpustakaan pun tertulis disana.
Aku melempar kertas itu asal, pandanganku beralih ke arah lemari baju yang telah terbuka. Hanya ada lima susun tempat untuk menyimpan baju dan ukurannya begitu kecil, bahkan rak bonekaku di rumah jauh lebih besar dari ini. Dan sekarang aku menatap miris koper besar yang teronggok di depanku, lalu untuk apa semua baju-bajuku ini? sedangkan di dalam peraturan tertulis setiap santri hanya diperbolehkan menyimpan maksimal sepuluh baju saja. Itu artinya aku harus sering-sering mencuci baju kalau tidak ingin terkena penyakit kulit karena selalu memakai baju yang sama.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Aku harus realistis, semua ini harus dihadapi bukan untuk disesali, karna semua tidak akan kembali normal walaupun aku menangis darah sekalipun.
Aku mulai menata baju-baju yang aku butuhkan disini, menyingkirkan segala macam celana yang kubawa dan menggantinya dengan gamis panjang yang telah disiapkan oleh mama, karena disini melarang para santri untuk memakai segala bentuk celana, kecuali saat tidur.
"Ada teman baru ya? hai...."
Aku sedikit berjingkat mendengar suara keras dari seorang gadis yang tiba-tiba masuk, sekarang dia ikut duduk di depanku dan disusul oleh Ana.
"Hai aku Ami, penghuni kamar ini juga," ucapnya sambil menyodorkan tangan.
"Gue Fat," jawabku masih asik menata baju, tanpa membalas jabat tangannya.
"Fat?" tanyanya bingung.
"Fatimah," jawab Ana.
"O ... sebenarnya kamu tuh siapa sih?"
Tanganku berhenti menata baju, menoleh kearah gadis cerewet itu dengan sebelah alis terangkat. "Tadi kan gue uda bilang, nama gue Fat."
"Bukan itu, maksutnya kamu itu siapa sampai Bu Nyai sendiri yang mengantarmu ke kamar?"
Sekarang aku yang dibuat bingung, ku tatap Ana yang sepertinya mengerti kebingunganku.
"Kamu mungkin gak tahu, kalau disini tuh Bu Nyai lebih dari sekedar artis idola, dan hanya santri spesial aja yang bisa berdekatan dengan beliau. La kamu? sampai dianterin sendiri berarti kan kamu cukup spesial."
Aku hanya mengangguk-angguk kecil mendengar penjelasan Ana. "Gue sih ngerasa biasa aja," jawabku sambil mengangkat bahu acuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf dalam Sunyi
Teen FictionApa yang kalian fikirkan pertama kali saat mendengar nama Fatimah? Gadis alim? berkerudung? pintar agama? Huft... itulah yang selalu orang pikirkan saat berkenalan denganku, tapi percayalah aku tak sesempurna itu. Aku hanya gadis SMA biasa yang jug...